Saat engkau sedang sendiri jangan katakan aku sendiri, tetapi katakan ada yang senantiasa mengawasi diri ini. Dan sedikitpun jangan menyangka bahwa Allah lalai, atau menyangka Dia tak tahu apa yang tersembunyi.

Kamis, 28 Oktober 2010

Di Depan Gerbang Kematian

Kematian, salah satu rahasia ilmu ghaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala. Allah telah menetapkan setiap jiwa pasti akan merasakannya. Kematian tidak pandang bulu. Apabila sudah tiba saatnya, malaikat pencabut nyawa akan segera menunaikan tugasnya. Dia tidak mau menerima pengunduran jadwal, barang sedetik sekalipun. Karena bukanlah sifat malaikat seperti manusia, yang zalim dan jahil.

Manusia tenggelam dalam seribu satu kesenangan dunia, sementara ia lalai mempersiapkan diri menyambut akhiratnya. Berbeda dengan para malaikat yang senantiasa patuh dan mengerjakan perintah Tuhannya. Duhai, tidakkah manusia sadar. Seandainya dia tahu apa isi neraka saat ini juga pasti dia akan menangis, menangis dan menangis. SubhanAllah, adakah orang yang tidak merasa takut dari neraka. Sebuah tempat penuh siksa. Sebuah negeri kengerian dan jeritan manusia-manusia durhaka. Neraka ada di hadapan kita, dengan apakah kita akan membentengi diri darinya ? Apakah dengan menumpuk kesalahan dan dosa, hari demi hari, malam demi malam, sehingga membuat hati semakin menjadi hitam legam ? Apakah kita tidak ingat ketika itu kita berbuat dosa, lalu sesudahnya kita melakukannya, kemudian sesudahnya kita melakukannya ? Sampai kapan engkau jera ?

Sebab-sebab su’ul khatimah

Saudaraku seiman mudah -mudahan Allah memberikan taufik kepada Anda- ketahuilah bahwa su’ul khatimah tidak akan terjadi pada diri orang yang shalih secara lahir dan batin di hadapan Allah. Terhadap orang-orang yang jujur dalam ucapan dan perbuatannya, tidak pernah terdengar cerita bahwa mereka su’ul khotimah. Su’ul khotimah hanya terjadi pada orang yang rusak batinnya, rusak keyakinannya, serta rusak amalan lahiriahnya; yakni terhadap orang-orang yang nekat melakukan dosa-dosa besar dan berani melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Kemungkinan semua dosa itu demikian mendominasi dirinya sehingga ia meninggal saat melakukannya, sebelum sempat bertaubat dengan sungguh-sungguh.

Perlu diketahui bahwa su’ul khotimah memiliki berbagai sebab yang banyak jumlahnya. Di antaranya yang terpokok adalah sebagai berikut :
Berbuat syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. Pada hakikatnya syirik adalah ketergantungan hati kepada selain Allah dalam bentuk rasa cinta, rasa takut, pengharapan, do’a, tawakal, inabah (taubat) dan lain-lain.
Berbuat bid’ah dalam melaksanakan agama. Bid’ah adalah menciptakan hal baru yang tidak ada tuntunannya dari Allah dan Rasul-Nya. Penganut bid’ah tidak akan mendapat taufik untuk memperoleh husnul khatimah, terutama penganut bid’ah yang sudah mendapatkan peringatan dan nasehat atas kebid’ahannya. Semoga Allah memelihara diri kita dari kehinaan itu.
Terus menerus berbuat maksiat dengan menganggap remeh dan sepele perbuatan-perbuatan maksiat tersebut, terutama dosa-dosa besar. Pelakunya akan mendapatkan kehinaan di saat mati, disamping setan pun semakin memperhina dirinya. Dua kehinaan akan ia dapatkan sekaligus dan ditambah lemahnya iman, akhirnya ia mengalami su’ul khotimah.
Melecehkan agama dan ahli agama dari kalangan ulama, da’i, dan orang-orang shalih serta ringan tangan dan lidah dalam mencaci dan menyakiti mereka.
Lalai terhadap Allah dan selalu merasa aman dari siksa Allah. Allah berfirman yang artinya, “Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga). Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi” (QS. Al A’raaf [7] : 99)
Berbuat zalim. Kezaliman memang ladang kenikmatan namun berakibat menakutkan. Orang-orang yang zalim adalah orang-orang yang paling layak meninggal dalam keadaan su’ul khotimah. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al An’aam [6] : 44)
Berteman dengan orang-orang jahat. Allah berfirman yang artinya, “(Ingatlah) hari ketika orang yang zalim itu menggigit dua tangannya, seraya berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan yang lurus bersama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku dulu tidak menjadikan si fulan sebagai teman akrabku” (QS. Al Furqaan [25] : 27-28)
Bersikap ujub. Sikap ujub pada hakikatnya adalah sikap seseorang yang merasa bangga dengan amal perbuatannya sendiri serta menganggap rendah perbuatan orang lain, bahkan bersikap sombong di hadapan mereka. Ini adalah penyakit yang dikhawatirkan menimpa orang-orang shalih sehingga menggugurkan amal shalih mereka dan menjerumuskan mereka ke dalam su’ul khotimah.

Demikianlah beberapa hal yang bisa menyebabkan su’ul khotimah. Kesemuanya adalah biang dari segala keburukan, bahkan akar dari semua kejahatan. Setiap orang yang berakal hendaknya mewaspadai dan menghindarinya, demi menghindari su’ul khotimah.

