Oleh
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Aalu Syaikh
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan walâyah (kedekatan dan kecintaan) di antara kaum Mukminin. Oleh karena itu, seorang Mukmin harus mencintai saudaranya sesama Mukmin dengan tulus dari dalam hatinya. Karena hati-hati mereka sama-sama mencintai Allâh, mencintai Rasul-Nya, dan tunduk pasrah kepada-Nya dengan mengikuti agama Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain. [at-Taubah/9:71]
Karena seorang Mukmin mencintai saudaranya sesama Mukmin, maka dia akan menolongnya dan membela kehormatannya. Dia tidak rela saudaranya dihinakan atau direndahkan. Jika saudaranya dihinakan, dia akan tampil membelanya, karena ini merupakan konsekwensi kecintaan.
Seorang Mukmin tidak akan menuduh Mukmin lainnya dengan tuduhan palsu, apalagi tuduhan itu dengan sebab kekeliruan saudaranya. Karena walâyah (kedekatan dan kecintaan) itu akan mendorongnya untuk memberikan nasehat kepada saudaranya, dia ingin saudaranya mendapatkan kebaikan sebagaimana dia menginginkan kebaikan itu untuk dirinya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri [HR. Bukhâri dan Muslim]
Semua orang itu sering atau pernah melakukan kesalahan. Disebutkan dalam sebuah hadits :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Semua anak cucu Adam sering berbuat salah dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat salah adalah mereka yang banyak bertaubat." [HR. Ahmad; Tirmidzi; Ibnu Mâjah; Dârimi]
Jika seorang Mukmin terjatuh dalam kesalahan, maka sepantasnya Mukmin lainnya berusaha memberinya nasehat, karena sesungguhnya hati manusia itu suka dan mudah menerima nasehat yang tulus dari hati. Tidak sebaliknya, membeberkan kesalahan tersebut di kalangan umum atau menumpahkan kekesalan. Di saat itulah keimanan yang ada di kalangan kaum Mukmin menjadi pengikat yang kuat, mereka akan saling melindungi dan menolong.
Namun sangat disayangkan, lemahnya semangat melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan perintah Rasul-Nya telah tersebar dan merata di tengah masyarakat, sehingga sebagian majlis-majlis mereka berisi celaan dan gangguan terhadap saudara-saudara mereka sesama Mukmin.
Sebagian orang yang lemah imannya, jika mendengar saudaranya terjatuh dalam kebatilan atau kesalahan, mereka menyebarkannya dan menyangka itu merupakan bentuk nasehat (ketulusan; pembelaan). Padahal, sejatinya itu bertentangan dengan konsekwensi keimanan dan konsekwensi kecintaan sesama kaum Mukminin. Ini jika yang mereka sebutkan itu benar. Lalu bagaimana jika yang dia sebutkan itu tidak benar? Bagaimana jika yang dia sebutkan itu dusta lalu disebarkan oleh banyak orang tanpa memperdulikan kehormatan saudara-saudara mereka sesama Mukmin ?! Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. [al-Ahzâb/33: 58]
Dalam ayat yang mulia ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa orang-orang yang menyakiti kaum Mukminin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. Termasuk dalam hal ini adalah menuduh dan menyebarkan berita dusta. Karena mereka hanya mendengar berita buruk, lalu disebar dan diulang-ulang. Mereka tidak memiliki bukti kongkrit. Oleh karena itu, mereka memikul dosa yang nyata, perbuatan maksiat yang nyata. Pelakunya tidak mendapatkan pahala, bahkan dia memikul dosa dan keburukan di dunia dan akhirat.
Sifat yang buruk ini, maksudnya menuduh dengan tuduhan palsu terhadap orang-orang beriman, yang yang diancam dalam ayat yang agung ini, sering dilakukan manusia semenjak zaman dahulu.
Ada sekelompok orang Rafidhah atau Syi’ah di zaman dahulu dan berikutnya telah menuduh kaum Mukminin dan Mukminat yang paling tinggi keimanan mereka, yaitu para sahabat Rasûlullâh n , dengan tuduhan yang tidak pernah mereka lakukan. Ini adalah dusta dan dosa nyata, sebagaimana dinyatakan oleh Allâh Azza wa Jalla. Tuduhan ini telah tersebar di kalangan manusia di zaman dahulu dan zaman sekarang.
