Saat engkau sedang sendiri jangan katakan aku sendiri, tetapi katakan ada yang senantiasa mengawasi diri ini. Dan sedikitpun jangan menyangka bahwa Allah lalai, atau menyangka Dia tak tahu apa yang tersembunyi.

Sabtu, 29 Januari 2011

Menghamba Kepada-Nya



Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

Allah memiliki berbagai perintah yang wajib ditunaikan oleh para hamba-Nya, memiliki takdir berupa musibah dan ‘aib (maksiat) yang ditetapkan atas para hamba-Nya, memiliki nikmat yang diberikan kepada mereka.

Ketiga hal ini, yaitu perintah, takdir, dan nikmat memiliki ragam penghambaan kepada-Nya yang wajib ditunaikan setiap hamba. Pribadi yang paling dicintai-Nya adalah yang mampu mengenal berbagai bentuk penghambaan dan mampu menunaikan hak-Nya dalam ketiga kondisi tersebut. Pribadi yang paling jauh dari-Nya adalah pribadi yang tidak tahu bagaimana bentuk penghambaan kepada-Nya dalam ketiga kondisi tadi.

Bentuk penghambaan terkait perintah-Nya adalah dengan melaksanakannya secara ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkait dengan larangan-Nya, yaitu dengan menjauhinya karena takut dan cinta kepada-Nya, karena mengagungkan-Nya.
Penghambaan kepada-Nya ketika ditimpa musibah adalah dengan bersabar atas musibah tersebut; kemudian ridha, yang tingkatannya lebih tinggi dari bersabar; kemudian bersyukur, yang tingkatannya lebih tinggi dari ridha. Semua itu akan terwujud apabila kecintaan kepada-Nya terhunjam kuat di dalam hati hamba, dan dia tahu bahwa musibah tersebut merupakan pilhan terbaik baginya, bentuk kebaikan dan kelembutan-Nya kepada dirinya, meskipun dia tidak suka terhadap musibah itu.
Penghambaan kepada-Nya ketika tertimpa kemaksiatan adalah dengan segera bertaubat kepada-Nya, berdiri di hadapan-Nya dalam keadaan memohon ampunan dengan hati yang tercerai berai, karena tahu tidak ada yang mampu menghilangkan ‘aib tersebut melainkan Dia semata, tidak ada yang mampu membendung keburukannya selain diri-Nya. Dirinya tahu, apabila ‘aib tersebut dibiarkan, maka akan menjauhkan dirinya dari berdekat-dekat dengan-Nya, ‘aib tersebut akan melempar dirinya dari pintu-Nya. Dengan demikian, dia melihat ‘aib merupakan bahaya yang tidak dapat disingkap kecuali oleh -Nya, dan dia berkeyakinan bahwa ‘aib (maksiat) tersebut lebih berbahaya daripada penyakit fisik.
Sehingga dia adalah seorang yang meminta perlindungan dengan ridha-Nya dari kemurkaan-Nya, meminta perlindungan dengan pemaafan-Nya dari siksa-Nya, dirinya butuh dan berlindung kepada-Nya. Dirinya tahu apabila dia terlepas dari perlindungan-Nya, maka kemaksiatan dan aib yang serupa atau bahkan yang lebih buruk akan terjadi. Dirinya tahu tidak ada jalan untuk melepaskan diri dari belenggu maksiat dan bertaubat dari hal itu, kecuali dengan taufik dan ‘inayah-Nya, semua hal itu berada di tangan-Nya, bukan di tangan hamba.

Dengan demikian, dia adalah seorang yang lemah, tidak berdaya untuk mendatangkan taufik bagi dirinya sendiri, tidak mampu mendatangkan ridha Tuan-nya tanpa izin, kehendak, dan ‘inayah-Nya. Dirinya adalah seorang yang butuh kepada-Nya, hina, miskin, menjatuhkan diri di hadapan-Nya, mengetuk pintu-Nya. (Dengan adanya maksiat itu dia memandang dirinya sebagai) orang yang paling rendah dan hina, sehingga dia sangat fakir dan butuh kepada-Nya, dia cinta kepada-Nya. (Dia tahu) tidak ada kebaikan pada dirinya, tidak pula kebaikan itu berasal darinya, yang ada adalah seluruh kebaikan adalah milik Allah, berada di tangan-Nya, dengan kehendak-Nya, dan berasal dari-Nya. Dia-lah yang mengatur nikmat, menciptakan, dan memberikan kepada dirinya disertai kebencian-Nya apabila dirinya berpaling, lalai dan bermaksiat kepada-Nya.

Maka, bagian Allah adalah pujian dan sanjungan, sedangkan bagian hamba adalah celaan, kekurangan, dan ‘aib. Dia memonopoli seluruh pujian dan sanjungan, Dia-lah yang menguasakan berbagai kekurangan dan ‘aib kepada hamba (apabila mendurhakai-Nya). Seluruh pujian hanya untuk-Nya, seluruh kebaikan berada di tangan-Nya, seluruh keutamaan dan nikmat hanya untuk-Nya.

Seluruh kebaikan berasal dari-Nya, seluruh keburukan berasal dari hamba. Dia memperlihatkan kasih sayang kepada hamba dengan mencurahkan nikmat kepada mereka, adapun hamba-Nya memperlihatkan kebencian kepada-Nya dengan bermaksiat kepada-Nya. Dia membimbing hamba-Nya, adapun hamba, dia curang kepada-Nya ketika berinteraksi dengan-Nya.

Adapun bentuk penghambaan ketika memperoleh nikmat adalah dengan terlebih dahulu mengetahui dan mengakui pada hakekatnya nikmat itu berasal dari-Nya; kemudian berlindung dengan-Nya, jangan sampai terbersit dalam hati tindakan menisbatkan dan menyandarkan nikmat tersebut kepada selain-Nya, meskipun hal itu merupakan sebab terwujudnya nikmat, karena Dia-lah yang menyebabkan dan memberikan pengaruh pada sebab tersebut. Sehingga dari segala sisi nikmat itu hanya berasal dari-Nya; kemudian memuji-Nya atas nikmat yang diberikan, mencintai-Nya atas nikmat tersebut; kemudian bersyukur atas nikmat tersebut dengan menggunakannya untuk ketaatan kepada-Nya.
Bentuk penghambaan yang tertinggi terkait dengan nikmat-Nya adalah memandang banyak nikmat-Nya yang sedikit dan memandang betapa kecil rasa syukur yang dia tunaikan atas nikmat tersebut. Dia meyakini bahwa nikmat tersebut sampai kepada dirinya, dari Tuan-nya, tanpa ada biaya yang dia keluarkan, tanpa ada perantara, dia tahu dirinya tidak berhak atas nikmat tersebut, karena nikmat itu pada hakekatnya hanyalah milik-Nya, bukan milik hamba.

Maka setiap nikmat bertambah, maka bertambah pulalah ketundukan dan kehinaan diri di hadapan-Nya, bertambah pula sikap tawadhu’ (rendah hati) dan cinta kepada Sang pemberi nikmat. Sehingga setiap kali Allah memperbarui nikmat baginya, maka akan timbul penghambaan, kecintaan, kekhusyu’an, dan kehinaan terhadap-Nya; setiap kali Allah mencabut nikmat itu darinya, maka setiap kali itu pula timbul rasa ridha; setiap kali dia berbuat dosa, dirinya akan segera bertaubat, hatinya tercerai berai di hadapan-Nya, dan meminta maaf kepada-Nya.

Itulah hamba yang cerdas, adapun hamba yang dungu adalah yang tidak mampu merealisasikan itu semua.


Waffaqaniyalahu wa iyyakum.


[Diterjemahkan dari Fawaaidul Fawaaid hal. 46-48]

Gedong Kuning, Yogyakarta, 20 Rabi’uts Tsani 1431.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

Mengapa Tidak Semakin Mendekat Kepada Allah?



Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin


Ketika bencana terjadi secara beruntun, mengapa banyak manusia semakin merendahkan diri dan semakin mengagungkan para pembesar jin yang diyakini sebagai penguasa laut, gunung-gunung, hutan-hutan atau tempat-tempat tertentu lainnya? Mengapa Allah sebagai Pencipta dan Penguasa alam semesta sesungguhnya, sekaligus sebagai pembuat bencana, justeru ditinggalkan, dilupakan dan diabaikan? Adakah pembesar-pembesar jin itu –meskipun mereka berkoalisi- mampu mengatasi bergolaknya gelombang laut dan mampu mengendalikan lahar-lahar dan awan panas jika Allah, Penguasa alam semesta ini, menghendaki terjadinya?

أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَّعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ

Atau siapakah yang dapat mengabulkan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepadanya, dan yang dapat menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada sesembahan yang benar selainNya? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). [an Naml/27 : 62].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan : Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan bahwa hanya Dia sajalah yang akan dimohon ketika ada kesulitan-kesulitan berat, dan hanya Dia sajalah sandaran harapan ketika turun bencana-bencana. Sebagaimana telah Allah firmankan dalam ayat lain:

وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ

Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah (dari ingatan kamu) sesembahan yang biasanya kamu seru kecuali Allah. [al Israa`/17 : 67].

ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Dan bila kamu ditimpa oleh kemadharatan, maka hanya kepada Allah sajalah kamu meminta pertolongan. [an Nahl/16 : 53].

Maksudnya, tidak ada Dzat yang dapat dijadikan tempat berlindung oleh orang yang terhimpit kesulitan kecuali Allah, dan tidak ada yang dapat melepaskan marabahaya dari seseorang kecuali Dia saja.[1]

Sementara Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh mengatakan : Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa kaum musyrikin dari bangsa Arab dan semisalnya, dahulu benar-benar mengetahui bahwasanya tidak ada yang dapat mengabulkan permohonan orang yang terdesak dalam himpitan berat dan tidak ada yang dapat menghilangkan kesulitan kecuali Allah saja. Kemudian Allah menyebutkan pengetahuan mereka itu di sini sebagai hujjah pematah bagi tindakan mereka yang (meskipun sudah mengetahui hanya Allah saja yang dapat melepaskan seseorang dari himpitan kesulitan, tetapi tetap) menjadikan selain Allah sebagai pemberi syafa’at. Karena itulah Allah selanjutnya berfirman:

أَإِلَٰهٌ مَّعَ اللَّهِ

Apakah di samping Allah ada sesembahan yang benar selainNya?[an Naml/27:62]

Maksudnya, adakah sesembahan selain Allah yang dapat memberikan pertolongan? Jika sesembahan-sesembahan mereka tidak mampu mengabulkan pertolongan pada saat mereka dalam kesulitan, maka seharusnya mereka tidak menjadikannya sekutu-sekutu bagi Allah.[2]

Kenyataannya, banyak orang sekarang tidak bertambah dekat kepada Allah pada saat mendapat himpitan keadaan yang berat seperti bencana dan lainnya. Sebaliknya justeru semakin durhaka kepadaNya Azza wa Jalla. Mereka bukan memohon pertolongan kepada Allah, tetapi malah mencari solusi dan alternatif lain yang justeru mendatangkan murkaNya. Ironisnya, hal ini dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dewasa ini yang hidup di era moderen.