Tanda-tanda husnul khotimah

Tanda-tanda husnul khotimah cukup banyak. Di sini kami menyebutkan sebagian di antaranya saja :
Mengucapkan kalimat tauhid laa ilaaha illallaah saat meninggal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang akhir ucapan dari hidupnya adalah laa ilaaha illallaah, pasti masuk surga” (HR. Abu Dawud dll, dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil)
Meninggal pada malam Jum’at atau pada hari Jum’at. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap muslim yang meninggal pada hari atau malam Jum’at pasti akan Allah lindungi dari siksa kubur” (HR.Ahmad)
Meninggal dengan dahi berkeringat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang mukmin itu meninggal dengan berkeringat di dahinya” (HR. Ahmad, Tirmidzi dll. dishahihkan Al Albani)
Meninggal karena wabah penyakit menular dengan penuh kesabaran dan mengharapkan pahala dari Allah, seperti penyakit kolera, TBC dan lain sebagainya
Wanita yang meninggal saat nifas karena melahirkan anak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang meninggal karena melahirkan anaknya berarti mati syahid. Sang anak akan menarik-nariknya dengan riang gembira menuju surga” (HR. Ahmad)
Munculnya bau harum semerbak, yakni yang keluar dari tubuh jenazah setelah meninggal dan dapat tercium oleh orang-orang di sekitarnya. Seringkali itu didapatkan pada jasad orang-orang yang mati syahid, terutama syahid fi sabilillah.
Mendapatkan pujian yang baik dari masyarakat sekitar setelah meninggalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati jenazah. Beliau mendengar orang-orang memujinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Pasti (masuk) surga” Beliau kemudian bersabda, “kalian -para sahabat- adalah para saksi Allah di muka bumi ini” (HR. At Tirmidzi)
Melihat sesuatu yang menggembirakan saat ruh diangkat. Misalnya, melihat burung-burung putih yang indah atau taman-taman indah dan pemandangan yang menakjubkan, namun tidak seorangpun di sekitarnya yang melihatnya. Kejadian itu dialami sebagian orang-orang shalih. Mereka menggambarkan sendiri apa yang mereka lihat pada saat sakaratul maut tersebut dalam keadaan sangat berbahagia, sedangkan orang-orang di sekitar mereka tampak terkejut dan tercengang saja.

Bagaimana kita menyambut kematian?

Saudara tercinta, sambutlah sang kematian dengan hal-hal berikut :
Dengan iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan takdir baik maupun buruk.
Dengan menjaga shalat lima waktu tepat pada waktunya di masjid secara berjama’ah bersama kaum muslim dengan menjaga kekhusyu’an dan merenungi maknanya. Namun, shalat wanita di rumahnya lebih baik daripada di masjid.
Dengan mengeluarkan zakat yang diwajibkan sesuai dengan takaran dan cara-cara yang disyari’atkan.
Dengan melakukan puasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala.
Dengan melakukan haji mabrur, karena pahala haji mabrur pasti surga. Demikian juga umrah di bulan Ramadhan, karena pahalanya sama dengan haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, yakni setelah melaksanakan yang wajib. Baik itu shalat, zakat, puasa maupun haji. Allah menandaskan dalam sebuah hadits qudsi, “Seorang hamba akan terus mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadah-ibadah sunnah, hingga Aku mencintai-Nya”
Dengan segera bertobat secara ikhlas dari segala perbuatan maksiat dan kemungkaran, kemudian menanamkan tekad untuk mengisi waktu dengan banyak memohon ampunan, berdzikir, dan melakukan ketaatan.
Dengan ikhlas kepada Allah dan meninggalkan riya dalam segala ibadah, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah [98] : 5)
Dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Hal itu hanya sempurna dengan mengikuti ajaran Nabi, sebagaimana yang Allah firmankan yang artinya, “Katakanlah, ‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang” (QS. Ali Imran [3] : 31)
Dengan mencintai seseorang karena Allah dan membenci seseorang karena Allah, berloyalitas karena Allah dan bermusuhan karena Allah. Konsekuensinya adalah mencintai kaum mukmin meskipun saling berjauhan dan membenci orang kafir meskipun dekat dengan mereka.
Dengan rasa takut kepada Allah, dengan mengamalkan ajaran kitab-Nya, dengan ridha terhadap rezeki-Nya meski sedikit, namun bersiap diri menghadapi Hari Kemudian. Itulah hakikat dari takwa.
Dengan bersabar menghadapi cobaan, bersyukur kala mendapatkan kenikmatan, selalu mengingat Allah dalam suasana ramai atau dalam kesendirian, serta selalu mengharapkan keutamaan dan karunia dari Allah. Dan lain-lain

(dicuplik dari Misteri Menjelang Ajal, Kisah-Kisah Su’ul Khatimah dan Husnul Khatimah, penerjemah Al Ustadz Abu ‘Umar Basyir hafizhahullah). Semoga sholawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada sanak keluarga beliau dan para sahabat beliau

Penyusun ulang: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Rabu, 27 Oktober 2010

Ketahuilah Dunia Itu Terlaknat

Dunia pada dasarnya bukanlah sesuatu yang harus dijauhi. Namun dunia bisa menjadi penghalang untuk bisa sampai kepada Allah. Harta pada dasarnya bukanlah sesuatu yang di benci. Namun, harta itu tercela jika dia melalaikan dari mengingat Allah. Betapa banyak kaum muslimin yang tertipu dengan gemerlap dunia sehingga lupa akan tujuan penciptaannya. Ironisnya mereka tidak menyadari hal tersebut dan ketika dirinya ditanya, “Apakah yang engkau inginkan, dunia ataukah akhirat?” Serentak dirinya menjawab, “Saya menginginkan akhirat!” Padahal keadaan dirinya menjadi saksi atas kedustaan ucapannya tersebut.

