Saat engkau sedang sendiri jangan katakan aku sendiri, tetapi katakan ada yang senantiasa mengawasi diri ini. Dan sedikitpun jangan menyangka bahwa Allah lalai, atau menyangka Dia tak tahu apa yang tersembunyi.

Senin, 24 November 2014

KECINTAAN DAN KEDEKATAN SESAMA MUKMININ

Oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Aalu Syaikh Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan walâyah (kedekatan dan kecintaan) di antara kaum Mukminin. Oleh karena itu, seorang Mukmin harus mencintai saudaranya sesama Mukmin dengan tulus dari dalam hatinya. Karena hati-hati mereka sama-sama mencintai Allâh, mencintai Rasul-Nya, dan tunduk pasrah kepada-Nya dengan mengikuti agama Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman : وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain. [at-Taubah/9:71] Karena seorang Mukmin mencintai saudaranya sesama Mukmin, maka dia akan menolongnya dan membela kehormatannya. Dia tidak rela saudaranya dihinakan atau direndahkan. Jika saudaranya dihinakan, dia akan tampil membelanya, karena ini merupakan konsekwensi kecintaan. Seorang Mukmin tidak akan menuduh Mukmin lainnya dengan tuduhan palsu, apalagi tuduhan itu dengan sebab kekeliruan saudaranya. Karena walâyah (kedekatan dan kecintaan) itu akan mendorongnya untuk memberikan nasehat kepada saudaranya, dia ingin saudaranya mendapatkan kebaikan sebagaimana dia menginginkan kebaikan itu untuk dirinya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri [HR. Bukhâri dan Muslim] Semua orang itu sering atau pernah melakukan kesalahan. Disebutkan dalam sebuah hadits : عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Semua anak cucu Adam sering berbuat salah dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat salah adalah mereka yang banyak bertaubat." [HR. Ahmad; Tirmidzi; Ibnu Mâjah; Dârimi] Jika seorang Mukmin terjatuh dalam kesalahan, maka sepantasnya Mukmin lainnya berusaha memberinya nasehat, karena sesungguhnya hati manusia itu suka dan mudah menerima nasehat yang tulus dari hati. Tidak sebaliknya, membeberkan kesalahan tersebut di kalangan umum atau menumpahkan kekesalan. Di saat itulah keimanan yang ada di kalangan kaum Mukmin menjadi pengikat yang kuat, mereka akan saling melindungi dan menolong. Namun sangat disayangkan, lemahnya semangat melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan perintah Rasul-Nya telah tersebar dan merata di tengah masyarakat, sehingga sebagian majlis-majlis mereka berisi celaan dan gangguan terhadap saudara-saudara mereka sesama Mukmin. Sebagian orang yang lemah imannya, jika mendengar saudaranya terjatuh dalam kebatilan atau kesalahan, mereka menyebarkannya dan menyangka itu merupakan bentuk nasehat (ketulusan; pembelaan). Padahal, sejatinya itu bertentangan dengan konsekwensi keimanan dan konsekwensi kecintaan sesama kaum Mukminin. Ini jika yang mereka sebutkan itu benar. Lalu bagaimana jika yang dia sebutkan itu tidak benar? Bagaimana jika yang dia sebutkan itu dusta lalu disebarkan oleh banyak orang tanpa memperdulikan kehormatan saudara-saudara mereka sesama Mukmin ?! Allâh Azza wa Jalla berfirman : وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. [al-Ahzâb/33: 58] Dalam ayat yang mulia ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa orang-orang yang menyakiti kaum Mukminin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. Termasuk dalam hal ini adalah menuduh dan menyebarkan berita dusta. Karena mereka hanya mendengar berita buruk, lalu disebar dan diulang-ulang. Mereka tidak memiliki bukti kongkrit. Oleh karena itu, mereka memikul dosa yang nyata, perbuatan maksiat yang nyata. Pelakunya tidak mendapatkan pahala, bahkan dia memikul dosa dan keburukan di dunia dan akhirat. Sifat yang buruk ini, maksudnya menuduh dengan tuduhan palsu terhadap orang-orang beriman, yang yang diancam dalam ayat yang agung ini, sering dilakukan manusia semenjak zaman dahulu. Ada sekelompok orang Rafidhah atau Syi’ah di zaman dahulu dan