Padahal kaum musyrikin pada masa jahiliyah di Arab dahulu ketika dihadapkan pada keadaan genting dimana nyawa seakan berada di ujung tanduk, mereka segera berlindung kepada Allah dengan tulus ikhlas dan memurnikan ketaatan hanya kepadaNya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo'a kepada Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah). [al Ankabut/29 : 65]

Mereka dengan ikhlas kembali kepada Allah pada saat mengalami keadaan genting, meskipun mereka kembali lagi pada kemusyrikannya setelah terbebas dari kesulitan.

Tetapi banyak orang sekarang, meskipun terhimpit oleh keadaan yang menyulitkan, bahkan terancam oleh kematian, seakan-akan tidak meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya penolong yang kuasa melepaskan seseorang dari kesulitan, dan tidak ada siapapun selainNya yang dapat melakukannya. Oleh sebab itulah mereka enggan mendekatkan dirinya kepada Allah dengan meningkatkan semangat beribadah dan meninggalkan perbuatan syirik, khurafat, bid'ah dan kemaksiatan. Mereka justeru mencari pelarian kepada dukun-dukun atau ke tempat-tempat keramat atau benda-benda penangkal atau kepada pembesar-pembesar jin yang diyakini sebagai penunggu atau pengendali kawasan tertentu. Mereka ber-istighatsah (mengeluhkan masalah untuk mencari solusi) kepada selain Allah.

Apakah ini pertanda, orang sekarang yang hidup di era teknologi serba canggih lebih terbelakang sikap hidupnya dibanding dengan orang-orang dahulu yang memiliki sebutan jahiliyah? Ataukah ini merupakan pertanda hari kiamat makin dekat sebab batas antara muslim dengan orang musyrik semakin tidak jelas?
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ وَحَتَّى تَعْبُدَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي الْأَوْثَانَ وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي

Dan tidak akan terjadi hari kiamat sampai kabilah-kabilah di antara umatku bergabung dengan kaum musyrikin, dan sampai kabilah-kabilah di antara umatku menyembah berhala. Dan sesungguhnya akan ada di tengah umatku para pendusta yang berjumlah tiga puluh, semuanya mengaku nabi. Padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku.[3]

Itulah fakta yang ada, sebagian orang sekarang, ketika berada dalam kesulitan, tidak tergerak hatinya untuk menyadari bahwa Allah-lah Penguasa tunggal yang menjadi tempat berlindung dari segala marabahaya. Apalagi ketika mereka dalam keadaan lapang dan senang. Ketika bencana semakin banyak melanda, maka semakin bersemangat pula sebagian orang memuja setan dan semakin tidak percaya kepada Allah. Padahal semakin banyak orang berbuat durhaka kepada Allah, jaminan keamanan dan ketenteraman dari Allah akan semakin sirna, bahkan tidak mustahil jika Allah justeru akan semakin banyak menimpakan bencana di dunia sebelum di akhirat. Dan bencana akhirat tentu lebih mengerikan daripada bencana dunia.

Allah Azza wa Jalla berfirman, di antaranya:

قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ بَغْتَةً أَوْ جَهْرَةً هَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الظَّالِمُونَ

Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika datang siksaan Allah kepadamu dengan sekonyong-konyong atau terang-terangan, maka adakah yang dibinasakan (Allah) selain orang-orang yang zhalim. [al An'am/6 : 47].

Imam Ibnu Katsir menjelaskan: Sesungguhnya kebinasaan yang menyelimuti diri-diri orang-orang zhalim hanyalah disebabkan oleh kemusyrikan kepada Allah. Dan selamatlah orang-orang yang beribadah hanya kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi Allah. Maka orang-orang yang beribadah ini tidak diliputi rasa takut dan tidak pula kesedihan. [4]

Allah juga berfirman:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَىٰ بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ

Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, sedang penduduknya orang-orang yang melakukan perbaikan. [Hud/11 : 117]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan: Kemudian Allah Ta'ala memberitakan bahwa Dia tidak akan membinasakan suatu negeri kecuali penduduknya berbuat zhalim kepada diri sendiri. Dan Allah tidak akan mendatangkan siksa dan adzabnya kepada suatu negeri yang penduduknya melakukan perbaikan, sampai mereka melakukan kezhaliman-kezhaliman. Tentu kezhaliman terbesar adalah kemusyrikan kepada Allah seperti telah dikemukakan di atas.

Sesungguhnya mencari solusi kepada selain Allah dengan mendekatkan diri kepada setan, misalnya dengan memberikan sesajian ke tempat-tempat tertentu yang dianggap rawan karena diyakini ada yang mbaurekso (Jawa : menunggu, mengusai), atau melakukan upacara-upacara tertentu untuk meminta keselamatan kepada selain Allah, seperti ruwatan, sedekah bumi, sedekah laut dan lain-lain, adalah perbuatan syirik yang dosanya tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan bertaubat.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [an Nisaa`/4 : 48]

Oleh karena itu, hendaknya orang menjauhi perbuatan-perbuatan syirik semacam itu. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَدْعُ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ
وَإِن يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah, apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim (musyrik). Jika Allah menimpakan suatu madharat kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[Yunus/10 : 106-107].

Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as Sa'di, seorang ulama besar yang hidup pada tahun 1307H-1376H, menjelaskan firman Allah pada ayat di atas:

فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ

(sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim).

Kezhaliman di sini maksudnya adalah syirik. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

[sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. –Luqman/31 ayat 13].[6]

Maksudnya, pelaku yang berbuat demikian itu (memohon kepada sesuatu yang tidak memberikan manfaat dan madharat) termasuk orang musyrik. Seperti yang juga dikatakan oleh Imam ath Thabari dalam tafsirnya tentang ayat di atas : "Termasuk orang-orang yang zhalim" ialah termasuk orang-orang yang musyrik kepada Allah, zhalim kepada diri sendiri [7]. Dan ayat ini merupakan salah satu dalil yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah tentang syiriknya ber-istighatsah (mengeluhkan masalah untuk mencari solusi) kepada selain Allah.

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh mengatakan [9] : Banyak ayat senada dengan ayat di atas. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

فَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ

Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) ilah yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang di 'azab. [asy Syu'ara/26 : 213].

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman :

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّن يَدْعُو مِن دُونِ اللَّهِ مَن لَّا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَن دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ
وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ

Dan tidak ada yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do'anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do'a mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan mereka itu menjadi musuh bagi mereka (para penyembahnya) dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka. [al Ahqaf/46 : 5-6].

Para ulama menjelaskan, maksud ayat di atas ialah tidak ada yang lebih sesat daripada orang yang meminta-minta dan melakukan persembahan kepada selain Allah yang berupa patung-patung serta meminta-minta kepada sesuatu yang tidak dapat memberikan apa-apa hingga hari kiamat. Patung-patung dan sesembahan-sesembahan selain Allah itu tidak akan mendengar permintaan dan tidak akan menyambut panggilan para pemintanya. Bahkan pada hari kiamat para sesembahan selain Allah tersebut akan menjadi musuh bagi para pemintanya. [11]

Allah juga berfirman:

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ
إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

Dan makhluk-makhluk yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan berita kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Allah Yang Maha Mengetahui. [Fathir/35 : 14 - 15]. [12]

Memotong hewan untuk dipersembahkan kepada yang diyakini sebagai penunggu laut selatan atau penunggu gunung berapi supaya tidak murka dan mengamuk hingga terjadi tsunami, gempa, gunung meletus atau bencana-bencana lainnya, juga jelas merupakan perbuatan syirik, dilaknat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hanya dilakukan oleh orang-orang terbelakang. Di antara dalilnya adalah hadits berikut:

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَسُرَيْجُ بْنُ يُونُسَ كِلَاهُمَا عَنْ مَرْوَانَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيُّ حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ حَيَّانَ حَدَّثَنَا أَبُو الطُّفَيْلِ عَامِرُ بْنُ وَاثِلَةَ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيْكَ قَالَ فَغَضِبَ وَقَالَ مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيَّ شَيْئًا يَكْتُمُهُ النَّاسَ غَيْرَ أَنَّهُ قَدْ حَدَّثَنِي بِكَلِمَاتٍ أَرْبَعٍ قَالَ فَقَالَ مَا هُنَّ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَالَ قَالَ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ. (أخرجه مسلم)

Zuhair bin Harb dan Suraij bin Yunus telah menceritakan kepada kami, kedua-duanya dari Marwan. Zuhair berkata,”Marwan bin Mu'awiyah al Fazari telah menceritakan kepada kami (bahwa) Manshur bin Hayyan telah menceritakan kepada kami, (bahwa) Abu ath Thufail 'Aamir bin Waatsilah telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Saya pernah berada di hadapan Ali bin Abi Thalib, kemudian datanglah seorang laki-laki seraya berkata: ‘Apakah yang pernah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam rahasiakan kepadamu?’ Abu ath Thufail berkata: Maka Ali marah seraya berkata: ‘Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang beliau sembunyikannya kepada manusia. Hanya saja beliau menceritakan kepadaku tentang empat perkataan,’ maka orang itu bertanya: ‘Apakah empat perkataan itu?’ Ali menjawab: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Allah melaknat orang yang melaknat orang tuanya, Allah melaknat orang yang menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada selain Allah, Allah melaknat orang yang melindungi orang yang berbuat bid'ah (atau berbuat kejahatan), dan Allah melaknat orang yang merubah tanda-tanda batas tanah".[13]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah, seorang ulama besar zaman ini yang wafat beberapa tahun lalu, menjelaskan: "Menyembelih binatang untuk maksud mendekatkan diri dan mengagungkan selain Allah hukumnya syirik akbar, mengeluarkan pelakunya dari Islam".[14]

Lebih lanjut beliau rahimahullah menerangkan arti laknat Allah. Beliau menerangkan, laknat dari Allah artinya menjadikan terusir dan jauh dari rahmat Allah. Apabila dikatakan: Allah melaknatnya, berarti: Allah mengusir dan menjauhkannya dari rahmatNya. Apabila dikatakan: Ya Allah laknatlah Fulan, artinya: Ya Allah, jauhkanlah Fulan dari rahmatMu." [15]

Demikian pula memakai gelang dari besi, perak, emas, tembaga, benang, janur, akar bahar atau yang semacamnya untuk maksud tolak bala atau menghilangkan bala, juga termasuk perbuatan syirik.