Kesenangan Dunia, Fitnah Bagi Umat Ini
Cinta terhadap keindahan dan kenikmatan dunia adalah sesuatu yang menjadi ciri khas makhluk Allah yang bernama manusia. Allah berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)
Demikianlah watak asli manusia, sehingga tidak ayal lagi hal itulah yang banyak menjerumuskan manusia sehingga hatinya terkait dengan dunia padahal tidak dipungkiri lagi keterkaitan hati dengan dunia merupakan fitnah sekaligus musibah yang menimpa umat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
{ إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ }
“Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah, dan fitnah bagi umatku adalah harta.” (HR. Tirmidzi dalam Silsilah Ash Shohihah, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih)
Maka sungguh mengherankan tatkala seseorang yang seharusnya beramal untuk mencapai surga yang luasnya bagaikan langit dan bumi, justru tenggelam dalam fitnah dunia dan harta. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat khawatir bila pintu-pintu kesenangan duniawi telah dibukakan bagi umat ini karena hal itulah yang menyebabkan mereka berpaling dari agama. Wallahul musta’an.
Dunia Itu Terlaknat!
Kaum muslimin, mari bersama kita renungkan hadits berikut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
{ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ }
“Dunia itu terlaknat dan segala yang terkandung di dalamnya pun terlaknat, kecuali orang yang berdzikir kepada Allah, yang melakukan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim atau penuntut ilmu syar’i.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah. Dalam Shohihul Jami’, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Perlu kiranya kita merenungkan hadits ini dengan seksama, di golongan manakah diri kita berada, apakah kita termasuk golongan yang mendapat rahmat dan terjauh dari laknat ataukah sebaliknya diri kita justru termasuk orang-orang yang mendapat laknat, menjadi budak dunia dikarenakan sebagian besar aktivitas kita atau bahkan seluruhnya hanya bertujuan untuk meraih kenikmatan dunia yang fana ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencela orang-orang yang tunduk pada dunia dan semata-mata tujuannya adalah mencari dunia dalam sabda beliau:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيصَةِ تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْلَةِ
“Celakalah budak dinar (uang emas), celakalah budak dirham (uang perak), celakalah budak khamishah (pakaian yang cantik) dan celakalah budak khamilah (ranjang yang empuk).” (HR. Bukhari)
Inilah celaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang kesehariannya menjadi budak harta dan berbagai kesenangan dunia. Renungkanlah dengan penuh kejujuran dan jawablah di golongan manakah diri kita berada? Apakah kita termasuk orang yang menjadi budak dunia ataukah orang yang tujuan hidupnya adalah beribadah kepada Allah? Renungkanlah sekali lagi hal ini!
Kaitkanlah Hatimu Dengan Akhirat
Saudaraku, jangan jadikan hatimu terkait dengan dunia, jangan sampai dunia masuk ke dalam hatimu dan bercokol di dalamnya, teladanilah generasi terbaik umat ini, mereka menggenggam dunia, namun cukup sampai di situ dan tidak merasuk ke dalam hati. Maka jadilah mereka generasi yang mencurahkan segenap jiwa raganya untuk kehidupan akhirat, dunia sebatas di genggaman mereka sehingga mudah dilepaskan, mudah untuk diinfakkan di jalan Allah. Adapun kita wahai kaum muslimin, aina nahnu min haaulaai (di manakah kedudukan kita jika dibandingkan mereka)? Di mana?! Tentu sangat jauh dari mereka!
Oleh karena itu wajib bagi diriku dan dirimu untuk merenungi sekali lagi bahkan senantiasa merenungi apakah tujuan kita diciptakan di dunia ini. Sangat mengherankan jika seorang muslim telah mengetahui tujuan penciptaannya kemudian lalai dari hal tersebut, bukankah inilah puncak kedunguan?! Sekali lagi, mari kita senantiasa mengaitkan amalan kita dengan akhirat, jika anda seorang yang mempelajari ilmu dunia, maka niatkanlah untuk akhirat, niatkanlah bahwa dirimu dengan ilmu tersebut akan membantu kebangkitan kaum muslimin. Jika anda seorang pengajar, dosen atau semisalnya, maka niatkanlah aktivitas mengajar anda untuk akhirat dan kebangkitan kaum muslimin, demikian juga seluruh profesi, maka niatkanlah untuk akhirat.
Namun apabila niat anda justru sebaliknya, anda belajar, mengajarkan ilmu dunia, berbisnis dan melakukan aktivitas dunia lainnya hanya sekedar untuk mendapatkan dunia, maka anda telah merugi karena telah melewatkan keuntungan yang amat banyak dan janganlah anda mencela kecuali diri anda sendiri.
اَللّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِي دِيْنِنَا وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا
“Ya Allah, janganlah engkau jadikan musibah dalam urusan agama kami, dan jangan pula engkau jadikan dunia ini adalah tujuan terbesar dan puncak dari ilmu kami.”
Amin Ya Sami’ad Da’awat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat, allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
***
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id

Selasa, 26 Oktober 2010

Penuntut Ilmu Tidak Boleh Futur, Tidak Boleh Putus Asa Dan Waspada Terhadap Bosan

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Seorang penuntut ilmu tidak boleh futur dalam usahanya untuk memperoleh dan mengamalkan ilmu. Futur yaitu rasa malas, enggan, dan lamban dimana sebelumnya ia rajin, bersungguh-sungguh, dan penuh semangat.

Futur adalah satu penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan aktivitas kebaikan.

