Saat engkau sedang sendiri jangan katakan aku sendiri, tetapi katakan ada yang senantiasa mengawasi diri ini. Dan sedikitpun jangan menyangka bahwa Allah lalai, atau menyangka Dia tak tahu apa yang tersembunyi.

Jumat, 26 November 2010

Ketika Dua Negeri Berseteru

Sedih rasanya melihat dua bangsa berseteru, saling membanggakan diri dan mencaci yang lain, bahkan ada yang menyuarakan peperangan, padahal keduanya adalah negeri kaum muslimin. Lebih miris lagi, perseteruan ini didasari oleh hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Bukannya saling berlomba dalam kebaikan dan ketaqwaan kepada Allah Ta’ala, bahkan sebaliknya, mereka malah saling bersaing sampai berseteru dalam hal yang tidak diridhai Allah Ta’ala. Jika demikian adanya, bagaimana mungkin umat Islam menjadi kuat dan kokoh?

Konsep Cinta dan Benci Dalam Islam

Dalam Islam dikenal konsep Al-Wala’ wal Bara’ (cinta dan benci) yang merupakan konsekuensi dari iman yang benar karena inti ajaran Islam adalah mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Konsekuensinya, seorang mukmin akan mencintai segala bentuk peribadatan dan ketaatan kepada Allah semata dan mencintai orang-orang yang melakukan demikian. Allah Ta’ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.” (Qs. At Taubah: 71)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان

“Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna.” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Konsekuensi lain adalah kebalikan dari itu. Seorang mukmin akan membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah dan maksiat, serta membenci orang-orang yang melakukan demikian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Qs. Al-Mujadalah: 22)

Ringkasnya, seorang mukmin sejati mencintai orang-orang yang menyembah Allah Ta’ala semata dan melakukan ketaatan kepada-Nya, baik ia berbeda suku, berbeda negara, berbeda warna kulit, berbeda bahasa, berbeda martabat. Dan seorang mukmin dalam hatinya memiliki rasa benci kepada orang yang menyembah kepada selain Allah dan banyak melakukan maksiat, meskipun ia satu negara, meskipun ia satu bahasa, sama warna kulitnya, meskipun ia teman sepermainan, meskipun ia orang tuanya, anaknya, saudara atau pun keluarganya. Inilah konsep cinta dan benci dalam Islam.

Cinta dan Benci Orang Jahiliyah

Masa Jahiliyyah adalah masa sebelum di utusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan pada saat itu dunia diliputi kebodohan terhadap agama, kesesatan, penyimpangan dan kemusyrikan (Lihat Syarh Masa’il Jahiliyyah (8), Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan). Oleh karena itu, Allah Ta’ala banyak mencap buruk orang-orang pada masa Jahiliyyah dalam Al Qur’an Al Karim. Misalnya firman Allah Ta’ala:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

“(Wahai kaum wanita), hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (bersolek) sebagaimana tabarujnya orang-orang Jahiliyah yang terdahulu.” (Qs. Al Ahdzab: 33)

Oleh karena itu Islam melarang umatnya berperilaku sebagaimana perilaku orang-orang Jahiliyyah.

Lalu bagaimanakah konsep cinta dan benci yang diterapkan orang-orang Jahiliyyah? Cinta dan benci mereka dibangun atas dasar kesamaan suku dan bangsa. Ketika dua suku berseteru, mereka membenci orang-orang yang masih satu suku bangsa dan membenci orang-orang yang berbeda suku bangsa. Sebagaimana diceritakan hadits:

- كنا في غزاة – قال سفيان مرة : في جيش – فكسع رجل من المهاجرين رجلا من الأنصار ، فقال الأنصاري : يا للأنصار ، وقال المهاجري : يا للمهاجرين ، فسمع ذاك رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : (ما بال دعوى جاهلية ) . قالوا : يا رسول الله ، كسع رجل من المهاجرين رجلا من الأنصار ، فقال : (دعوها فإنها منتنة)