Mengapa? Karena orang yang membuat sebab, -misalnya sebab kesembuhan atau sebab kesuksesan, padahal Allah tidak pernah menjadikannya sebagai sebab, baik secara syar'i maupun secara takdir- [16] berarti ia telah mempersekutukan Allah. Karena ia menganggap selain Allah dapat membuat sebab [17]. Namun syirik yang dimaksud pada pembahasan terakhir ini, bisa syirik asghar/kecil (tidak sampai mengeluarkan dari agama), bisa pula syirik akbar (yang mengeluarkan dari agama); tergantung pada keyakinan pemakainya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah. [18]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah membawakan dalil-dalil tentang syiriknya hal ini, antara lain firman Allah :

قُلْ أَفَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ ۚ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ ۖ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan madharat kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan madharat itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya.Katakanlah:"Cukuplah Allah bagiku".Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.'' [az Zumar/39 : 38]

Dan masih banyak nash lain, baik dari al Qur`an maupu hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kesimpulannya, dari pemaparan ayat-ayat serta hadits-hadits di atas, menunjukkan bahwa makhluk, siapapun adanya, baik malaikat, para nabi, apalagi setan, jin dan apalagi makhluk-makhluk yang sudah mati atau benda-benda mati, tidak akan dapat memberikan manfaat apapun dan madharat apapun. Maka memohon, mendekatkan diri dan merendahkan diri dengan melakukan persembahan kepada makhluk-makhluk ini hukumnya syirik. Orang akan hancur dan binasa karenanya.

Ketika umat banyak mendapat musibah dan bencana hingga mengakibatkan lenyapnya nyawa, harta benda dan tempat tinggal serta kesengsaraan-kesengsaraan duniawi lain, mestinya mereka semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak bertaubat, meluruskan dan meningkatkan ibadahnya kepada Allah, menjauhi kemusyrikan, bid'ah, khurafat, takhayul dan maksiat. Sebab Allah-lah penolong satu-satunya. Hanya Dia saja yang kuasa memberikan solusi sebaik-baiknya dan Dia Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.

Marilah kembali ke jalan lurus. Dan hendaknya setiap insan menyayangi dirinya, apalah arti hidup di dunia ini jika kelak di akhirat mengalami kesengsaraan tak berkesudahan di neraka akibat perbuatan syirik yang dilakukannya di dunia hanya karena tidak sabar menghadapi cobaan atau bahkan lebih percaya pada keyakinan-keyakinan batil kepada dukun, tempat tertentu atau penunggu tempat tertentu. Nas'alullaha al 'Afiyah was Salamah min Kulli asy Syirki.

Maraji':
1. Tafsir al Qur`anul ‘Azhim, Ibnu Katsir, taqdim Abdul Qadir al Arna'uth, Darul Fa-iha` dan Darus Salam. Cet. I, 1414H/1994M.
2. Tafsir Taisir al-Karimir-Rahman, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as Sa'di, Masyru' Maktabah Thalib al Ilmi, Jum'iyyah Ihya'ut Turats al Islami, Kuwait, Cet. I, 1418H/1997M dalam 2 jilid.
3. Tafsir Jami'ul Bayan 'an Ta'wil Aayil Qur`an, atau dikenal dengan Tafsir ath Thabari, dhabt wa ta'liq Mahmud Syakir, Daarut Turats al Arabi, Cet. I, 1421H/2001M.
4. Shahih Muslim Syarh Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma'mun Syiha, Darul Ma'rifah, Beirut, Cet. III, 1417H/1996M.
5. Shahih Sunan Abi Dawud, Syaikh al Albani, III/9, Maktabah al Ma'arif, Cet. II, 1421H/2000M.
6. Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, karya Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, tash-hih dan ta'liq Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Masyru' Idarah al Masajid wal Masyari' al Khairiyah, Riyadh (Maktabah Darus-Salam dan Maktabah Darl Faiha'), Cet. I, 1413H/1992M.
7. Al Qaulul Mufid 'ala Kitabut Tauhid, yang dikumpulkan, ditulis dan ditakhrij oleh Dr. Sulaiman bin Abdillah bin Hamud Abal Khail dan Dr. Khalid bin Ali al Musyaiqih, Daarul 'Ashimah, Cet. I, 1415H.
8. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7-8/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

Rabu, 26 Januari 2011

Islam, Anda Sudah Paham?



Islam adalah nama bagi sebuah din/agama yang haq, agama yang diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya. Islam bukan sekedar kepercayaan yang mengandung sikap pasrah semata tanpa ada rambu-rambu khusus -seperti syari’at yang diajarkan Nabi kepada kita- sebagaimana yang diklaim oleh kaum liberal dan pluralis.

Buktinya, di dalam hadits Jibril Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Islam itu meliputi; syahadat/persaksian bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji. Lalu, dimanakan bisa ditemukan ajaran-ajaran ini kalau bukan dalam agama Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Di dalam hadits yang lain, dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan, “Islam dibangun di atas lima perkara: kewajiban untuk mentauhidkan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16, ini lafal Muslim, lihat Fath al-Bari [1/63] dan Syarh Muslim [2/31]). Berdasarkan riwayat hadits ini dapat kita ketahui juga bahwasanya istilah ‘tauhid’ bukanlah istilah baru yang tidak dikenal di masa Nabi, bahkan Nabi sendirilah yang mengajarkannya kepada kita!

Dalam jalur riwayat lain -di dalam Shahih Muslim- masih dari Ibnu Umar juga disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: kewajiban beribadah kepada Allah -semata- dan mengingkari segala sesembahan selain-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji ke baitullah, dan puasa Ramadhan.” (lihat Syarh Muslim [2/32])

Berdasarkan dalil-dalil semacam itulah para ulama -di antaranya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah- mendefinisikan bahwa islam adalah: ‘Kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, bersikap tunduk kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan berlepas diri dari kemusyrikan beserta segenap penganutnya’ (lihat Hushul al-Ma’mul, hal. 104). Apabila kita cermati maka pengertian ini sangat bersesuaian dengan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas.

Ada satu hal yang patut untuk digarisbawahi di sini adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan beberapa ungkapan untuk menyebutkan syahadat, yaitu:

1. Kewajiban mentauhidkan Allah
2. Kewajiban beribadah kepada Allah -semata- dan mengingkari segala sesembahan selain-Nya
3. Bersaksi bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Allah dan Muhammad utusan Allah

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa barangsiapa yang tidak memenuhi ketiga hal di atas maka tidak bisa disebut sebagai seorang muslim. Artinya, orang yang bukan muslim itu bisa mencakup:

1. Orang yang tidak mentauhidkan Allah, dan ini mencakup semua orang selain pemeluk Islam, bahkan mencakup kaum munafikin walaupun mereka ‘berbaju’ Islam, dan juga tercakup di dalamnya kaum atheis yang tidak meyakini adanya tuhan. Allah ta’ala berfirman tentang orang-orang munafikin (yang artinya), “Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’ padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 8)
2. Orang yang beribadah kepada Allah namun tidak mengingkari sesembahan selain-Nya, yaitu orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah dalam ibadah. Mereka beribadah kepada Allah dan juga beribadah kepada selain Allah, kelompok ini pun sebenarnya sudah tercakup dalam kategori yang pertama di atas. Allah ta’ala berfirman tentang mereka (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka Allah haramkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tiada seorang penolongpun bagi orang-orang zalim itu.” (QS. al-Ma’idah: 72). Allah ta’ala juga berfirman mengenai status sesembahan selain-Nya (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah adalah satu-satunya [sesembahan] yang benar sedangkan segala sesuatu yang mereka seru/sembah selain-Nya adalah batil…” (QS. al-Hajj: 62)
3. Orang yang beribadah kepada Allah semata dan mengingkari sesembahan selain-Nya namun tidak mau mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau diutus kepada mereka, seperti halnya kaum ahli kitab di Yaman yang didakwahi oleh Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang beliau itu diutus oleh Allah untuk mengajarkan agama Islam kepada segenap manusia- telah menegaskan dalam sabdanya, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seorang pun yang mendengar kenabianku di antara umat ini entah dia Yahudi atau Nasrani, lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan risalah/ajaran yang aku bawa melainkan dia pasti termasuk golongan penduduk neraka.” (HR. Muslim no. 153, lihat Syarh Muslim [2/243]). Oleh sebab itu an-Nawawi rahimahullah memberi judul bab untuk hadits ini dengan judul ‘Kewajiban beriman terhadap risalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berlaku bagi segenap manusia dan dihapusnya semua agama dengan agamanya’ (lihat Syarh Muslim [2/242])

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Buah dari Tawakkal

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Buah dari tawakkal kepada Allah Ta’ala amatlah banyak. Yang paling utama adalah “Allah akan mencukupi segala urusan orang yang bertawakkal.”

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3)

Barangsiapa yang menyandarkan urusannya pada Allah, hanya menyandarkan kepada Allah semata, ia pun mengakui bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan kebaikan dan menghilangkan bahaya selain Allah, maka sebagaimana dalam ayat dikatakan, “Allah-lah yang akan mencukupinya.” Yaitu Allah menyelamatkannya dari berbagai bahaya. Karena yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan. Ketika seseorang bertawakkal pada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, Allah pun membalasnya dengan mencukupinya, yaitu memudahkan urusannya. Allah yang akan memudahkan urusannya dan tidak menyandarkan pada selain-Nya. Inilah sebesar-besarnya buah tawakkal.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ

“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu.” (QS. Al Anfal: 64)

وَإِنْ يُرِيدُوا أَنْ يَخْدَعُوكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللَّهُ هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ

“Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (yang akan mencukupimu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin.” (QS. Al Anfal: 62)

Jadi buah yang paling utama dari tawakkal pada Allah adalah Allah akan memberi kecukupan pada orang yang bertawakkal pada-Nya. Oleh karenanya, Allah berfirman mengenai keadaan Nabi Nuh ‘alaihis salam, di mana beliau berkata pada kaumnya,

إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيرِي بِآَيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ

“Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” (QS. Yunus: 71)

Allah berfirman mengenai Nabi Hud ‘alaihis salam,

أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (54) مِنْ دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنْظِرُونِ (55) إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آَخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (56)

“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (QS. Hud: 54-56)

Allah berfirman mengenai Nabi Syu’aib alaihis salam,

وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)

Allah berfirman mengenai Nabinya –Muhammad- ‘alaihish sholaatu was salaam,

قُلِ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ كِيدُونِ فَلَا تُنْظِرُونِ (195) إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ (196) وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَكُمْ وَلَا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ (197)

“Katakanlah: “Panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-ku. tanpa memberi tangguh (kepada-ku)”. Sesungguhnya Pelindungku ialah yang telah menurunkan Al kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang shaleh. Dan berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri.” (QS. Al A’rof: 195-197)

Dari penjelasan di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan mengenai para rasul-Nya yang mulia di mana mereka tidak mendapatkan bahaya dari kaum dan sesembahan kaum mereka. Apa kuncinya? Karena mereka bertawakkal pada Allah. Siapa saja yang bertawakkal pada Allah, pasti Allah akan mencukupinya.