Orang yang terkena penyakit futur ini berada pada tiga golongan, yaitu:

1). Golongan yang berhenti sama sekali dari aktivitasnya dengan sebab futur, dan golongan ini banyak sekali.

2). Golongan yang terus dalam kemalasan dan patah semangat, namun tidak sampai berhenti sama sekali dari aktivitasnya, dan golongan ini lebih banyak lagi.

3). Golongan yang kembali pada keadaan semula, dan golongan ini sangat sedikit. [1]

Futur memiliki banyak dan bermacam-macam sebab. Apabila seorang muslim selamat dari sebagiannya, maka sedikit sekali kemungkinan selamat dari yang lainnya. Sebab-sebab ini sebagiannya ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.

Di antara sebab-sebab itu adalah.

1). Hilangnya keikhlasan.
2). Lemahnya ilmu syar’i.
3). Ketergantungan hati kepada dunia dan melupakan akhirat.
4). Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak.
5). Hidup di tengah masyarakat yang rusak.
6). Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dan cita-cita duniawi.
7). Melakukan dosa dan maksiyat serta memakan yang haram.
8). Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah).
9). Lemahnya iman.
10). Menyendiri (tidak mau berjama’ah).
11). Lemahnya pendidikan. [2]

Futur adalah penyakit yang sangat ganas, namun tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan Dia pun menurunkan obatnya. Akan mengetahuinya orang-orang yang mau mengetahuinya, dan tidak akan mengetahuinya orang-orang yang enggan mengetahuinya.

Di antara obat penyakit futur adalah.

1). Memperbaharui keimanan.
Yaitu dengan mentauhidkan Allah dan memohon kepada-Nya agar ditambah keimanan, serta memperbanyak ibadah, menjaga shalat wajib yang lima waktu dengan berjama’ah, mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib, melakukan shalat Tahajjud dan Witir. Begitu juga dengan bersedekah, silaturahmi, birrul walidain, dan selainnya dari amal-amal ketaatan.
2). Merasa selalu diawasi Allah Ta’ala dan banyak berdzikir kepada-Nya.
3). Ikhlas dan takwa.
4). Mensucikan hati (dari kotoran syirik, bid’ah dan maksiyat).
5). Menuntut ilmu, tekun menghadiri pelajaran, majelis taklim, muhadharah ilmiyyah, dan daurah-daurah syar’iyyah.
6). Mengatur waktu dan mengintrospeksi diri.
7). Mencari teman yang baik (shalih).
8). Memperbanyak mengingat kematian dan takut terhadap suul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).
9). Sabar dan belajar untuk sabar.
10). Berdo’a dan memohon pertologan Allah. [3]

PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH PUTUS ASA DALAM MENUNTUT ILMU DAN WASPADA TERHADAP BOSAN

Sebab, bosan adalah penyakit yang mematikan, membunuh cita-cita seseorang sebesar sifat bosan yang ada pada dirinya. Setiap kali orang itu menyerah terhadap kebosanan, maka ilmunya akan semakin berkurang. Terkadang sebagian kita berkata dengan tingkah lakunya, bahkan dengan lisannya, “Saya telah pergi ke banyak majelis ilmu, namun saya tidak bisa mengambil manfaat kecuali sedikit.”

Ingatlah wahai saudaraku, kehadiran Anda dalam majelis ilmu cukup membuat Anda mendapatkan pahala. Bagaimana jika Anda mengumpulkan antara pahala dan manfaat? Oleh karena itu, janganlah putus asa. Ketahuilah, ada beberapa orang yang jika saya ceritakan kisah mereka, maka Anda akan terheran-heran. Di antaranya, pengarang kitab Dzail Thabaqaat al-Hanabilah. Ketika menulis biografi, ia menyebutkan banyak cerita unik beberapa orang ketika mereka menuntut ilmu.

‘Abdurrahman bin an-Nafis -salah seorang ulama madzhab Hanbali- dulunya adalah seorang penyanyi. Ia mempunyai suara yang bagus, lalu ia bertaubat dari kemunkaran ini. Ia pun menuntut ilmu dan ia menghafal kitab al-Haraqi, salah satu kitab madzhab Hanbali yang terkenal. Lihatlah bagaimana keadaannya semula. Ketika ia jujur dalam taubatnya, apa yang ia dapatkan?

Demikian pula dengan ‘Abdullah bin Abil Hasan al-Jubba’i. Dahulunya ia seorang Nashrani. Kelurganya juga Nashrani bahkan ayahnya pendeta orang-orang Nashrani sangat mengagungkan mereka. Akhirnya ia masuk Islam, menghafal Al-Qur-an dan menuntut ilmu. Sebagian orang yang sempat melihatnya berkata, “Ia mempunyai pengaruh dan kemuliaan di kota Baghdad.”

Demikian juga dengan Nashiruddin Ahmad bin ‘Abdis Salam. Dahulu ia adalah seorang penyamun (perampok). Ia menceritakan tentang kisah taubatnya dirinya: Suatu hari ketika tengah menghadang orang yang lewat, ia duduk di bawah pohon kurma atau di bawah pagar kurma. Lalu melihat burung berpindah dari pohon kurma dengan teratur. Ia merasa heran lalu memanjat ke salah satu pohon kurma itu. Ia melihat ular yang sudah buta dan burung tersebut melemparkan makanan untuknya. Ia merasa heran dengan apa yang dilihat, lalu ia pun taubat dari dosanya. Kemudian ia menuntut ilmu dan banyak mendengar dari para ulama. Banyak juga dari mereka yang mendengar pelajarannya.