Ada juga sekelompok orang dari umat ini yang menuduh para Ulama mereka, padahal para Ulama ini mengiringi para sahabat dalam keimanan dan pengamalan Islam. Mereka mengikuti petunjuk Allâh Azza wa Jalla , meniti jalan Sunnah, dan mengajak kepada aqidah tauhid, aqidah as-salafus shalih.
Tuduhan batil terhadap Ulama ini tersebar di masyarakat di zaman dahulu dan sekarang yang lemah imannya. Diantara mereka ada yang mengatakan berdasarkan dugaan, bukan berdasarkan suatu yang meyakinkan, “Aku sangka demikian.” Kemudian ada orang lain di majlis itu yang mendengarnya lalu menyampaikan ke orang lain. Dia mengatakan, “Diceritakan bahwa si A demikian dan demikian”, lalu datang orang ketiga dan mengatakan, “Aku telah mendengar demikian”, kemudian datang orang yang ke empat dan mengatakan, “Seorang yang tsiqah (terpercaya) telah memberitahuku demikian”. Lalu datang orang kelima dan menjadikannya sebagai berita yang benar, dianggap sebuah kebenaran yang tidak bisa didiskusikan lagi. Lalu berita itu tersebar di tengah masyarakat, padahal itu adalah tuduhan dusta terhadap Ulama.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ghibah:
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
Engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci.
Lalu beliau ditanya:
أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ
“Bagaimana pendapatmu, jika apa yang aku katakan itu benar-benar ada pada saudaraku ?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Jika apa yang engkau katakan itu benar adanya, berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak ada padanya, berarti engkau telah membuat kedustaan atasnya. [HR. Muslim, no. 2589; Tirmidzi, no. 1935; Abu Dâwud, no. 4874]
Ini fakta dalam banyak majlis. Mereka membicarakan orang-orang baik, orang-orang pilihan, para Ulama yang mengajak kepada petunjuk, mengajarkan umat aqidah Salaf, mengajak agar umat berpegang teguh dengan Islam. Mereka menuduhkan kepada para Ulama sesuatu yang tidak ada pada mereka atau tidak mereka lakukan. Dasar perkataan mereka hanyalah persangkaan semata, padahal Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan) [Al-Hujurat/49: 12]
Allâh Azza wa Jalla mewajibkan kaum Mukminin menjauhi persangkaan diantara mereka. Allâh juga mewajibkan kaum Mukminin menjauhi sikap saling mencela. Kalau saling mencela sesama saja terlarang, lalu bagaimana jika celaan diarahkan kepada Ulama yang merupakan pewaris para Nabi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Dan sesungguhnya para Ulama itu pewaris para Nabi. Para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya maka dia telah mengambil bagian yang banyak. [HR. Abu Dâwud no:3641; Tirmidzi no:3641; Ibnu Mâjah no: 223; Ahmad 4/196; Dârimi no: 1/98. haditn ini dinilai hasan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun Nâzhirin 2/470, hadits no: 1388]
Ini sebuah fakta yang menyedihkan. Seharusnya majlis-majlis kaum Mukminin bersih dari kedustaan dan dari hal-hal yang bisa mendatangkan dosa yang nyata dan dosa besar.
Kewajiban orang-orang yang beriman adalah saling menolong dan saling mencintai. Dan diantara buah kecintaan itu adalah saling menjaga kehormatan. Dan kehormatan paling tinggi yang berhak untuk dijaga adalah kehormatan Ulama umat ini. Persangkaan buruk kepada Ulama, hanya merugikan pelakunya sendiri, karena dampak buruknya akan kembali kepada pelaku.