Buah tawakkal yang kedua, buah tawakkal yang lain adalah mendapatkan cinta Allah. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imron: 159)

Barangsiapa yang benar-benar bertawakkal pada Allah, maka Allah akan mencintainya. Jika Allah telah mencintainya, maka ia akan merasakan kebahagiaan di dunia dan akhirat, ia akan menjadi orang-orang yang dicintai di sisi-Nya dan menjadi wali-Nya.

Buah tawakkal yang ketiga, orang yang bertawakkal akan mudah mengerjakan hal yang bermanfaat tanpa ada rasa takut dan gentar kecuali pada Allah. Contohnya, orang yang berjihad di medan perang melawan orang-orang kafir, mereka melakukan hal ini karena mereka tawakkal pada Allah. Usaha mereka dengan tawakkal inilah yang mendatangkan keberanian dan kekuatan saat itu. Musuh-musuh dan kesulitan di hadapan mereka dianggap ringan berkat tawakkal. Mereka akhirnya jika toh mati, akan merasakan mati di jalan Allah. Merekalah yang mendapatkan syahid di jalan Allah. Ini semua karena sebab tawakkal.

Buah tawakkal yang keempat, seseorang akan bersemangat dalam mencari rizki, mencari ilmu dan melakukan segala sesuatu yang bermanfaat. Itulah yang namanya orang yang bertawakkal, ia punya semangat dalam melakukan hal-hal bermanfaat semacam ini. Karena ia tahu bahwa Allah akan bersama dan menolong setiap orang yang bertawakkal. Akhirnya ia pun bersamangat ketika dalam perkara agama dan dunianya yang bermanfaat, ia jadinya tidak bermalas-malasan.

Kita dapat menyaksikan bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum, merekalah orang yang paling bersemangat. Mereka benar-benar merealisasikan tawakkal pada Allah. Sampai-sampai karena sifat ini yang mereka miliki, mereka bisa menaklukan berbagai negeri di ujung timur dan barat melalui jihad mereka. Mereka pun membuka hati melalui dakwah mereka di jalan Allah. Ini semua bisa terwujud karena mereka benar-benar merealisasikan tawakkal pada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Maidah: 54). Mereka sama sekali tidak takut pada celaan orang yang mencela ketika mereka berjuang di jalan Allah. Bisa demikian karena mereka benar-benar merealisasikan tawakkal pada Allah. Mereka benar-benar menyandarkan dirinya pada Allah dan mereka tidak berpaling pada yang lain, baik ketika itu manusia ridho atau pun tidak. Yang senantiasa mereka cari adalah ridho Allah. Dalam hadits disebutkan,

من التمس رضا الله بسخط الناس رضي الله عنه وأرضى عنه الناس ، ومن التمس رضا الناس بسخط الله سخط الله عليه وأسخط عليه الناس

“Barangsiapa yang mencari ridho Allah dan awalnya manusia murka (tidak suka), maka Allah akan ridho padanya dan membuat manusia pun akan ridho padanya. Sedangkan barangsiapa yang mencari ridho manusia dan membuat Allah murka, maka Allah akan murka padanya dan akan membuat manusia pun murka.”[1]

Bersandar pada Allah dan tawakkal pada-Nya serta menyerahkan segala urusan pada Allah Ta’ala, itulah yang menjadi asas tauhid, asas amal dan asas kebaikan. Bahkan Allah menjadi tawakkal ini syarat keimanan. Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al Maidah: 23)

Pelajaran Penting

Ada pelajaran penting yang mesti diperhatikan dalam memahami arti tawakkal. Tawakkal harus terkumpul dalamnya dua syarat yaitu: (1) menyandarkan hati pada Allah, dan (2) melakukan usaha (sebab). Sehingga tidak benar jika orang hanya berusaha namun tidak menyandarkan hatinya pada Allah karena segala sesuatu di tangan Allah. Dan tidak tepat pula jika seseorang hanya bersandar pada Allah, namun tidak ada usaha yang ia lakukan.

Ada sebuah kisah yang bisa jadi pelajaran. ‘Umar bin Khottob pernah melihat sekelompok orang yang ngaku-ngaku sebagai orang yang bertawakkal, namun mereka tidak melakukan usaha apa-apa. ‘Umar bertanya pada mereka, “Siapa kalian?” “Kami adalah mutawakkiluun, orang yang bertawakkal”, jawab mereka. ‘Umar lantas menjawab, “Tidak. Kalian adalah muta-akkalun (artinya, orang yang hanya menanti diberi makan).” Yaitu mereka itu sebenarnya hanyalah orang yang hanya butuh pada uluran tangan orang lain dan bukan orang yang bertawakkal. Karena orang yang bertawakkal harusnya melakukan usaha.

‘Umar bin Al Khottob pun pernah mengatakan,

لقد علمتم أن السماء لا تمطر ذهبا ولا فضة

“Kalian telah mengetahui bahwa langit sama sekali tidak menurunkan hujan emas atau hujan perak.” Ini beliau katakan untuk mengingkari orang yang hanya duduk untuk ibadah namun tidak punya untuk meraih rizki. Mereka sebenarnya orang-orang pemalas yang butuh ularan tangan orang lain. Lantas ‘Umar pun menghardik mereka. Lalu mengatakan perkataan di atas.

Demikian penjelasan singkat mengenai buah tawakkal yang kami sarikan dari penjelasan Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah (Ulama besar di Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia, anggota Al Lajnah Ad Daimah) dalam kumpulan risalahnya.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Reference: Majmu’atu Rosail Da’wiyyah wa Manhajiyyah, Syaikh Sholeh Al Fauzan, hal. 270, 280-283, terbitan Al Mirots An Nabawi.

Riyadh KSA, 11 Shafar 1432 H (15/01/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Senin, 10 Januari 2011

Bagaimana Saya Bisa Ikhlas di Setiap Amal?



Ketahuilah setan akan senantiasa menggoda manusia untuk merusak amal shalihnya. Dengan demikian, seorang mukmin akan senantiasa berjihad dengan musuhnya, iblis sampai dia menemui Rabb-nya di atas keimanan kepada-Nya dan keikhlasan di setiap amal yang dikerjakannya. Di antara faktor yang dapat mendorong seorang untuk berlaku ikhlas adalah sebagai berikut,

* Berdo’a

Hidayah berada di tangan Allah dan hati para hamba berada di antara dua jari Allah, Dia membolak-balikkannya sesuai kehendak-Nya. Oleh karena itu, mohonlah perlindungan kepada-Nya, Zat yang ditangan-Nya-lah hidayah berada, tampakkanlah hajat dan kefakiranmu kepada-Nya. mintalah selalu kepada-Nya agar Dia memberikan keikhlasan kepadamu. Do’a yang sering dipanjatkan oleh Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu adalah do’a berikut,

اللهم اجعل عملي كلها صالحا, واجعله لوجهك خالصا, و لا تجعل لأحد فيه شيئا

“Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amal yang shalih, Ikhlas karena mengharap Wajah-Mu, dan janganlah jadikan di dalam amalku bagian untuk siapapun.”

* Menyembunyikan Amal

Amal yang tersembunyi -dengan syarat memang amal tersebut patut disembunyikan-, lebih layak diterima di sisi-Nya dan hal tersebut merupakan indikasi kuat bahwa amal tersebut dikerjakan dengan ikhlas.

Seorang mukhlis yang jujur senang menyembunyikan berbagai kebaikannya sebagaimana dia suka apabila keburukannya tidak terkuak. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ الإِمَامُ الْعَادِلُ ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِى عِبَادَةِ رَبِّهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِى الْمَسَاجِدِ ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّى أَخَافُ اللَّهَ . وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah ta’ala dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan selain naungan-Nya. mereka adalah seorang pemimpin yang adil; seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah; seorang pria yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid; dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah di atas kecintaan kepada-Nya; seorang pria yang diajak (berbuat tidak senonoh) oleh seorang wanita yang cantik, namun pria tersebut mengatakan, “Sesungguhnya saya takut kepada Allah”; seorang pria yang bersedekah kemudian dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu aa yang telah disedekahkan oleh tangan kanannya; seorang pria yang mengingat Allah dalam keadaan sunyi dan air matanya berlinang.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Bisyr ibnul Harits mengatakan, “Janganlah engkau beramal untuk diingat. Sembunyikanlah kebaikan sebagaimana engkau menyembunyikan keburukan.

Shalat nafilah yang dikerjakan pada malam hari lebih utama daripada shalat sunnah pada siang hari, demikian pula beristighfar di waktu sahur daripada waktu selainnya, dikarenakan pada saat itu merupakan waktu yang lebih mendukung untuk menyembunyikan dan mengikhlaskan amal.”

* Melihat Amal Orang Shalih yang Berada di Atasmu

Janganlah anda memperhatikan amalan orang yang sezaman denganmu, yaitu orang berada di bawahmu dalam hal berbuat kebaikan. Perhatikan dan jadikanlah para nabi dan orang shalih terdahulu sebagai panutan anda. Allah ta’ala berfirman,

أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ قُلْ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ (٩٠)

“Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran). Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh umat.” (Al An’am: 90).

Bacalah biografi para ulama, ahli ibadah, dan zuhhad (orang yang zuhud), karena hal itu lebih mampu untuk menambah keimanan di dalam hati.

* Menganggap Remeh Amal

Penyakit yang sering melanda hamba adalah ridha (puas) dengan dirinya. Setiap orang yang memandang dirinya sendiri dengan pandangan ridha, maka hal itu akan membinasakannya. Setiap orang yang ujub akan amal yang telah dikerjakannya, maka keikhlasan sangat sedikit menyertai amalannya, atau bahkan tidak ada sama sekali keikhlasan dalam amalnya, dan bisa jadi amal shalih yang telah dikerjakan tidak bernilai.

Sa’id bin Jubair mengatakan, “Seorang bisa masuk surga berkat dosanya dan seorang bisa masuk neraka berkat kebaikannya. Maka ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Sa’id menjawab, “Pria tadi mengerjakan kemaksiatan namun dirinya senantiasa takut akan siksa Allah atas dosa yang telah dikerjakannya, sehingga tatkala bertemu Allah, Dia mengampuninya dikarenakan rasa takutnya kepada Allah. Pria yang lain mengerjakan suatu kebaikan, namun dia senantiasa ujub (bangga) dengan amalnya tersebut, sehingga tatkala bertemu Allah, dia pun dimasukkan ke dalam neraka Allah.”