berikutnya telah menuduh kaum Mukminin dan Mukminat yang paling tinggi keimanan mereka, yaitu para sahabat Rasûlullâh n , dengan tuduhan yang tidak pernah mereka lakukan. Ini adalah dusta dan dosa nyata, sebagaimana dinyatakan oleh Allâh Azza wa Jalla. Tuduhan ini telah tersebar di kalangan manusia di zaman dahulu dan zaman sekarang. Ada juga sekelompok orang dari umat ini yang menuduh para Ulama mereka, padahal para Ulama ini mengiringi para sahabat dalam keimanan dan pengamalan Islam. Mereka mengikuti petunjuk Allâh Azza wa Jalla , meniti jalan Sunnah, dan mengajak kepada aqidah tauhid, aqidah as-salafus shalih. Tuduhan batil terhadap Ulama ini tersebar di masyarakat di zaman dahulu dan sekarang yang lemah imannya. Diantara mereka ada yang mengatakan berdasarkan dugaan, bukan berdasarkan suatu yang meyakinkan, “Aku sangka demikian.” Kemudian ada orang lain di majlis itu yang mendengarnya lalu menyampaikan ke orang lain. Dia mengatakan, “Diceritakan bahwa si A demikian dan demikian”, lalu datang orang ketiga dan mengatakan, “Aku telah mendengar demikian”, kemudian datang orang yang ke empat dan mengatakan, “Seorang yang tsiqah (terpercaya) telah memberitahuku demikian”. Lalu datang orang kelima dan menjadikannya sebagai berita yang benar, dianggap sebuah kebenaran yang tidak bisa didiskusikan lagi. Lalu berita itu tersebar di tengah masyarakat, padahal itu adalah tuduhan dusta terhadap Ulama. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ghibah: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ Engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci. Lalu beliau ditanya: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ “Bagaimana pendapatmu, jika apa yang aku katakan itu benar-benar ada pada saudaraku ?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ Jika apa yang engkau katakan itu benar adanya, berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak ada padanya, berarti engkau telah membuat kedustaan atasnya. [HR. Muslim, no. 2589; Tirmidzi, no. 1935; Abu Dâwud, no. 4874] Ini fakta dalam banyak majlis. Mereka membicarakan orang-orang baik, orang-orang pilihan, para Ulama yang mengajak kepada petunjuk, mengajarkan umat aqidah Salaf, mengajak agar umat berpegang teguh dengan Islam. Mereka menuduhkan kepada para Ulama sesuatu yang tidak ada pada mereka atau tidak mereka lakukan. Dasar perkataan mereka hanyalah persangkaan semata, padahal Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan) [Al-Hujurat/49: 12] Allâh Azza wa Jalla mewajibkan kaum Mukminin menjauhi persangkaan diantara mereka. Allâh juga mewajibkan kaum Mukminin menjauhi sikap saling mencela. Kalau saling mencela sesama saja terlarang, lalu bagaimana jika celaan diarahkan kepada Ulama yang merupakan pewaris para Nabi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ Dan sesungguhnya para Ulama itu pewaris para Nabi. Para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya maka dia telah mengambil bagian yang banyak. [HR. Abu Dâwud no:3641; Tirmidzi no:3641; Ibnu Mâjah no: 223; Ahmad 4/196; Dârimi no: 1/98. haditn ini dinilai hasan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun Nâzhirin 2/470, hadits no: 1388] Ini sebuah fakta yang menyedihkan. Seharusnya majlis-majlis kaum Mukminin bersih dari kedustaan dan dari hal-hal yang bisa mendatangkan dosa yang nyata dan dosa besar. Kewajiban orang-orang yang beriman adalah saling menolong dan saling mencintai. Dan diantara buah kecintaan itu adalah saling menjaga kehormatan. Dan kehormatan paling tinggi yang berhak untuk dijaga adalah kehormatan Ulama umat ini. Persangkaan buruk kepada Ulama, hanya merugikan pelakunya sendiri, karena dampak buruknya akan kembali kepada pelaku. Demikian juga halnya mencela orang-orang beriman dengan sesuatu yang tidak mereka lakukan. Perilaku buruk ini juga sudah tersebar di sebagian majlis-majlis. Mereka menuduh orang lain hanya dengan dasar persangkaan. Perilaku buruk ini harus dihentikan ! Karena mencela orang