Demikian juga halnya mencela orang-orang beriman dengan sesuatu yang tidak mereka lakukan. Perilaku buruk ini juga sudah tersebar di sebagian majlis-majlis. Mereka menuduh orang lain hanya dengan dasar persangkaan. Perilaku buruk ini harus dihentikan ! Karena mencela orang lain dan menyebarkannya berarti mencela dirinya sendiri. Tidakkah kita dengar firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ
Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri [al-Hujurat/49:11]
Jika seorang Mukmin mencela saudaranya yang beriman, itu sebenarnya dia mencela dirinya sendiri, karena seorang Mukmin adalah saudara bagi Mukmin yang lain. Seharusnya, dia berusaha menjaga dan membela kehormatannya. Jika seseorang melihat atau mendengar keburukan orang lain, lalu dia menyebarkannya, berarti dia tidak peduli dosa dan akibat buruknya, padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz Radhiyallahu anhu sambil memberikan isyarat kearah lidah :
كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا
Tahan ini !
Mu’adz Radhiyallahu anhu bertanya :
يَا نَبِيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟
Wahai Nabi Allâh, apakah kita akan disiksa dengan sebab ucapan yang kita katakan ?
Beliau menjawab :
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
Kasihan engkau hai Mu’adz ! Adakah yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka pada wajah-wajah mereka atau hidung-hidung mereka selain hasil-hasil (akibat-akibat buruk) lidah mereka ?”.[Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi, no: 2616; Ibnu Mâjah, no: 3872; Ahmad 5/230, 236, 237, 245; dll; Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no: 5126 dan Irwâ'ul Ghalîl, no. 413]
Oleh karena itu barangsiapa mendengar tentang sesuatu, tetapi dia belum memastikan kebenarannya, maka jangan sekali-kali dia membicarakannya. Karena menjaga kehormatan seorang Mukmin hukumnya wajib. Jika dia mendengar tentang sesuatu dan sudah memastikan kebenarannya, maka dia tidak boleh menyebarkannya dan menyampaikan kepada orang lain. Dia berkewajiban memberi nasehat secara rahasia. Karena jika dosa-dosa itu disebarkan di tengah masyarakat, maka mereka akan meremehkannya. Sehingga menyebarkan beritanya akan lebih mempermudah tersebarnya perbuatan dosa tersebut setelah sebelumnya disebarkan dengan perbuatan.
Hendaklah kita memperhatikan masalah besar ini. Yaitu masalah memberikan nasehat kepada kaum Mukminin. Memberikan nasehat dengan tetap menjaga kehormatan mereka, membimbing dan mengarahkannya untuk melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan kebaikan.
Hendaklah kita menjaga kehormatan para Ulama. Karena jika para Ulama dicela, maka perkataan mereka tidak akan didengar. Kedudukan mereka yang mulia sebagai pembimbing, pemberi fatwa dan juru dakwah akan hilang. Karena tabi'at umumnya orang, jika ada orang lain yang memiliki reputasi buruk, maka mereka tidak akan mendengar perkataannya.
Oleh karena itu, kita berkewajiban menjaga kehormatan para Ulama kita dari hal-hal buruk yang mereka sebarkan. Bukan hanya para Ulama, bahkan kita juga wajib menjaga kehormatan seluruh kaum Mukminin sesuai dengan kedudukannya di dalam keimanan, sesuai dengan kedudukannya di dalam melaksanakan perintah Allâh dan perintah RasulNya. Ini merupakan perkara penting. Janganlah kita isi majlis kita dengan desas-desus, “Fulan telah berkata”, “Orang lain berkata”, yang jika kita perhatikan, perkataan itu menyakiti kaum Mukminin dengan sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan.
Kita memohon kepada Allâh Yang Maha Agung agar mensucikan lidah kita dan pendengaran kita. Dan agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengucapkan perkataan yang haq dan termasuk orang-orang berhati bersih yang selalu husnuz zhan (berbaik sangka) terhadap seluruh kaum Muslimin. Aku mohon petunjuk, ketaqwaan, ‘afaf (kehormatan; kemuliaan), dan kecukupan kepada Allâh untukku dan untuk kalian semua. Wallahu a'lam
(Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari, dari khutbah jum’at Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Aalu Syaikh yang berjudul “Walayatul Mukmin”)
almanhaj.or.id