* Khawatir Amal Tidak Diterima

Anggaplah remeh setiap amal shalih yang telah anda perbuat. Apabila anda telah mengerjakannya, tanamkanlah rasa takut, khawatir jika amal tersebut tidak diterima. Diantara do’a yang dipanjatkan para salaf adalah,

اللهم إنا نسألك العمل الصالح و حفظه

“Ya Allah kami memohon kepada-Mu amal yang shalih dan senantiasa terpelihara.”

Diantara bentuk keterpeliharaan amal shalih adalah amal tersebut tidak disertai dengan rasa ujub dan bangga dengan amal tersebut, namun justru amal shalih terpelihara dengan adanya rasa takut dalam diri seorang bahwa amal yang telah dikerjakannya tidak serta merta diterima oleh-Nya. Allah ta’ala berfirman,

وَلا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (٩٢)

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (An Nahl: 92).

Ibnu Katsir mengatakan, ["Mereka menunaikan sedekah, namun hati mereka takut dan khawatir, bahwa amalan mereka tidak diterima di sisi-Nya. mereka takut karena (sadar) mereka tidak menunaikan syarat-syaratnya secara sempurna. Imam Ahmad dan Tirmidzi telah meriwayatkan hadits dari Ummul Mukminin, 'Aisyah radhiallahu 'anhu. Dia bertanya kepada rasulullah, "Wahai rasulullah, mengenai ayat,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (٦٠)

"Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka." (Al Mukminun: 60).

Apakah mereka yang tersebut dalam ayat itu adalah orang-orang yang melakukan tindak pencurian, perzinaan, dan meminum khamr, karena mereka takut kepada Allah (atas kemaksiatan yang telah dikerjakannya)? Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab, "Bukan, wahai putri ash Shiddiq. Akan tetapi, mereka adalah orang yang menunaikan shalat, puasa, dan sedekah, namun mereka khawatir apabila amalan tersebut tidak diterima oleh-Nya." Keikhlasan memerlukan mujadahah (perjuangan) yang dilakukan sebelum, ketika, dan setelah beramal.]

* Tidak Terpengaruh Perkataan Manusia atas Amalan yang Telah Dikerjakan

Seorang yang diberi taufik oleh Allah ta’ala tidaklah terpengaruh oleh pujian manusia apabila mereka memujinya atas kebaikan yang telah dilakukannya. Apabila dia mengerjakan ketaatan, maka pujian yang dilontarkan oleh manusia hanya akan menambah ketawadhu’an dan rasa takut kepada Allah. Dia yakin bahwa pujian manusia kepada dirinya merupakan fitnah baginya, sehingga dia pun berdo’a kepada Allah ta’ala agar menyelamatkan dirinya dari fitnah tersebut. Dia tahu bahwa hanya Allah semata, yang pujian-Nya bermanfaat dan celaan-Nya semata yang mampu memudharatkan hamba.

Dia menempatkan manusia layaknya penghuni kubur yang tidak mampu memberikan manfaat kepada dirinya dan tidak mampu menolak bahaya dari dirinya. Ibnul Jauzi mengatakan,

أن ترك النظر إلى الخلق و محو الجاه من قلوبهم بالعمل و إخلاص القصد و ستر الحال هو الذي رفع من رفع

["Meninggalkan perhatian makhluk dan tidak mencari-cari kedudukan di hati mereka dengan beramal shalih, mengikhlaskan niat, dan menyembunyikan amal merupakan faktor yang mampu meninggikan derajat orang yang mulia."][1]

* Sadar bahwa Manusia Bukanlah Pemilik Surga dan Neraka

Apabila hamba mengetahui manusia yang menjadi faktor pendorong untuk melakukan riya akan berdiri bersamanya di padang Mahsyar dalam keadaan takut dan telanjang,dia akan mengetahui bahwasanya memalingkan niat ketika beramal kepada mereka tidaklah akan mampu meringankan kesulitan yang dialaminya di padang Mahsyar. Bahkan mereka akan mengalami kesempitan yang sama dengan dirinya.

Apabila anda telah mengetahui hal itu, niscaya anda akan mengetahui bahwamengikhlaskan amal adalah benar adanya, tidak sepatutnya amalan ditujukan kecuali kepada Zat yang memiliki surga dan neraka.

Oleh karena itu, seorang mukmin wajib meyakini bahwa manusia tidaklah memiliki surge sehingga mereka mampu memasukkan anda ke dalamnya. Demikian pula, mereka tidaklah mampu untuk mengeluarkan anda dari neraka apabila anda meminta mereka untuk mengeluarkan anda. Bahkan apabila seluruh umat manusia, dari nabi Adam hingga yang terakhir, berkumpul dan berdiri di belakang anda, mereka tidaklah mampu untuk menggiring anda ke dalam surge meski selangkah. Dengan demikian, mengapa anda mesti riya di hadapan mereka, padahal mereka tidak mampu memberikan apapun kepada anda?

Ibnu Rajab mengatakan,

من صلى وصام وذكر الله يقصد بذلك عرض الدنيا فإنه لا خير له فيه بالكلية لأنه لاتقع في ذلك لصاحبه لما يترتب عليه من الإثم فيه ولا لغيره

“Barangsiapa yang berpuasa, shalat, dan berzikir kepada Allah demi tujuan duniawi, maka amalan itu tidak mendatangkan kebaikan baginya sama sekali. Seluruh amal tersebut tidak bermanfaat bagi pelakunya dikarenakan mengandung dosa (riya), dan (tentunya amalan itu) tidak bermanfaat bagi orang lain.”[2]

Kemudian, anda tidak akan mampu memperoleh keinginan anda dari manusia yang menjadi tujuan riya yang telah anda lakukan, yaitu agar mereka memuji anda. Bahkan mereka akan mencela anda, menyebarkan keburukan anda di tengah-tenah mereka, dan tumbuhlah kebencian di hati mereka kepada anda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من يراء يراء الله به

“Barangsiapa yang berbuat riya, maka Allah akan menyingkap niat busuknya itu di hadapan manusia” (HR. Muslim).

Demikianlah akibat orang yang riya. Namun, apabila anda mengikhlaskan amal kepada-Nya, niscaya Allah dan makhluk akan mencintaimu. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا (٩٦)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah[911] akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih saying (kecintaan)” (Maryam: 96).

* Ingatlah Anda Sendirian di Dalam Kubur

Jiwa akan merasa tenang dengan mengingat perjalanan yang akan dilaluinya di akhirat. Apabila hamba meyakini bahwa dirinya akan dimasukkan ke dalam liang lahat sendiri, tanpa seorang pun menemani, dan tidak ada yang bermanfaat bagi dirinya selain amal shalih, dan dia yakin bahwa seluruh manusia, tidak akan mampu menghilangkan sedikit pun, azab kubur yang diderita, maka dengan demikian hamba akan menyakini bahwa tidak ada yang mampu menyelematkannya melainkan mengkihlaskan amal kepada Sang Pencipta semata. Ibnul Qayyim mengatakan,

صدق التأهب للقاء الله من أنفع ما للعبد وأبلغه في حصول استقامته فإن من استعد للقاء الله انقطع قلبه عن الدنيا وما فيها ومطالبها

["Persiapan yang benar untuk bertemu dengan Allah merupakan salah satu faktor yang paling bermanfaat dan paling ampuh bgi hamba untuk merealisasikan keistiqamahan diri. Karena setiap orang yang mengadakan persiapan untuk bertemu dengan-Nya, hatinya akan terputus dari dunia dan segala isinya."][3]

Diterjemahkan dari Khutuwaat ilas Sa’adah karya Dr. Abdul Muhsin Al Qasim (Imam dan Khatib Masjid Nabawi serta Hakim di Pengadilan Umum).

Buaran Indah, Tangerang, 1 Rajab 1431 H.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

Sabtu, 08 Januari 2011

Iman Kepada Takdir Membawa Sukses Dunia–Akhirat



Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin

Banyak orang salah memahami takdir. Walhasil muncul banyak kesesatan karenanya. Ada dua kubu ekstrim yang saling berlawanan arah dan sama-sama sesat dalam hal ini. Satu kubu menolak takdir. Mereka adalah Qadariyah dan Mu’tazilah serta pengikutnya. Sedangkan kubu lainnya menetapkan takdir secara salah. Mereka adalah golongan Jabriyah dan pengikutnya. Hanya kelompok yang berada di tengah dua kubu itulah kelompok yang benar. Kelompok ini adalah kelompok asli umat Islam yang memahami takdir serta mengimaninya secara proporsional, sesuai dengan dalil al Qur`an dan Sunnah sebagaimana difahami oleh Salafush Shalih.

Beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk, hukumnya wajib, karena ia merupakan salah satu di antara rukun iman yang enam. Adalah sangat ironis jika seseorang mengaku beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, namun ia ragu bahkan ingkar terhadap takdir, meskipun tidak total. Seseorang yang tidak beriman kepada takdir dan mengingkarinya, maka ia kafir.

Dalam hubungannya dengan kasus pengingkaran terhadap takdir ini, Yahya bin Ya’mar, seorang tabi’i, menceritakan laporannya kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu tentang Ma’bad al Juhani, tokoh Mu’tazilah pertama yang menyeret penduduk Basrah pada penolakan terhadap takdir. Maka Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Jika engkau berjumpa dengan orang-orang itu, katakan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari golongan mereka dan merekapun terlepas dari golonganku”. (Selanjutnya Ibnu Umar berkata):

وَالَّذِى يَحْلِفُ بِهِ عبدُ الله بْنُ عُمَرَ ، لَوْ أنَّ لأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًاَ فَأَنْفَقَهُ ، مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْهُ، حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ. ثُمَّ اسْتَدَلَّ بِقَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَ فِيْهِ:
الإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ . رواه مسلم

“Demi Allah Yang dengan namaNya Abdullah bin Umar bersumpah, kalaulah ada sesorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, kemudian ia infakkan, niscaya Allah tidak akan menerimanya sebelum ia beriman kepada takdir”. Selanjutnya beliau berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang panjang, di antaranya.

"Iman ialah bila kamu beriman kepada Allah, kepada para malaikatNya, kepada kitab-kitabNya, kepada para rasulNya, kepada hari akhirat dan bila kamu beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk" [HR Muslim secara ringkas] [1]

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, menerangkan : “Dalam hadits di atas terdapat penjelasan, bahwa iman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yang enam. Maka barangsiapa yang tidak beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk, berarti ia telah meninggalkan dan mengingkari satu rukun agama. Kedudukan orang ini seperti yang disebutkan oleh Allah dalam firmanNya:

أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ

"Apakah kamu beriman kepada sebagian al Kitab dan kafir kepada sebagian yang lain?". [Al Baqarah : 85].[2]

عَنْ ابْنِ الدَّيْلَمِيِّ قَالَ : أَتَيْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ فَقُلْتُ لَهُ : وَقَعَ فِي نَفْسِي شَيْءٌ مِنْ الْقَدَرِ فَحَدِّثْنِي بِشَيْءٍ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُذْهِبَهُ مِنْ قَلْبِي. قَالَ : لَوْ أَنَّ اللَّهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَاوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ عَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ، وَلَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ، وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَلَوْ مُتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا لَدَخَلْتَ النَّارَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَحَدَّثَنِي عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ . أخرجه أبو داود.