lain dan menyebarkannya berarti mencela dirinya sendiri. Tidakkah kita dengar firman Allâh Azza wa Jalla : وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri [al-Hujurat/49:11] Jika seorang Mukmin mencela saudaranya yang beriman, itu sebenarnya dia mencela dirinya sendiri, karena seorang Mukmin adalah saudara bagi Mukmin yang lain. Seharusnya, dia berusaha menjaga dan membela kehormatannya. Jika seseorang melihat atau mendengar keburukan orang lain, lalu dia menyebarkannya, berarti dia tidak peduli dosa dan akibat buruknya, padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz Radhiyallahu anhu sambil memberikan isyarat kearah lidah : كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا Tahan ini ! Mu’adz Radhiyallahu anhu bertanya : يَا نَبِيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟ Wahai Nabi Allâh, apakah kita akan disiksa dengan sebab ucapan yang kita katakan ? Beliau menjawab : ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ Kasihan engkau hai Mu’adz ! Adakah yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka pada wajah-wajah mereka atau hidung-hidung mereka selain hasil-hasil (akibat-akibat buruk) lidah mereka ?”.[Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi, no: 2616; Ibnu Mâjah, no: 3872; Ahmad 5/230, 236, 237, 245; dll; Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no: 5126 dan Irwâ'ul Ghalîl, no. 413] Oleh karena itu barangsiapa mendengar tentang sesuatu, tetapi dia belum memastikan kebenarannya, maka jangan sekali-kali dia membicarakannya. Karena menjaga kehormatan seorang Mukmin hukumnya wajib. Jika dia mendengar tentang sesuatu dan sudah memastikan kebenarannya, maka dia tidak boleh menyebarkannya dan menyampaikan kepada orang lain. Dia berkewajiban memberi nasehat secara rahasia. Karena jika dosa-dosa itu disebarkan di tengah masyarakat, maka mereka akan meremehkannya. Sehingga menyebarkan beritanya akan lebih mempermudah tersebarnya perbuatan dosa tersebut setelah sebelumnya disebarkan dengan perbuatan. Hendaklah kita memperhatikan masalah besar ini. Yaitu masalah memberikan nasehat kepada kaum Mukminin. Memberikan nasehat dengan tetap menjaga kehormatan mereka, membimbing dan mengarahkannya untuk melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan kebaikan. Hendaklah kita menjaga kehormatan para Ulama. Karena jika para Ulama dicela, maka perkataan mereka tidak akan didengar. Kedudukan mereka yang mulia sebagai pembimbing, pemberi fatwa dan juru dakwah akan hilang. Karena tabi'at umumnya orang, jika ada orang lain yang memiliki reputasi buruk, maka mereka tidak akan mendengar perkataannya. Oleh karena itu, kita berkewajiban menjaga kehormatan para Ulama kita dari hal-hal buruk yang mereka sebarkan. Bukan hanya para Ulama, bahkan kita juga wajib menjaga kehormatan seluruh kaum Mukminin sesuai dengan kedudukannya di dalam keimanan, sesuai dengan kedudukannya di dalam melaksanakan perintah Allâh dan perintah RasulNya. Ini merupakan perkara penting. Janganlah kita isi majlis kita dengan desas-desus, “Fulan telah berkata”, “Orang lain berkata”, yang jika kita perhatikan, perkataan itu menyakiti kaum Mukminin dengan sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan. Kita memohon kepada Allâh Yang Maha Agung agar mensucikan lidah kita dan pendengaran kita. Dan agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengucapkan perkataan yang haq dan termasuk orang-orang berhati bersih yang selalu husnuz zhan (berbaik sangka) terhadap seluruh kaum Muslimin. Aku mohon petunjuk, ketaqwaan, ‘afaf (kehormatan; kemuliaan), dan kecukupan kepada Allâh untukku dan untuk kalian semua. Wallahu a'lam (Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari, dari khutbah jum’at Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Aalu Syaikh yang berjudul “Walayatul Mukmin”) almanhaj.or.id

Rabu, 19 Maret 2014

AL-GHALIB DAN AN-NASHIR (ALLAH MAHA MENANG DAN MAHA PENOLONG)