“Suatu ketika di Gaza, (sebuah pasukan) ada seorang dari suku Muhajirin mendorong seorang lelaki dari suku Anshar. Orang Anshar tadi pun berteriak: ‘Wahai orang Anshar (ayo berpihak padaku).’ Orang muhajirin tersebut pun berteriak: ‘Wahai orang muhajirin (ayo berpihak padaku)’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendengar kejadian tersebut, beliau bersabda: ‘Pada diri kalian masih terdapat seruan-seruan Jahiliyyah.’ Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah mendorong seorang dari suku Anshar.’ Beliau bersabda: ‘Tinggalkan sikap yang demikian karena yang demikian adalah perbuatan busuk.’” (HR. Al Bukhari no.4905)

Perhatikan dengan baik hadits yang mulia ini. Muhajirin dan Anshar adalah dua kaum yang mulia yang dipuji oleh Allah Ta’ala. Namun tatkala mereka menyerukan fanatisme kesukuan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa sikap tersebut adalah perangai Jahiliyah. Bagaimana lagi dengan kita?

Jangan Berpecah Belah

Perpecahan umat Islam adalah sesuatu yang tercela dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Qs. Al Imran: 104)

Dan sebaliknya, Islam memerintahkan ummat-Nya untuk bersatu padu. Perintah untuk bersatu ini ditujukan kepada setiap Muslim di seluruh dunia, tidak hanya antar ummat Muslim di satu negara saja. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Qs. Al Imran: 102-103)

Dalam ayat di atas, jelas sekali bahwa perintah untuk bersatu ditujukan untuk setiap Muslim.

Bahkan, perpecahan diantara umat Islam adalah sumber malapetaka dan bencana. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لا تختلفوا ، فإن من كان قبلكم اختلفوا فهلكوا

“Janganlah kalian berselisih! Sesungguhnya kaum sebelum kalian telah berselisih lalu mereka binasa.” (HR. Bukhari no. 2410)

Oleh karena itu, perselisihan antar umat Islam baik yang satu negara ataupun berbeda negara adalah sumber kebinasaan. Maka, bersatulah wahai kaum muslimin di negara manapun engkau berada!

Muslim Itu Bersaudara

Seorang muslim mempersembahkan cintanya yang paling besar dan yang paling tulus kepada Allah Ta’ala. Cinta ini tidak boleh pupus oleh cinta lain. Cinta kepada Allah tidak boleh ditenggelamkan oleh cinta seseorang kepada keluarganya, bahkan kepada kedua orang tuanya. Konsekuensinya, siapapun yang mencintai Allah Ta’ala, berhak untuk kita cintai. Sebaliknya, siapapun yang mendurhakai Allah Ta’ala, layak untuk kita benci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان

“Orang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi sesuatu karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, telah sempurna imannya.” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud)

Rasa cinta kepada Allah inilah yang mengikat setiap muslim dalam lingkar persaudaraan yang mulia. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Maka, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu!” (Qs. Al Hujurat: 10)

Oleh karena itu, wahai kaum muslimin, berbuat baiklah kepada sesama muslim layaknya saudara!

Apakah seseorang akan membenci saudaranya? Apakah ia akan menjauhi saudaranya? Apakah ia akan menghina saudaranya? Apakah ia akan menzhalimi saudaranya? Sama sekali tidak. Maka demikianlah sepatutnya seorang muslim.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا تحاسدوا . ولا تناجشوا ، ولا تباغضوا ، ولا تدابروا ، ولا يبع بعضكم على بيع بعض . وكونوا ، عباد الله ! إخوانا . المسلم أخو المسلم . لا يظلمه ، ولا يخذله ، ولا يحقره

“Jangan kalian saling hasad! Jangan saling mencurangi! Jangan saling membenci! Jangan saling menjauhi! jangan kalian menawar barang yang sedang ditawar orang lain! Jadilah kalian hamba Allah yang saling bersaudara! Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh membohonginya dan tidak boleh menghinanya.” (HR. Muslim no.2564)

Berlombalah Dalam Kebaikan, Bukan Dalam Maksiat

Miris rasanya melihat umat muslim berselisih, bertengkar dan berseteru disebabkan rasa iri dan dengki dalam kemaksiatan. Mereka membangga-banggakan diri atas perkara maksiat dan saling dengki satu sama lain.