"Dari Ibnu ad Dailami (seorang tabi’i), ia berkata : Saya datang kepada Ubay bin Ka’ab, lalu saya berkata kepada beliau : 'Dalam diriku terjadi penyakit ragu terhadap takdir. Ceritakanlah kepadaku sesuatu yang dengannya Allah akan melenyapkan keraguan itu dari dalam hatiku'.
Ubay menjawab: “Kalaulah Allah menyiksa seluruh penghuni langit dan penghuni bumiNya, maka Allah menyiksa mereka bukan karena zhalim kepada mereka. Dan kalaulah Allah memberikan rahmat kepada mereka semuanya, maka rahmat Allah jauh lebih baik dari semua amal mereka.
Andaikata engkau berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerima infakmu sebelum engkau beriman kepada takdir dan memahami bahwa apa yang menimpamu pasti tidak akan meleset darimu, sedangkan apa yang meleset darimu pasti tidak akan menimpamu.
Bila engkau mati tidak berdasarkan iman kepada takdir ini, niscaya engkau masuk ke dalam neraka”.

Ibnu ad Dailami selanjutnya berkata: Kemudian saya datang kepada Abdullah bin Mas’ud, beliaupun berkata seperti perkataan Ubay bin Ka’ab. Ibnu ad Dailami berkata lagi: Kemudian aku datang pula kepada Hudzaifah bin al Yaman, beliaupun berkata seperti perkataan Ubay. Ibnu ad Dailami berkata lagi : Kemudian aku juga datang kepada Zaid bin Tsabit, beliaupun membawakan hadits kepadaku dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal yang senada dengan perkataan Ubay.[Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud].[3]

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, membawakan beberapa riwayat lain yang senada dengan hadits di atas, di antaranya diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain. Dan pada akhirnya beliau t menyimpulkan: “Semua hadits ini dan hadits-hadits lain yang senada, mengandung ancaman keras bagi siapa saja yang tidak beriman kepada takdir. Hadits-hadits tersebut juga merupakan hujjah pemukul bagi para penolak takdir dari kelompok Mu’tazilah maupun kelompok lainnya. Sementara itu, di antara pemahaman yang dianut Mu’tazilah, ialah menyatakan, bahwa pelaku kemaksiatan akan kekal di dalam neraka. Padahal, keyakinan mereka tentang tidak ada takdir, merupakan salah satu dosa besar dan kemaksiatan yang paling besar. Dengan demikian, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir tentang wajibnya mengimani takdir yang meruntuhkan hujjah mereka, mereka sebenarnya telah menghukumi diri mereka sendiri untuk kekal di dalam neraka jika tidak bertaubat. Ini adalah konsekuensi logis dari pemahaman salah mereka. Mereka ternyata menentang dalil-dalil mutawatir dari al Qur`an dan Sunnah yang mewajibkan iman kepada takdir, dan dalil-dalil mutawatir yang menolak kekalnya orang-orang bertauhid yang berbuat dosa besar di neraka”. [4]

قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ لِابْنِهِ يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ ؛ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : "إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمُ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ"
يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : "مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي" أخرجه أبو داود

"Ubadah bin Shamit berkata kepada anaknya: "Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan mendapatkan rasa hakikat iman sebelum engkau memahami bahwa apa yang menimpamu pasti tidak akan meleset darimu, dan apa yang meleset darimu pasti tidak akan menimpamu. Aku mendengar Rasulullah n bersabda : “Sesungguhnya, pertama-tama yang Allah ciptakan adalah pena (al Qalam). Lalu Allah berfirman kepadanya,’Tulislah!!’. Pena menjawab,’Ya Rabbi, apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman,’Tulislah segenap ketetapan takdir bagi segala sesuatu hingga hari kiamat’."
(Ubadah melanjutkan perkataannya:) Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang mati tidak atas dasar (beriman kepada takdir) ini, maka ia tdak termasuk golonganku" [HR Abu Dawud].[5]

Namun mengimani dan menetapkan takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala juga harus secara benar, supaya tidak terperangkap ke dalam pemahaman Jabriyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan: Iman kepada takdir meliputi dua peringkat iman. Masing-masing peringkat meliputi dua bentuk keimanan.

Pertama : Beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha mengetahui apa saja yang dikerjakan oleh segenap makhluk, dengan ilmuNya yang bersifat azali dan abadi.[6] Allah Maha mengetahui semua keadaan para maklukNya, baik berkaitan dengan ketaatan, kemaksiatan-kemaksiatan, rizki-rizki maupun ajal-ajal mereka. Kemudian Allah menuliskan segenap takdir makhluk ke dalam Lauh Mahfuzh".

Selanjutnya Syaikhul Islam rahimahullah membawakan dalil-dalilnya. Di antaranya hadits berikut:

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمُ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

"Sesungguhnya pertama-tama yang Allah ciptakan adalah pena (al Qalam). Lalu Allah berfirman kepadanya ‘Tulislah!!’ Pena menjawab,’Ya Rabbi, apa yang harus aku tulis?’. Allah berfirman,’Tulislah segenap ketetapan takdir bagi segala sesuatu hingga hari kiamat!". [HR Abu Dawud]. [7]

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ، إِنَّ ذَلِكَ فِى كِتاَبٍ، إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ

"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu tertulis dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah". [Al Hajj : 70].

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِى كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا، إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ

"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis pada kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah".[Al Hadid : 22]

Berikutnya Syaikhul Islam rahimahullah melanjutkan penjelasannya:

Kedua, beriman kepada adanya kehendak dan kekuasaan Allah yang pasti berlangsung dan meliputi segalanya. Artinya, harus beriman bahwa apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Allah kehendaki, pasti tidak terjadi. Juga beriman bahwa tidak ada suatu gerakan apapun di langit maupun di bumi, begitu pula tidak akan terjadi sesuatupun yang diam, kecuali terjadi dengan kehendak Allah. Tidak ada sesuatupun yang dapat terjadi di wilayah kekuasaanNya, bila Allah tidak menghendakinya. Allah juga Maha berkuasa terhadap segala sesuatu, baik terhadap yang ada maupun terhadap yang tidak ada. Maka tidak ada satu makhlukpun di bumi maupun di langit, kecuali Allah-lah yang menciptakannya. Tiada Pencipta selain Allah dan tidak ada Rabb selain Dia.[8]

Dari penjelasan syaikhul Islam rahimahullah di atas, sesungguhnya bisa disimpulkan, bahwa dalam memahami dan mengimani takdir, sebagaimana dikemukakan oleh para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, harus meliputi keimanan terhadap empat perkara.

Perkara pertama dan kedua disimpulkan dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bagian pertama. Sedangkan perkara ketiga dan keempat disimpulkan dari perkataan beliau bagian kedua. Empat perkara tersebut sebagaimana penjelasan berikut.

Pertama : Beriman kepada ilmu Allah yang meliputi segala zaman dan tempat. Artinya, harus mengimani bahwa Allah Maha mengetahui segala sesuatu, di mana dan kapanpun, baik yang ada maupun yang tidak ada. Termasuk mengetahui amal-amal perbuaan makhluk, baik berupa ketaatan-ketaatan maupun kemaksiatan kemaksiatan. Begitu juga tentang rizki, ajal maupun lain-lainnya.

Kedua : Pada saat yang sama harus beriman pula bahwa Allah menuliskan segala sesuatu yang telah diketahuiNya di Lauh Mahfuzh sebagai ketetapan takdirNya. Ketetapan takdir ini terjadi limapuluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit-langit dan bumi.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ. رواه مسلم

"Dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah n bersabda : “Allah telah menuliskan ketetapan segenap takdir bagi segenap makhluk, sebelum Allah menciptakan langit-langit dan bumi dengan jarak limapuluh ribu tahun”. Beliau bersabda: “Sedangkan ‘arsyNya berada di atas air”. [HR Muslim].[9]

Ketiga : Beriman kepada kehendak (masyi’ah) Allah. Apa saja yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa saja yang Allah tidak kehendaki, pasti tidak terjadi.

Keempat : Beriman bahwa Allah Maha mencipta. Artinya, apa saja yang Allah kehendaki adanya, baik benda maupun gerakan benda, maka Allah pasti akan menciptakan dan mengadakannya.

Keempat perkara di atas harus diimani dan difahami sebagai satu kesatuan yang tidak dapat di pisah-pisahkan, karena keempatnya tidak saling bertentangan satu sama lain.

Pemahaman terhadap masalah takdir di atas, sebenarnya merupakan sebagian konsekuensi penting dalam memahami dan mengimani rukun iman pertama secara benar, yaitu beriman kepada Allah yang meliputi iman kepada Rububiyah, Asma’ wa Shifat dan UluhiyahNya. Jika benar keimanan seseorang kepada Rububiyah, Asma’ wa Shifat, serta Uluhiyah Allah, benar dalam arti sebenar-benarnya sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, niscaya akan benar pula keimanannya kepada takdir. Sebab iman kepada takdir terkait erat dengan masalah Rububiyah, Asma’ wa Shifat dan Uluhiyah Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Tentu beriman kepada takdir secara benar, tidak menghilangkan daya upaya seseorang untuk melakukan tindakan tertentu agar sukses meraih sesuatu atau terhindar dari marabahaya. Justeru disinilah salah satu letak; benar atau tidaknya seseorang memahami takdir. Sebab daya upaya ini adalah termasuk yang diperintahkan dalam Islam dan wajib dilaksanakan.

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ فِي جَنَازَةٍ فَأَخَذَ عُودًا يَنْكُتُ فِي الْأَرْضِ فَقَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنْ النَّارِ أَوْ مِنْ الْجَنَّةِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ قَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ (فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى.. الْآيَةَ) متفق عليه

Dari Ali Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau n pernah mengiringi jenazah seseorang ke kuburan, lalu beliau n mengambil sebatang kayu sambil memukul-mukulkannya ke tanah. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada seorangpun di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya; apakah di neraka atau di surga”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kalau begitu apakah kita tidak bergantung (pada nasib) saja?” Beliau menjawab: “(Tidak), berbuatlah, karena masing-masing akan dimudahkan (menuju takdir yang ditetapkan untuknya),” Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surah Al Lail ayat 5-10". [Hadits yang muttafaq ‘alaih].[11]

Dalam hadits di atas, setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang sudah ditetapkannya seseorang, apakah kelak menjadi penghuni sorga atau penghuni neraka, para sahabat lalu menyatakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, bukankah kami lebih baik menunggu takdir saja dan tidak usah berbuat apa-apa?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam langsung menolak pernyataan mereka seraya menjelaskan: “Tidak!! Tetapi kalian harus tetap berbuat, sebab masing-masing akan dimudahkan menuju takdir yang ditetapkan baginya”.