Inilah sosok-sosok yang dahulunya adalah seorang penyamun, penyanyi dan ada pula yang Nashrani. Walau demikian, mereka menjadi pemuka ulama, sosok mereka diacungi jempol dan amal mereka disebut-sebut setelah mereka meninggal.

Jangan putus asa, berusahalah dengan sungguh-sungguh, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah. Walaupun Anda pada hari ini belum mendapatkan ilmu, maka curahkanlah terus usahamu di hari kedua, ketiga, keempat,.... setahun, dua tahun, dan seterusnya...[4]

Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu syar’i. Menuntut ilmu syar’i tidak bisa kilat atau dikursuskan dalam waktu singkat. Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan kepada Allah agar tetap istiqamah dalam kebenaran.

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
www.almanhaj.or.id

Minggu, 24 Oktober 2010

Menggapai Ketenangan Hati dengan Mengingat Allah

Seiring dengan makin jauhnya zaman dari masa kenabian shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka semakin banyak pula kesesatan dan bid’ah yang tersebar di tengah kaum muslimin[1], sehingga indahnya sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebenaran makin asing dalam pandangan mereka. Bahkan lebih dari itu, mereka menganggap perbuatan-perbuatan bid’ah yang telah tersebar sebagai kebenaran yang tidak boleh ditinggalkan, dan sebaliknya jika ada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dihidupkan dan diamalkan kembali, mereka akan mengingkarinya dan memandangnya sebagai perbuatan buruk.

Sahabat yang mulia, Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan bermunculan (di akhir jaman) sehingga kebenaran (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak lagi terlihat kecuali (sangat sedikit) seperti cahaya yang (tampak) dari celah kedua batu (yang sempit) ini. Demi Allah, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan tersebar (di tengah kaum muslimin), sampai-sampai jika sebagian dari perbuatan bid’ah tersebut ditinggalkan, orang-orang akan mengatakan: sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah ditinggalkan.”[2]

Keadaan ini semakin diperparah kerusakannya dengan keberadaan para tokoh penyeru bid’ah dan kesesatan, yang untuk mempromosikan dagangan bid’ah, mereka tidak segan-segan memberikan iming-iming janji keutamaan dan pahala besar bagi orang-orang yang mengamalkan ajaran bid’ah tersebut.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau pada saat ini tidak sedikit kaum muslimin yang terpengaruh dengan propaganda tersebut, sehingga banyak di antara mereka yang lebih giat dan semangat mengamalkan berbagai bentuk zikir, wirid maupun shalawat bid’ah yang diajarkan para tokoh tersebut daripada mempelajari dan mengerjakan amalan yang bersumber dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiallahu ‘anhum.

Tentu saja ini termasuk tipu daya setan untuk memalingkan manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lurus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (Qs. al-An’am: 112).

Bahkan, setan berusaha menghiasi perbuatan-perbuatan bid’ah dan sesat tersebut sehingga terlihat indah dan baik di mata manusia, dengan mengesankan bahwa dengan mengerjakan amalan bid’ah tersebut hati menjadi tenang dan semua kesusahan yang dihadapi akan teratasi (??!!). Pernyataan-pernyataan seperti ini sangat sering terdengar dari para pengikut ajaran-ajaran bid’ah tersebut, sebagai bukti kuatnya cengkraman tipu daya setan dalam diri mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (Qs. Faathir:8).

Sumber ketenangan dan penghilang kesusahan yang hakiki


Setiap orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib meyakini, bahwa sumber ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang hakiki adalah dengan berzikir kepada kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, membaca al-Qur’an, berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha Indah, dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Qs. ar-Ra’du: 28).

Artinya dengan berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan[3].

Bahkan, tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [4].

Salah seorang ulama salaf berkata, “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini.” maka ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?” Ulama ini menjawab, “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.”[5]

Inilah makna ucapan yang masyhur dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah U merahmatinya –, “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti.”[6]

Makna “surga di dunia” dalam ucapan beliau ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma’rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan cara baik dan benar) serta selalu berzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan (kecintaan dan keridhaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya yang sekaligus merupakan qurratul ‘ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala [7].

Demikian pula jalan keluar dan penyelesaian terbaik dari semua masalah yang di hadapi seorang manusia adalah dengan bertakwa kepada Allah U, sebagaimana dalam firman-Nya,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. ath-Thalaaq: 2-3).

Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah, serta menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.[8]

Dalam ayat berikutnya Allah berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4).

Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya).[9]

Adapun semua bentuk zikir, wirid maupun shalawat yang tidak bersumber dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun banyak tersebar di masyarakat muslim, maka semua itu adalah amalan buruk dan tidak mungkin akan mendatangkan ketenangan yang hakiki bagi hati dan jiwa manusia, apalagi menjadi sumber penghilang kesusahan mereka. Karena, semua perbuatan tersebut termasuk bid’ah[10] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka.”[11]

Hanya amalan ibadah yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, yang dengan itulah hati dan jiwa manusia akan merasakan ketenangan dan ketentraman.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

“Sungguh, Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur-an) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Ali ‘Imraan: 164).

Makna firman-Nya “menyucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala).[12]

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Yuunus: 57).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perumpaan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beliau bawa seperti hujan baik yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan dari langit, karena hujan yang turun akan menghidupkan dan menyegarkan tanah yang kering, sebagaimana petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghidupkan dan menentramkan hati manusia. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…“[13]

Ketenangan batin yang palsu


Kalau ada yang berkata, “Realitanya di lapangan banyak kita dapati orang-orang yang mengaku merasakan ketenangan dan ketentraman batin (?) setelah mengamalkan zikir-zikir, wirid-wirid dan shalawat-shalawat bid’ah lainnya.”