Contohnya, mereka berseteru karena musik. Padahal Allah Ta’ala tidak ridha terhadap hal tersebut. Allah berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan lahwal hadits untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah.” (Qs. Luqman: 6)

Sebagian ahli tafsir, juga sahabat yang mulia, Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menjelaskan bahwa yang dimaksud lahwal hadits di dalam ayat ini adalah nyanyian.

Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

ليكونن من أمتي أقوام ، يستحلون الحر والحرير ، والخمر والمعازف

“Akan ada beberapa kaum dari ummatku yang menghalalkan zina dan sutra, serta khamr dan alat musik.” (HR. Bukhari no.5590)

Hadits ini jelas menunjukkan keharaman musik. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ridha terhadapnya. Jika Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidak ridha, mengapa kita malah mencintainya? Dan malah berbangga-bangga dengannya?

Wanita yang memamerkan aurat mereka, kemudian berlenggak-lenggok gemulai di depan orang banyak, sungguh mereka telah bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Namun hal ini malah dijadikan kebanggaan dan menjadi sebab pertikaian?

Relakah anda jika wanita-wanita tersebut adalah saudara anda, istri anda, atau anak anda? Relakah anda jika mereka kelak akan menjadi wanita-wanita yang mendapat siksaan yang sangat pedih di neraka? Sebagaimana sabda Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam:

صنفان من أهل النار لم أرهما . قوم معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس . ونساء كاسيات عاريات مميلات مائلات . رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة . لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها . وإن ريحها لتوجد من مسيرة كذا وكذا

“Ada dua jenis manusia penghuni neraka yang aku belum pernah melihat sebelumnya. Yang pertama yaitu orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka mencambuki orang lain. Yang kedua yaitu wanita yang berpakaian namun sebenarnya telanjang, mereka berjalan berlenggak-lenggok. Kepala mereka seperti punuk unta yang bergoyang. Mereka tidak masuk surga, bahkan tidak mencium wanginya surga. Padahal wanginya surga dapat tercium dari jarah yang sangat jauh.” (HR. Muslim no. 2128)

Wahai kaum muslimin, buktikan cintamu kepada Allah! Berhentilah berbangga dan berlomba dalam hal yang tidak diridhai Allah Ta’ala! Berlombalah dalam kebaikan dan ketaqwaan! Bukankah anda pernah mendengar firman Allah Ta’ala:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sungguh, yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.” (Qs. Al Hujurat: 13)

Maka irilah kepada saudaramu yang hafal Al Qur’an, irilah kepada saudaramu yang paham ilmu agama, irilah pada saudaramu yang giat beribadah, irilah pada saudaramu yang zuhud dan qanaah. Berusahalah menandingi mereka dalam hal tersebut. Irilah jika ada negeri lain yang masyarakatnya lebih shalih, dan berusahalah menjadikan negeri kita ini lebih shalih dari negeri tersebut.

Benarkah Nasionalisme Bagian Dari Iman?

Pada sebuah kesempatan, Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Uqail rahimahullah, seorang ulama besar dari Unaizah (salah satu daerah di negeri Saudi Arabia-ed), ditanya:
Bagaimana dengan ungkapan yang banyak tersebar di masyarakat, yaitu: حب الوطن من الإيمان “Cinta tanah air adalah bagian dari iman.” Apakah ungkapan ini adalah sebuah hadits yang shahih?

Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Uqail rahimahullah, menjawab:
Al Ajluni dalam kitab Kasyful Khafa berkata: “Hadits ini dikatakan oleh As Shaghani sebagai hadits maudhu (palsu).” Al Ajluni juga berkata dalam kitab Al Maqashid: “Aku tidak ragu bahwa hadits ini palsu, namun maknanya benar.” Pernyataan Al Ajluni yang menyatakan bahwa makna hadits ini benar disanggah oleh Al Qaari, ia berkata: “Pernyataan ini sungguh aneh. Karena antara cinta tanah air dengan keimanan sama sekali tidak ada kaitannya.” Kemudian Al Qaari berdalil dengan ayat:

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ ۖ

“Seandainya Allah memerintahkan mereka untuk membunuh diri mereka atau memerintahkan mereka untuk keluar dari negerinya, maka mereka tidak akan patuh, kecuali sedikit orang saja.” (Qs. An Nisa: 66)

Ayat ini dalil bahwa mereka mencintai negeri mereka padahal mereka tidak memiliki iman karena yang dimaksud ‘mereka’ dalam ayat ini adalah orang-orang munafik (orang yang mengaku iman di lisan namun tidak dihatinya, pent).

Akan tetapi, sebagian ulama menyanggah Al Qaari dengan menyatakan bahwa yang dimaksud hadits ini bukanlah orang yang cinta tanah air itu pasti beriman. Melainkan maksudnya adalah bahwa ‘cinta kepada tanah air tidak menafikan iman’.

Menurutku, andaikan hadits ini shahih, bisa dibenarkan jika wathon kita artikan sebagai:

1. Surga, karena surga adalah negeri pertama bagi keturunan Adam ‘ alaihissalam.
2. Mekkah, karena Mekkah adalah Ummul Quraa (Ibu kota dari semua kota) dan kiblatnya orang alim.
3. Negeri yang baik, namun dengan syarat cinta kepada negeri dikarenakan adanya itikad untuk menyambung silaturahim, atau berbuat baik kepada penduduk negeri tersebut, misalnya kepada orang fakir dan anak yatim (bukan karena semangat nasionalisme, pent).

Sehingga pemaknaan yang benar adalah tidak menghubungkan adanya cinta tanah air dengan keimanan, juga tidak memutlakkan, namun dimaknai secara umum saja. Perhatikanlah hadits:

حسن العهد من الإيمان، وحب العرب من الإيمان

“Menepati janji adalah bagian dari iman dan mencintai bangsa Arab adalah bagian dari iman.”

Padahal orang kafir pun ada yang menepati janji dan mencintai bangsa Arab.

[Demikian penjelasan Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al 'Uqail, dikutip dari Fatawa Mawqiul Islam, fatwa no. 15]

Ulama pakar hadits abad ini, Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata dalam Silsilah Ahadits Adh Dhaifah: “Hadits ini adalah hadits palsu. As Shaghani dan ulama yang lain berkata: ‘Makna hadits ini tidak benar. Karena kecintaan kepada tanah air seperti mencintai diri sendiri, mencintai harta, dan semacamnya. Ini semua merupakan sifat-sifat manusiawi sehingga seseorang yang mencintai hal-hal tersebut tidak serta-merta dipuji. Oleh karena itu, mencintai tanah air bukan bagian dari iman. Bukankah anda melihat bahwa semua manusia memiliki sifat ini? Baik yang mu’min maupun yang kafir tanpa terkecuali.’ (Silsilah Ahadits Adh Dhaifah, 36)

Nasionalisme yang Dibenarkan Islam

Dari penjelasan-penjelasan di atas, semoga pembaca dapat memahami bahwa semangat nasionalisme tidak sesuai dengan ajaran Islam karena semangat nasionalisme mendahulukan dan mengutamakan persaudaraan antara orang-orang sebangsa daripada persaudaraan Islam. Semangat nasionalisme juga menempatkan kecintaan terhadap tanah air melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia rela melakukan hal yang bermanfaat bagi negerinya meskipun itu mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Namun cinta tanah air tidak selamanya keliru.