Dengan demikian beriman kepada takdir secara benar, sama sekali tidak menghambat upaya dan kreatifitas seseorang. Bahkan semakin memperkuat kreatifitas yang benar dan terarah. Amat berbahaya orang yang secara serampangan mengenyampingkan persoalan takdir, atau terlalu banyak gagasan mengenainya seperti yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah dan pengikut-pengikutnya. Begitu juga, amat berbahaya mengimani takdir menurut gaya Jabriyah. Sebab semua itu berarti melancarkan tuduhan yang sangat keji terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pemimpin umat, diikuti para sahabat serta dua generasi berikutnya sebagai generasi terbaik umat Islam adalah suri tauladan dalam segala hal. Mereka telah tercatat dalam sejarah emas, dengan tinta emas, sebagai generasi yang beriman kepada takdir secara benar dan sebagai generasi yang gigih melakukan perjuangan untuk meraih mardhatillah, tidak ada yang duduk berpangku tangan. Adakah suri tauladan yang lebih baik dari mereka?

Dengan beriman kepada takdir dan kepada rukun-rukun iman lain secara benar sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, maka Allah akan membukakan pintu-pintu pertolonganNya. Kebahagiaan dunia dan akhirat akan dapat diraih, dan kemunduran peradaban akan dapat tersingkirkan. Bi-idznillah wa Taufiqih.

Maraji` :
1. Al Qur’an al-Karim dan juga terjemahnya.
2. Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari. Tash-hih wa tahqiq Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, tarqim Muhammad Fu’ad Abdul Baqi- wa Isyraf ‘ala Thab’ihi : Muhibbuddin al Khathib. Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud al Islamiyah, Riyadh.
3. Shahih Muslim Syarh Nawawi, takhrij Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Cet. VII, Th. 1421H/2000 M, Beirut, Libanon.
4. Shahih Sunan Abi Dawud, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. II, dari terbitan yang baru – 1421 H/2000 M.
5. Shahih Sunan at Tirmidzi, Syaikh al Albani, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. I, dari terbitan yang baru – 1420 H/2000 M.
6. Fathul Majid Syarh Kitab at Tauhid, Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh. Muraja’ah Hawasyihi : Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. Idaaratul Masajid wal Masyari’ al Khairiyah, Riyadh, dari penerbit Maktabah Daar as Salam, Riyadh, Cet. I, 1413 H/1992 M.
7. Syarh al Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. VI, 1413 H/1993 M. Dan lain-lain.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]

Kamis, 06 Januari 2011

Al-’Afuw, Yang Maha Pemaaf


Makna al-Afuw secara bahasa

Ibnu Faris menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya adalah meninggalkan sesuatu[1].

Ibnul Atsir berkata, “Nama Allah “al-’Afuw” adalah fa’uul dari kata al-’afwu (memaafkan) yang berarti memaafkan perbuatan dosa dan tidak menghukumnya, asal maknanya: menghapus dan menghilangkan[2].

Al-Fairuz Abadi berkata, “Al-’Afwu adalah pemaafan dan pengampunan Allah Ta’ala atas (dosa-dosa) makhluk-Nya, serta tidak memberikan siksaan kepada orang yang pantas (mendapatkannya)[3].

Penjabaran makna nama Allah al-’Afuw

Al-’Afuw adalah zat yang maha menghapuskan dosa-dosa dan memaafkan perbuatan-perbuatan maksiat[4].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,

{إنَّ اللهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ}

“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” (QS al-Hajj:60).

Beliau berkata, “Artinya: Dia maha memaafkan orang-orang yang berbuat dosa, dengan tidak menyegerakan siksaan bagi mereka, serta mengampuni dosa-dosa mereka. Maka Allah menghapuskan dosa dan bekas-bekasnya dari diri mereka. Inilah sifat Allah Ta’ala yang tetap dan terus ada pada zat-Nya (yang maha mulia), dan inilah perlakuan-Nya kepada hamba-hamba-Nya di setiap waktu, (yaitu) dengan pemaafan dan pengampunan…”[5].

Makna inilah yang dimaksud dalam doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibaca pada malam lailatul qadr:

اللهم إنك عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pema’af, Engkau suka memaafkan (hamba-Mu), maka maafkanlah aku”[6].[7]

Dalam beberapa ayat al-Qur’an Allah menggandengkan nama ini dengan nama-Nya yang lain yaitu “al-Ghafur” (maha pengampun), seperti dalam ayat di atas, demikian pula dalam surat an-Nisa’:43 dan an-Nisa’:99.

{وَكَانَ الله ُعَفُوًّا غَفُوْرًا}

“Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” (QS an-Nisaa’:99).

Kedua nama Allah yang maha indah ini memang memiliki makna yang hampir sama, meskipun nama Allah ‘al-Afuw memiliki makna yang lebih mendalam. Karena “pengampunan” mengisyaratkan arti as-sitru (menutupi), sedangkan “pemaafan” mengisyaratkan arti al-mahwu (menghapuskan) yang artinya lebih mendalam (dalam penghapusan dosa). Meskipun demikian, kedua nama Allah ini jika disebutkan sendiri-sendiri maknanya mencakup keseluruhan arti tersebut[8].

Sifat “memaafkan” dan “mengampuni” ini adalah termasuk sifat-sifat yang tetap dan terus-menerus ada pada dzat Allah (yang Maha Mulia). Dan senantiasa pengaruh (baik) sifat-sifat ini meliputi semua makhluk-Nya di siang dan malam hari. Karena sifat “memaafkan” dan “mengampuni” (yang dimiliki)-Nya meliputi semua makhluk, dosa dan perbuatan maksiat.

Padahal, mestinya perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan manusia menjadikan mereka ditimpa berbagai macam siksaan, akan tetapi pemaafan dan pengampunan-Nya menghalangi turunya siksaan tersebut. Allah Ta’ala berfirman:

{ولو يؤاخذ الله الناسَ بما كسبوا ما ترك على ظهرها من دابة ولكن يؤخرهم إلى أجل مسمى، فإذا جاء أجلهم فإن الله كان بعباده بصيرا}

“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatan (dosa) mereka, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya” (QS Faathir:45).

Inilah kesempurnaan pemaafan-Nya, yang kalau bukan karena itu niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun[9].

Senada dengan ayat di atas, dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satupun yang lebih bersabar menghadapi gangguan (celaan) yang didengarnya melebihi Allah Ta’ala. Sungguh orang-orang (kafir) telah menyekutukan-Nya dan mengatakan (bahwa) Dia mempunyai anak, (tapi bersamaan dengan itu) Dia tetap menangguhkan siksaan dan memberi rezki bagi mereka”[10].

Pembagian sifat al-’afw (memaafkan) dari Allah Ta’ala

Sifat al-afw (memaafkan) ini ada dua macam:

1. Yang pertama: pemaafan-Nya yang (bersifat) umum bagi semua orang yang berbuat maksiat, dari kalangan orang-orang kafir maupun yang selain mereka. (Yaitu) dengan tidak menimpakan siksaan yang telah ada sebab-sebabnya, yang seharusnya menjadikan mereka terhalangi dari kenikmatan (duniawi yang mereka rasakan), padahal mereka menentang-Nya dengan mencela-Nya (menisbatkan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya), menyekutukan-Nya dan melakukan berbagai macam penyimpangan lainnya. (Bersamaan dengan itu) Allah (tetap) memaafkan (menangguhkan siksaa-Nya), memberi rezki dan menganugerahkan berbagai macam nikmat (duniawi) lahir dan batin kepada mereka.

2. Yang kedua: Pemaafan dan pengampunan-Nya yang (bersifat) khusus bagi orang-orang yang bertaubat, yang meminta ampun, yang berdoa dan menghambakan diri (kepada-Nya), demikian pula bagi orang-orang yang mengharapkan (rahmat-Nya) dengan musibah-musibah yang menimpa mereka. Maka semua orang yang bertaubat kepada-Nya dengan tobat yang nashuh[11], maka Allah akan mengampuni dosa apapun yang dilakukannya, (baik itu) kekafiran, kefasikan maupun maksiat (lainnya). Semua dosa tersebut termasuk dalam (keumuman) firman Allah Ta’ala,

{قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم لا تقنطوا من رحمة الله إن الله يغفر الذنوب جميعًا إنه هو الغفور الرحيم}

“Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (az-Zumar:53) [12].

Pengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah al-Afuw

Memahami nama Allah yang maha agung ini merupakan pintu utama untuk mencapai kedudukan yang tinggi (di sisi-Nya), khususnya jika (setelah memahaminya dengan baik) kita berusaha untuk merealisasikan kandungan dan konsekwensi yang terkandung dalam nama ini. Yaitu melakukan istighfar (meminta ampun kepada Allah) secara kontinyu, meminta pemaafan, selalu bertobat, mengharapkan pengampunan dan tidak berputus asa (dari rahmat-Nya), karena Allah Ta’ala Maha Pema’af lagi Maha Pengampun, sangat mudah bagi-Nya untuk mengampuni dosa (hamba-hamba-Nya) bagaimanapun besarnya dosa dan maksiat tersebut. Maka seorang hamba senantiasa berada dalam kebaikan yang agung selama dia selalu meminta pemaafan dan mengharapkan pengampunan dari Allah[13].

Cobalah renungkan makna yang agung ini dalam hadits qudsi berikut ini:

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Seorang hamba melakukan perbuatan dosa, kemudian dia berdoa: “Ya Allah ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang (maha) mengampuni dan membalas perbuatan dosa”. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa, “Ya Tuhanku ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang (maha) mengampuni dan membalas perbuatan dosa”. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa, “Ya Tuhanku ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang (maha) mengampuni dan membalas perbuatan dosa, berbuatlah sesukamu (wahai hamba-Ku), maka sungguh Aku telah mengampunimu”[14]. Yaitu, “Selama kamu terus bertaubat, memohon dan kembali (kepada-Ku)” [15].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,

{إن الله كان عفواً غفوراً}

“Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS an-Nisaa’:43).

Beliau berkata: “Artinya: Allah memiliki banyak pemaafan dan pengampunan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dengan memudahkan dan meringankan syariat-Nya bagi mereka, sehingga mudah bagi mereka untuk menunaikannya dan tidak menyusahkan.