Jawabannya: Kenyataan tersebut di atas tidak semua bisa diingkari, meskipun tidak semua juga bisa dibenarkan, karena tidak sedikit kebohongan yang dilakukan oleh para penggemar zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut untuk melariskan dagangan bid’ah mereka.

Kalaupun pada kenyataannya ada yang benar-benar merasakan hal tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah ketenangan batin yang palsu dan semu, karena berasal dari tipu daya setan dan tidak bersumber dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan, ini termasuk perangkap setan dengan menghiasi amalan buruk agar telihat indah di mata manusia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Faathir: 8).

Artinya: setan menghiasi perbuatan mereka yang buruk dan rusak, serta mengesankannya baik dalam pandangan mata mereka.[1]

Dalam ayat lain Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia).” (Qs. al-An’aam: 112).

Artinya: para setan menghiasi amalan-amalan buruk bagi manusia untuk menipu dan memperdaya mereka.[2]

Demikianlah gambaran ketenangan batin palsu yang dirasakan oleh orang-orang yang mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah, yang pada hakikatnya bukan ketenangan batin, tapi merupakan tipu daya setan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan mengesankan pada mereka bahwa perbuatan-perbuatan tersebut baik dan mendatangkan ketentraman batin.

Bahkan, sebagian mereka mengaku merasakan kekhusyuan hati yang mendalam ketika membaca zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut melebihi apa yang mereka rasakan ketika membaca dan mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid yang bersumber dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Padahal, semua ini justru merupakan bukti nyata kuatnya kedudukan dan tipu daya setan bersarang dalam diri mereka. Karena, bagaimana mungkin setan akan membiarkan manusia merasakan ketenangan iman dan tidak membisikkan was-was dalam hatinya?

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membuat perumpaan hal ini[3] dengan seorang pencuri yang ingin mengambil harta orang. Manakah yang akan selalu diintai dan didatangi oleh pencuri tersebut: rumah yang berisi harta dan perhiasan yang melimpah atau rumah yang kosong melompong bahkan telah rusak?

Jawabnya: jelas rumah pertama yang akan ditujunya, karena rumah itulah yang bisa dicuri harta bendanya. Adapun rumah yang pertama, maka akan “aman” dari gangguannya karena tidak ada hartanya, bahkan mungkin rumah tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan tempat tinggal dan sarangnya.

Demikinlah keadaan hati manusia, hati yang dipenuhi tauhid dan keimanan yang kokoh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena selalu mengamalkan petunjuk-Nya, akan selalu diintai dan digoda setan untuk dicuri keimanannya, sebagaiamana rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan didatangi pencuri.

Oleh karena itu, dalam sebuah hadits shahih, ketika salah seorang sahabat radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membisikkan (dalam) diriku dengan sesuatu (yang buruk dari godaan setan), yang sungguh jika aku jatuh dari langit (ke bumi) lebih aku sukai dari pada mengucapkan/melakukan keburukan tersebut.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan menjadi was-was (bisikan dalam jiwa).”[4]

Dalam riwayat lain yang semakna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah (tanda) kemurnian iman.”[5]

Dalam memahami hadits yang mulia ini ada dua pendapat dari para ulama:

- Penolakan dan kebencian orang tersebut terhadap keburukan yang dibisikkan oleh setan itulah tanda kemurnian iman dalam hatinya.

- Adanya godaan dan bisikkan setan dalam jiwa manusia itulah tanda kemurnian iman, karena setan ingin merusak iman orang tersebut dengan godaannya.[6]

Adapun hati yang rusak dan kosong dari keimanan karena jauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hati yang gelap ini terkesan “tenang” dan “aman” dari godaan setan, karena hati ini telah dikuasai oleh setan, dan tidak mungkin “pencuri akan mengganggu dan merampok di sarangnya sendiri”.

Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, ketika ada yang mengatakan kepada beliau, “Sesungguhnya, orang-orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu bisikan-bisikan (setan) dalam shalat mereka.” Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma menjawab, “Apa yang dapat dikerjakan oleh setan pada hati yang telah hancur berantakan?”[7]

Nasehat dan penutup


Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kaum muslimin untuk meyakini indahnya memahami dan mengamalkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang hanya dengan itulah seorang hamba bisa meraih kebahagiaan dan ketenangan jiwa yang hakiki dalam kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[8] hidup bagimu.” (Qs. al-Anfaal: 24).

Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya – berkata, “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat (indah) hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang bahagia dan indah)… Maka, kehidupan baik (bahagia) yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin.”[9]

Sebagai penutup, akan kami kutip nasihat Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu yang berbunyi, “Wahai saudarakau sesama muslim, waspada dan hindarilah (semua) bentuk zikir dan wirid bid’ah yang akan menjerumuskanmu ke dalam jurang syirik (menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Berkomitmenlah dengan zikir (wirid) yang bersumber dari (petunjuk) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berbicara bukan dengan landasan hawa nafsu, (melainkan dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala). Dengan mengikuti (petunjuk) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, (kita akan meraih) hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan keselamatan (di dunia dan akhirat). (Sebaliknya) dengan menyelisihi (petunjuk) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadikan amal perbuatan kita tertolak (tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan (dalam agama Islam) yang tidak sesuai dengan petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HSR. Muslim)[10].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 23 Syawwal 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

Artikel www.muslim.or.id

Rabu, 20 Oktober 2010

Beriman Kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir Baik dan Buruk

Oleh
Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan


Sesungguhnynya Ahlus Sunnah wal Jama'ah berjalan di atas prinsip-prinsip yang jelas dan kokoh baik dalam itiqad, amal maupun perilakunya. Seluruh prinsip-prinsip yang agung ini bersumber pada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dan apa-apa yang dipegang oleh para pendahulu umat dari kalangan sahabat, tabi'in dan para pengikut mereka yang setia.