Prof. Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad Diantara nama-nama Allâh Azza wa Jalla adalah al-Ghâlib dan an-Nashîr. Nama al-Ghâlib disebutkan dalam al-Qur'an pada satu tempat saja yaitu dalam firman-Nya : وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰ أَمْرِهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ dan Allâh berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya [Yusuf/12:21] Sedangkan nama an-Nashîr disebutkan pada empat tempat : وَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَوْلَاكُمْ ۚ نِعْمَ الْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ النَّصِيرُ Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allâh Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong [al-Anfâl/8:40] Juga dalam surat an-Nisâ'/4 ayat ke-45; Surat al-Hajj/22 ayat ke-78 dan surat al-Furqân/25 ayat ke-31. MAKNA AL-GHALIB DAN AN-NASHR al-Ghâlib artinya yang bisa melakukan apa saja yang dikehendaki, tidak bisa dikalahkan oleh apapun, tidak ada yang bisa menolak hukum-Nya, tidak ada seorang pun yang memiliki kemampuan untuk menolak ketetapan-Nya juga tidak ada seorang pun yang memiliki kekuatan untuk menghalangi apa yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan berjalan. Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, "Wajib bagi setiap orang mukallaf mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla itu al-Ghâlib (Maha Menang, Tidak akan terkalahkan) secara mutlak. Orang yang berpegang teguh dengan-Nya, maka dia juga akan menang, meskipun semua penduduk penduduk bumi melawannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman : كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي Allâh Telah menetapkan: "Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang". [al-Mujâdilah/58:21] Dan orang yang berpaling dari Allâh Azza wa Jalla lalu berpegang dengan selain Allâh Azza wa Jalla , maka dia akan kalah."[1] An-Nashîr maknanya adalah yang menolong para hamba-Nya, yang bisa memberikan jaminan bahwa Dia akan mendukung dan membela para wali-Nya. Semua pertolongan itu hanya dari Allâh Azza wa Jalla semata. Pertolongan (kemenangan) itu tidak akan terealisasi kecuali dengan karunia dari Allâh Azza wa Jalla . Jadi orang yang akan menang adalah orang-orang yang ditolong oleh Allâh Azza wa Jalla karena tidak ada penolong dan penjaga bagi para hamba kecuali Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman : وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allâh yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Ali Imrân/3:126] Allâh Azza wa Jalla juga berfirman : إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ ۗ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ Jika Allâh menolong kamu, maka tidak ada orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allâh membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allâh sesudah itu ? Karena itu hendaklah kepada Allâh saja orang-orang Mukmin bertawakkal. [Ali Imrân/3:160] أَمَّنْ هَٰذَا الَّذِي هُوَ جُنْدٌ لَكُمْ يَنْصُرُكُمْ مِنْ دُونِ الرَّحْمَٰنِ ۚ إِنِ الْكَافِرُونَ إِلَّا فِي غُرُورٍ Atau siapakah dia yang menjadi tentara bagimu yang akan menolongmu selain Allâh yang Maha Pemurah? orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu. [al-Mulk/67:20] Allâh Azza wa Jalla juga berfirman : وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ dan tiada bagimu selain Allâh seorang pelindung maupun seorang penolong. [al-Baqarah/2:107] وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ Dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. [ar-Rûm/30:47] PERTOLONGANNHANYA DARI ALLAH AZZA WA JALLA Dalam banyak ayat, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan karunia-Nya kepada para nabi-Nya berupa kemenangan dan dukungan. Allâh Azza wa Jalla berfirman : إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ Sesungguhnya kami menolong rasul-rasul kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat). [al-Ghâfir/40:51] Juga dalam firman-Nya : لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ  Sesungguhnya Allâh telah menolong kamu (hai para Mukminin) di medan peperangan yang banyak [at-Taubah/9:25] Juga dalam firman-Nya : وَلَقَدْ مَنَنَّا عَلَىٰ مُوسَىٰ وَهَارُونَ﴿١١٤﴾وَنَجَّيْنَاهُمَا وَقَوْمَهُمَا مِنَ الْكَرْبِ الْعَظِيمِ﴿١١٥﴾وَنَصَرْنَاهُمْ فَكَانُوا هُمُ الْغَالِبِينَ Dan Sesungguhnya Kami telah melimpahkan nikmat atas Musa dan Harun. Dan Kami selamatkan keduanya dan kaumnya dari bencana yang besar. Dan Kami tolong mereka, maka jadilah mereka orang-orang yang menang. [as-shaffât/37:114-116] Allâh Azza wa Jalla juga memberitahukan bahwa pertolongan itu hanya diminta kepada-Nya dan hanya bisa diperoleh dengan bersandar kepada-Nya. Dalam do'a nabi Nuh Alaihissallam. قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي بِمَا كَذَّبُونِ Nabi Nuh berdoa, "Ya Rabbku, tolonglah aku, karena mereka mendustakan aku." [al-Mukminûn/ 23:26] Dan dalam do'a Nabi Luth Alaihissallam : قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ Nabi Luth berdo'a, "Ya Rabbku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu." [al-Ankabut/29:30] Dan dalam do'a nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam : أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir [al-Baqarah/2:286] Dalam Sunan Abu Daud rahimahullah , Tirmidzi dan yang lainnya diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melakukan peperangan, maka beliau berdo'a : اللَّهُمَّ أَنْتَ عَضُدِي وَأَنْتَ نَصِيرِي بِكَ أَجُوْلُ وَبِكَ أَصُوْلُ وَبِكَ أُقَاتِلُ Wahai Allâh , Engkau adalah penguatku dan Penolongku, Dengan (nama)-Mu aku menyerang dan membela. Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla juga memberitahukan bahwa kaum kafir itu tidak memiliki penolong. Allâh Azza wa Jalla berfirman : فَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَأُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ Adapun orang-orang yang kafir, maka Aku akan siksa mereka dengan siksa yang sangat keras di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak memperoleh penolong. [Ali Imrân/3:56] Allâh Azza wa Jalla juga berfirman : بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۖ فَمَنْ يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ ۖ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allâh ? dan tidak ada bagi mereka seorang penolongpun. [ar-Rûm/30:29] Juga firman-Nya : وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ هِيَ أَشَدُّ قُوَّةً مِنْ قَرْيَتِكَ الَّتِي أَخْرَجَتْكَ أَهْلَكْنَاهُمْ فَلَا نَاصِرَ لَهُمْ Dan betapa banyaknya negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari pada (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu. Kami telah membinasakan mereka, maka tidak ada seorang penolongpun bagi mereka. [Muhammad/47:13] Allâh Azza wa Jalla juga berfirman buat kaum Mukminin : وَلَوْ قَاتَلَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوَلَّوُا الْأَدْبَارَ ثُمَّ لَا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا﴿٢٢﴾سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا Dan sekiranya orang-orang kafir itu memerangi kamu Pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah) kemudian mereka tiada memperoleh pelindung dan tidak (pula) penolong. Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan peubahan bagi sunnatullah itu. [al-Fath/48:22-23] Firman Allâh Azza wa Jalla ini ditujukan kepada kaum Muslimin yang sudah merealisasikan tuntutan iman mereka, baik yang zhahir maupun yang bathin. Orang-orang yang seperti ini akan mendapatkan pertolongan dari Allâh Azza wa Jalla dan akan mendapatkan akhir yang baik. Oleh karena itu, selama kaum Muslimin tidak melawan nafsu mereka dalam rangka merealisasikan tuntutan keimanan mereka dan faktor-faktor yang bisa mendatangkan kemenangan, maka kemenangan itu tidak akan pernah menghampiri mereka. Bahkan sebalinya, mereka akan senantiasa berada dalam penjajahan dan bayang-bayang kekuasaan musuh-musuh mereka akibat dari kesalahan dan dosa-dosa mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Dimanapun