Termasuk (bentuk) pemaafan dan pengampunan-Nya adalah Rahmat-Nya bagi umat (Islam) ini dengan Dia mensyariatkan bersuci dengan tanah (debu) sebagai pengganti air ketika tidak mampu menggunakan air.

Dan termasuk (bentuk) pemaafan dan pengampunan-Nya adalah dengan Dia membukakan pintu taubat dan kembali kepada-Nya bagi orang-orang yang berbuat dosa, bahkan dia menyeru mereka untuk bertaubat dan menjanjikan pengampunan bagi dosa-dosa mereka.

Juga termasuk (bentuk) pemaafan dan pengampunan-Nya adalah bahwa seandainya seorang mukmin datang menghadap-Nya (di akhirat nanti) dengan membawa dosa sepenuh bumi, tapi dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, maka Dia akan memberikan pada hamba-Nya itu pengampunan yang sepenuh bumi (pula)[16]. [17]

Termasuk (bentuk) pemaafan-Nya adalah bahwa perbuatan baik dan amalan shaleh bisa menghapuskan perbuatan buruk dan dosa. Allah Ta’ala berfirman,

{إنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ}

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk” (QS Huud:114).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ikutkanlah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan (dosa) perbuatan buruk tersebut[18].

Demikian juga termasuk (bentuk) pemaafan-Nya adalah bahwa semua musibah yang menimpa seorang hamba pada diri, anak maupun hartanya, (itu semua) akan menghapuskan dosa-dosanya, khususnya jika hamba itu mengharapkan pahala (dari) musibah tersebut dan menunaikan sikap bersabar dan ridha (dengan takdir Allah Ta’ala terhadap dirinya).

Dan termasuk (bentuk) pemaafan-Nya yang agung adalah bahwa hamba-Nya selalu menentang (perintah)-Nya dengan (melakukan) berbagai macam maksiat dan dosa besar, tapi Dia selalu berlaku lembut dan memberikan maaf-Nya kepadanya, kemudian dia melapangkan dada hamba-Nya itu untuk bertobat (kepada-Nya), lalu Dia menerima taubatnya. Bahkan Allah Ta’ala bergembira dengan taubat hamba-Nya padahal Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji, tidak akan memberi manfaat bagi-Nya ketaatan orang-orang yang taat, sebagaimana tidak akan merugikan-Nya kemaksiatan orang-orang yang berbuat maksiat [19].

Penutup

Sesungguhnya pintu-pintu pemaafan dan pengampunan-Nya senantiasa terbuka (lebar), dan Dia senantiasa dan selalu bersifat maha pemaaf dan pengampun. Sungguh Dia telah menjanjikan pengampunan dan pemaafan bagi orang-orang yang mengusahakan sebab-sebabnya, sebagaimana dalam firman-Nya,

{وإني لغفار لمن تاب وآمن وعمل صالحاً ثم اهتدى}

“Dan sesungguhnya Aku benar-benar Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal shaleh kemudian tetap di jalan yang benar” (QS Thaaha:82) [20].

Demikianlah, semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita pemaafan-Nya dan memuliakan kita dengan pengampunan-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 17 Ramadhan 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id

Ar-Raqiib, Yang Maha Mengawasi


Nama Allah Ta’ala yang maha agung ini disebutkan dalam tiga ayat al-Qur’an,

{إنَّ اللهَ كان عَلَيْكُمْ رقيباً}

“Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kamu sekalian” (QS an-Nisaa’:1).

{وكان اللهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ رَقِيْباً}

“Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu” (QS al-Ahzaab:52).

{وكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيْداً ما دُمْتُ فِيْهِمْ، فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أنْتَ الرَّقِيْبَ عَلَيْهِمْ، وأنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٍ}

“Dan akulah yang menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah Yang Maha Mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu” (QS al-Maa-idah:117).

Makna ar-Raqiib secara Bahasa

Ibnu Faris menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan makna yang satu, yaitu berdiri (tegak) untuk mengawasi/memperhatikan sesuatu[1].

Al-Fairuz Abadi menjelaskan bahwa nama ini secara bahasa berarti pengawas, penunggu dan penjaga[2].

Ibnul Atsir dan Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa nama Allah al-Raqiib berarti Maha Penjaga/Pengawas yang tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya[3].

Penjabaran makna nama Allah al-Raqiib

Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas, beliau menjelaskan bahwa makna ar-Raqiib adalah zat yang maha mengawasi semua perbuatan dan keadaan manusia”[4].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “ar-Raqiib adalah zat yang maha memperhatikan dan mengawasi semua hamba-Nya ketika mereka bergerak(beraktifitas) maupun ketika mereka diam, (mengetahui) apa yang mereka sembunyikan maupun yang mereka tampakkan, dan (mengawasi) semua keadaan mereka”[5].

Di tempat lain beliau berkata: “ar-Raqiib adalah zat yang maha mengawasi semua urusan (makhluk-Nya), maha mengetahui kesudahannya, dan maha mengatur semua urusan tersebut dengan sesempurna-sempurna aturan dan sebaik-sebaik ketentuan[6]“.

Maka makna ar-Raqiib secara lebih terperinci adalah: zat yang maha memperhatikan/mengetahui apa yang tersembunyi dalam dada/hati manusia, yang maha mengawasi apa yang diusahakan setiap diri manusia, yang maha memelihara semua makhluk dan menjalankan mereka dengan sebaik-baik aturan dan sesempurna-sempurna penataan, yang maha mengawasi semua yang terlihat dengan penglihatan-Nya yang tidak ada sesuatupun yang luput darinya, yang maha mengawasi semua yang terdengar dengan pendengaran-Nya yang meliputi segala sesuatu, yang maha mengawasi/memperhatikan semua makhluk dengan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu[7].

Pengaruh Positif dan Manfaat Mengimani Nama Allah Ar-Raqiib

Pengaruh positif yang paling utama dengan mengimani nama Allah yang agung ini adalah senantiasa merasakan muraaqabatullah (pengawasan dari Allah Ta’ala) dalam semua keadaan kita, dan timbulnya rasa malu yang sesungguhnya di hadapan-Nya, yang ini semua akan mendorong seorang hamba untuk selalu menetapi ketaatan kepada-Nya dan menjauhi semua perbuatan maksiat, di manapun dia berada[8].

Muraaqabatullah (selalu merasakan pengawasan Allah Ta’ala) adalah kedudukan yang sangat tinggi dan agung dalam Islam, sekaligus termasuk tahapan utama untuk menempuh perjalanan menuju perjumpaan dengan Allah dan negeri akhirat.

Hakikat muraaqabatullah adalah terus-menerusnya seorang hamba merasakan dan meyakini pengawasan Allah Ta’ala terhadap (semua keadaannya) lahir dan batin, maka dia merasakan pengawasan-Nya ketika berhadapan dengan perintah-Nya, untuk kemudian dia melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, dan ketika berhadapan dengan larangan-Nya, untuk kemudian dia berusaha keras menjauhinya dan menghindarinya[9].

Seorang penyair mengungkapkan makna ini dalam bait syairnya[10]:

Jika suatu hari kamu sedang sendirian maka janganlah kamu berkata:

Aku sendirian, akan tetapi katakanlah: ada (Allah) yang Maha Mengawasiku

Dan janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa Dia akan lalai sesaatpun

Dan (jangan mengira) sesuatu yang tersembunyi akan luput dari (pengawasan)-Nya

Inilah makna al-Ihsan yang disebutkan dalam hadits Jibril ‘alaihis salam yang terkenal, yaitu sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“أن تعبد الله كأنكَ تراه، فإنْ لَمْ تَكُنْ تراه فإنه يراك”

“(al-Ihsan adalah) engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu”[11].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Muraaqabatullah (selalu merasakan pengawasan Allah Ta’ala) adalah termasuk amalan hati yang paling tinggi (keutamaannya dalam Islam), yaitu menghambakan diri (beribadah) kepada Allah dengan (memahami dan mengamalkan makna yang terkandung dalam) nama-Nya ar-Raqiib (Yang Maha Mengawasi) dan asy-Syahiid (Yang Maha Menyaksikan). Maka ketika seorang hamba mengetahui/meyakini bahwa semua gerakan (aktifitas)nya yang lahir maupun batin, tidak ada (satupun) yang luput dari pengatahuan-Nya, dan dia (senantiasa) menghadirkan keyakinan ini dalam semua keadaannya, ini (semua) akan menjadikannya (selalu berusaha) menjaga batin (hati)nya dari (semua) pikiran (buruk) dan angan-angan yang dibenci Allah, serta menjaga lahir (anggota badan)nya dari (semua) ucapan dan perbuatan yang dimurkai Allah, serta dia akan beribadah/mendekatkan diri (kepada Allah) dengan kedudukan al-ihsan, maka dia akan beribadah kepada Allah seakan-akan dia melihat-Nya, kalau dia tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatnya”[12].

Kalau kita merenungkan dengan seksama ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan luasnya ilmu Allah Ta’ala dan bahwasanya tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan dan pengawasan-Nya, baik yang tampak di mata manusia maupun tersembunyi, seperti ayat-ayat berikut:

{واعلموا أن الله يعلم ما في أنفسكم فاحذروه}

“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahi apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya” (QS al-Baqarah:235).

{يستخفون من الناس ولا يستخفون من الله وهو معهم إذ يبيتون ما لا يرضى من القول، وكان الله بما يعملون محيطاً}

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan” (QS an-Nisaa’:108).

{يعلم خائنةَ الأَعْيُنِ وما تُخْفِي الصُدور}

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan dalam hati” (QS al-Mu’min:19). Dan ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat-ayat tersebut, merenungkan dan menghayati semua itu akan membangkitkan dalam diri seorang hamba muraaqabatullah dalam semua perbuatan dan keadaannya. Karena muraaqabatullah adalah termasuk buah yang manis dari keyakinan seorang hamba bahwa Allah Ta’ala maha mengawasi dan memperhatikan dirinya, maha mendengarkan apa yang diucapkan lisannya, serta maha mengetahui semua perbuatannya setiap waktu, setiap tarikan nafas, bahkan setiap kedipan matanya[13].

Penutup

Dengan penjelasan di atas, kita memahami bagaimana agungnya manfaat dan keutamaan membaca al-Qur’an dengan merenungkan dan menghayati kandungan maknanya, karena dengan itulah kita bisa mengambil petunjuk agung yang terdapat di dalamnya dengan sempurna[14], untuk membawa kita mencapai kedudukan dan tingkatan yang tinggi di hadapan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

{كتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا آياته وليتذكر أولوا الألباب}

“Ini adalah kitab (al-Qur’an) yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS Shaad:29).

Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua kedudukan muraaqabatullah yang agung dan mulia ini, serta semua kedudukan yang tinggi dalam agama-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Mengabulkan permohonan hamba-Nya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 13 Syawwal 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id