Prinsip-Prinsip Tersebut Teringkas Dalam Butir-Butir Berikut.

Prinsip Pertama.
BERIMAN KEPADA ALLAH, PARA MALAIKATNYA, KITAB-KITABNYA, RASUL-RASUL-NYA, HARI AKHIR DAN TAQDIR BAIK DAN BURUK

[1]. Iman Kepada Allah
Beriman kepada Allah artinya berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beriti'qad dan beramal dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluuhiyyah dan tauhid al-asmaa wa -ash-shifaat. Adapun tauhid rububiyyah adalah menatauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan ; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.

Tauhid uluuhiyyah artinya mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila memang hal itu disyari'atkan oleh-Nya seperti berdo'a, takut, rojaa' (harap), cinta, dzabh (penyembelihan), nadzr (janji), isti'aanah (minta pertolongan), al-istighotsah (minta bantuan), al-isti'adzah (meminta perlindungan), shalat, shaum, haji, berinfaq di jalan Allah dan segala apa saja yang disyari'atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya.

Sedangkan makna tauhid al-asma wash-shifaat adalah menetapkan apa-apa yang Allah dan Rasuln-Nya telah tetapkan atas diri-Nya baik itu berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah dan mensucikan-Nya dari segala 'aib dan kekurangan sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ini kita yakini tanpa melakukan tamtstil (perumpamaan), tanpa tasybiih (penyerupaan), tahrif (penyelewengan), ta'thil (penafian), dan tanpa takwil ; seperti difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Asy-Syuro : 11]

Dan firman Allah pula.

"Artinya : Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo'alah kamu dengannya". [Al-A'raf : 180].

[2]. Beriman Kepada Para Malaikat-Nya
Yakni membenarkan adanya para malaikat dan bahwasanya mereka itu adalah mahluk dari sekian banyak mahluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah mencitakan malaikat dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan perintah-perintah-Nya di dunia ini, sebagaimana difirmankan Allah.

"Artinya : ....Bahkan malaikat-malaikat itu adalah mahluk yang dumuliakan, mereka tidak mendahulu-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya". [Al-Anbiyaa : 26-27].

"Artinya : Allahlah yang menjadikan para malaikat sebagai utusan yang memiliki sayap dua, tiga dan empat ; Allah menambah para mahluk-Nya apa-apa yang Dia kehendaki". [Faathir : 1]

[3]. Iman Kepada Kitab-kitab-Nya
Yakni membenarkan adanya Kitab-kitab Allah beserta segala kandungannya baik yang berupa hidayah (petunjuk) dan cahaya serta mengimani bahwasanya yang menurunkan kitab-kitab itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Dan bahwasanya yang paling agung diantara sekian banyak kitab-kitab itu adalah tiga kitab yaitu Taurat, Injil dan Al-Qur'an dan di antara ketiga kitab agung tersebut ada yang teragung yakni Al-Qur'an yang merupakan mu'jizat yang agung. Allah berfirman.

"Artinya : Katakanlah (Hai Muhammad) : 'sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya walaupun sesama mereka saling bahu membahu". [Al-isra : 88]

Dan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah mengimani bahwa Al-Qur'an itu adalah kalam (firman) Allah ; dan dia bukanlah mahluq baik huruf maupun artinya. Berbeda dengan pendapat golongan Jahmiyah dan Mu'tazilah, mereka mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah mahluk baik huruf maupun maknanya. Berbeda pula dengan pendapat Asyaa'irah dan yang menyerupai mereka, yang mengatakan bahwa kalam (firman) Allah hanyalah artinya saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah mahluk. Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kedua pendapat tersebut adalah bathil berdasarkan firman Allah.

"Artinya : Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar Kalam Allah (Al-Qur'an)". [At-Taubah : 6]

"Artinya : Mereka itu ingin merubah Kalam Allah". [Al-Fath : 15]

[4]. Iman Kepada Para Rasul
Yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang Allah sebutkan nama mereka maupun yang tidak ; dari yang pertama sampai yang terkahir, dan penutup para nabi tersebut adalah nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Artinya pula, beriman kepada para rasul seluruhnya dan beriman kepada Nabi kita secara terperinci serta mengimani bahwasanya beliau adalah penutup para nabi dan rasul dan tidak ada nabi sesudahnya ; maka barangsiapa yang keimanannya kepada para rasul tidak demikian berarti dia telah kafir. Termasuk pula beriman kepada para rasul adalah tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka dan harus berbeda dengan kaum Yahudi dan Nashara yang berlebih-lebihan terhadap para rasul mereka sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para rasul itu seperti memperlakukan terhadap Tuhanya (Allah) sebagaimana yang difirmankan Allah.

"Artinya : Dan orang-orang Yahudi berkata : 'Uzair itu anak Allah ; dan orang-orang Nasharani berkata :'Isa Al-Masih itu anak Allah...". [At-Taubah : 30]

Sedang orang-orang sufi dan para ahli filsafat telah bertindak sebaliknya. Mereka telah meerendahkan dan menghinakan hak para rasul dan lebih mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kepada seluruh rasul tersebut. Orang-orang Yahudi telah -kafir terhadap Nabi Isa dan Muhammad 'alaihima shalatu wa sallam ; sedangkan orang-orang Nashara telah kafir kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan orang-orang yang mengimani sebagian- mengingkari sebagian (dari para rasul Allah), maka dia telah mengingkari dengan seluruh rasul, Allah telah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang kafur kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan bermaksud memperbedakan antara (keimana kepada) Allah dan Rasul-Nya, dengan mengatakan : Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir kepada sebagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan diantara yang demikian (iman dan kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya, kami telah menyediakan untuk mereka siksa yang menghinakan". [An-Nisaa : 150-151].