Berbicara tentang cinta tanah air, memang benar bahwa mencintai tanah kelahiran adalah hal yang manusiawi. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencintai tempat kelahiran beliau, Makkah. Sampai-sampai beliau bersabda:

ما أطيبكِ من بلد، وأحبَّكِ إليَّ، ولولا أن قومي أخرجوني منكِ ما سكنتُ غيركِ

“Wahai Makkah, tidak ada negeri yang lebih baik dan lebih kucintai dari pada engkau. Andai kaumku tidak mengusirku darimu, aku tidak akan pernah tinggal di negeri lain.” (HR. At Tirmidzi no.3926, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

Beliau mencintai Makkah bukan karena semata-mata tempat kelahiran, namun karena Makkah adalah negeri kaum muslimin, negeri tauhid yang diwariskan Ibrahim ‘Alahissalam. Oleh karena itu, beliau pun mencintai Madinah, yang juga negeri kaum muslimin, walaupun bukan tempat kelahiran beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika peristiwa hijrah ke Madinah:

اللهم حبب إلينا المدينة كحبنا مكة أو أشد

“Ya Allah, berikanlah kami rasa cinta terhadap Madinah sebagaimana kami mencintai Makkah, atau bahkan cinta yang lebih besar dari itu.” (HR. Bukhari no.6372)

Maka nasionalisme yang benar adalah nasionalisme yang didasari rasa cinta kepada Allah Ta’ala. Yaitu mencintai negeri tempat kelahiran kita yang merupakan negeri kaum muslimin, karena Islam ditegakkan di dalamnya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: “Tanah air dicintai jika ia merupakan negeri kaum muslimin. Setiap orang wajib bersemangat untuk berbuat kebaikan di negerinya, juga di negeri lain yang merupakan negeri kaum muslimin. Setiap orang juga wajib mengusahakan keluarga dan kerabatnya tinggal di negeri kaum muslimin.” (Fatawa Wal Maqalat Mutanawwi’ah, Juz 9, http://www.binbaz.org.sa/mat/2078 )

Selain itu, sebagaimana dijelaskan Syaikh Al Uqail, semangat cinta tanah air dapat dibenarkan jika diniatkan dalam rangka ingin berbuat baik kepada masyarakatnya. Dengan kata lain, ia mencintai negerinya karena orang-orang yang ia sayangi berada di negeri tersebut, dan ia ingin berbuat baik kepada mereka. Karena memang Islam mengajarkan untuk mendahulukan orang-orang terdekat dalam berbuat kebaikan. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (Qs. At Tahrim: 5)

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيئًاۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat…” (Qs. An Nisa: 36)

Oleh karena itu, kami mengajak kaum muslimin sekalian untuk meninggalkan semangat nasionalisme jahiliyyah dan beralih kepada semangat nasionalisme di dasari rasa cinta kepada Allah Ta’ala. Mari kita bersama membangun negeri kita ini dalam setiap aspek kehidupan, sehingga kaum muslimin kuat dan kokoh. Mari kita dukung program-program pemerintah yang sejalan dengan nilai-nilai Islami, dan mari unggulkan negeri kita ini dalam hal kebaikan dan ketaqwaan. Kemudian, ikatlah persaudaraan yang erat antara kaum muslimin dimana pun berada, selama ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Sungguh persaudaraan karena Allah itu sangat indah.

Mudah-mudahan Allah menjadikan negeri kita ini sebagai negeri yang diridhai-Nya. Semoga pada negeri ini diturunkan rahmah serta keberkahan Allah di dalamnya. Semoga Allah menjadikan penduduknya menjadi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah serta bersatu-padu menjalin persaudaraan yang kuat dan kokoh karena-Nya. Wallahul musta’an.

***

Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id