kaum kafir mendapatkan kemenangan, maka itu disebabkan oleh dosa kaum Muslimin yang mengisyaratkan iman mereka kurang. Jika mereka bertaubat dengan menyempurnakan keimanan mereka, maka Allâh akan menolong mereka, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla : وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. [Ali Imrân/3:139] Juga berfirman : أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". [Ali Imrân/3:165][2] Maka untuk mendapatkan kemenangan dalam menghadapi para musuh yang terlihat, para hamba terlebih dahulu harus memerangi dan mengalahkan musuh-musuh yang tidak terlihat berupa nafsu yang selalu mengajak kepada perbuatan buruk dan syaitan. Selama peperangan melawan musuh-musuh yang tidak terlihat ini belum dimenangkan, maka kemenangan dalam melawan musuh yang terlihat itu akan tetap menjadi angan-angan belaka. Ketika menjelaskan firman Allâh Azza wa Jalla : وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. dan Sesungguhnya Allâh benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. [al-Ankabût/29:69]. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Allâh Azza wa Jalla mengaitkan hidayah dengan jihad, jadi orang yang paling sempurna hidayahnya adalah orang yang paling keras jihadnya. Jihad yang paling wajib adalah jihad (melawan) nafsu, jihad (melawan) hawa, jihad (melawan) syaitan dan jihad (melawan) dunia. Barangsiapa berjihad (melawan) empat perkara ini karena Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla pasti menunjukkan kepadanya jalan-jalan untuk meraih ridha-Nya yang bisa menghantarkannya ke surga-Nya. Dan orang yang meninggalkan jihad, maka dia kehilangan hidayah seukuran jihad yang ditinggalkannya. … dan tidak mungkin berjihad melawan musuh yang zhahir kecuali oleh orang-orang yang sudah berjihad melawan musuh-musuh secara bathin. Orang yang mendapatkan pertolongan dalam menghadapi musuh-musuh (yang bersifat abstrak) ini, maka dia akan mendapatkan pertolongan dalam menghadapi musuhnya. Barangsiapa terkalahkan oleh musuh-musuh (yang empat ini), maka dia akan dikalahkan oleh musuhnya yang zhahir."[3] Ibnul Qayyim rahimahullah juga mengatakan, "Jika keimanan (kaum Muslimin) itu lemah, maka para musuh mereka akan mendapatkan peluang seukuran dengan kurangnya iman mereka. Jadi kaum Muslimin membuka celah jalan bagi para musuh mereka dengan sebab perbuatan taat yang mereka tinggalkan. Seorang Mukmin itu perkasa, tinggi, ditolong, tercukupi, dibela dimanapun mereka berada, meskipun semua penduduk dunia menyerangnya, jika dia merealisasikan hakikat dan kewajiban iman, baik secara zhahir dan bathin. Allâh Azza wa Jalla berfirman buat kaum Mukminin : فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allâh pun bersamamu dan dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu. [Muhammad/47:35] Jaminan dari Allâh Azza wa Jalla hanya akan terwujud dengan sebab keimanan dan amal perbuatan kaum Muslimin yang itu merupakan salah satu dari tentara-tentara Allâh yang dipergunakan untuk melindungi kaum Muslimin."[4] Demikian pembahasan singkat tentang al-Ghâlib dan an-Nashir, kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar memperbaiki keadaan kaum Muslimin; agar melindungi mereka dari kejahatan para musuh mereka; agar menjaga keamanan dan keimanan kaum Muslimin; agar menahan kejahatan orang-orang kafir, sesungguhnya Allâh amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya). Kita juga memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar Allâh Azza wa Jalla memenangkan agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, dan agar menolong kaum Muslimin dalam mengahadapi orang-orang kafir. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla pasti menjaga yang bersandar kepada-Nya, mencukupi orang yang berpergang teguh dengan-Nya dan sesungguhnya Allâh adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong (Diterjemahkan dari Fiqhul Asma'il Husna, Syaikh Abdurrazaq, hlm. 242-244) sumber : almanhaj.or.id