Dan Allah juga berfirman.

"Artinya : Kami tidak mebeda-bedakan satu diantara Rasul-rasul-Nya ....".[Al-Baqarah : 285]

[5]. Iman Kepada Hari Akhirat
Yakni membenarkan apa-apa yang akan terjadi setelah kematian dari hal-hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik tentang adzab dan ni'mat kubur, hari kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangnya segala amal perbuatn dan pemberian buku laporan amal dengan tangan kanan atau kiri, tentang jembatan (sirat), serta syurga dan neraka. Disamping itu keimanan untuk bersiap sedia dengan amalan-amalan sholeh dan meninggalkan amalan sayyi-aat (jahat) serta bertaubat dari padanya.

Dan sungguh telah mengingkari adanya hari akhir orang-orang musyrik dan kaum dahriyyun, sedang orang-orang Yahudi dan Nashara tidak mengimani hal ini dengan keimanan yan benar sesuai dengan tuntutan, walau mereka beriman akan adanya hari akhir. Firman Allah.

"Artinya : Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata : 'Sekali-kali tidaklah masuk syurga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah angan-angan mereka ......". [Al-Baqarah : 111].

"Artinya : Dan mereka berkata : Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya dalam beberapa hari saja". [Al-Baqarah : 80].

[6]. Iman Kepada Taqdir.
Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya dalam lauhul mahfudz ; dan bahwasanya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, ta'at, ma'shiyat, itu telah dikehendaki, ditentukan dan diciptakan-Nya ; dan bahwasanya Allah itu mencintai keta'atan dan membenci kemashiyatan.

Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang mengantar mereka pada keta'atan atau ma'shiyat, akan tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan pendapat golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan sebaliknya golongan Qodariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptkan pekerjaan dirinya, kemauan dan kehendak hamba itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah.

Allah benar-benar telah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya.

"Artinya : Dan kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya". [At-Takwir : 29]

Dengan ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi setiap hamba sebagai banyahan terhadap Jabariyah yang ekstrim, bahkan menjadikannya sesuai dengan kehendak Allah, hal ini merupakan bantahan atas golongan Qodariyah. Dan beriman kepada taqdir dapat menimbulkan sikap sabar sewaktu seorang hamba menghadapi cobaan dan menjauhkannya dari segala perbuatan dosa dan hal-hal yang tidak terpuji. bahkan dapat mendorong orang tersebut untuk giat bekerja dan menjauhkan dirinya dari sikap lemah, takut dan malas.

[Disalin dari buku Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah oleh Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan Dar Al-Gasem-Riyadh, penerjemah Abu Aasia]
www.almanhaj.or.id

Menjaga Kebaikan

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Allah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” [Ar-Ra’du : 11]

Dan Allah berfirman.
“Artinya : Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali” [An-Nahl : 92]

Dan Allah berfirman.
“Artinya : Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras” [Al-Hadid : 16]

Dan Allah berfirman.
“Artinya : Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya” [Al-Hadid : 27]

Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Ya Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakannya lagi” [Muttafaqun Alaihi]

Penjelasan
Berkata Imam Nawawi (semoga Allah merahmati beliau) : “Bab menjaga kebaikan”. Yaitu bahwasanya seseorang jika terbiasa mengerjakan kebaikan maka sepatutnya mengekalkannya (menjaganya). Misalnya jika ia sudah terbiasa tidak meninggalkan hal-hal yang sunnah, yaitu shalat-shalat sunnah yang mengiringi shalat-shalat wajib, maka hendaknya ia menjaga hal itu, Dan jika ia terbiasa melaksanakan shalat malam maka hendaknya ia menjaganya. Dan jika terbiasa shalat dhuha dua rakaat maka hendaknya menjaga hal itu, segala kebaikan yang ia terbiasa mengerjakannya hendaknya ia jaga.

Dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya amalan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus. Adalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengerjakan suatu amalan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kontinyukan dan tidak merubahnya, yang demikian itu dikarenakan jika manusia sudah terbiasa berbuat dan mengamalkan kebaikan lalu meninggalkannya, sesungguhnya hal ini membuatnya membenci kebaikan, karena mundur sesudah maju adalah lebih jelek daripada tidak maju, maka kalau seandainya engkau belum mulai melakukan kebaikan, tentulah hal iti lebih ringan daripada engkau telah melakukannya lalu engkau tinggalkan, dan hal ini adalah sesuatu yang telah terbukti.

Imam Nawawi (semoga Allah merahmatinya) mengutip dalam bab ini beberapa ayat Al-Qur’an, yang kesemuanya menunjukkan bahwasanya manusia sepatutnya menjaga kebiasaan amal baiknya, diantaranya firman Allah.

“Artinya : Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali” [An-Nahl : 92]

Maknanya adalah : “Janganlah kalian seperti wanita pemintal yang memintal kain wol, lalu tatkala ia sudah memintal dan membaguskannya ia robek-robek dan menguraikannya, (janganlah seperti ini) tetapi hendaknya kalian tetap dan kontinyu terhadap apa yang telah kalian lakukan.

Diantaranya firman Allah

“Artinya : Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras” [Al-Hadid : 16]

Artinya : Bahwasanya mereka beramal dengan amal shalih tetapi berlalulah masa yang panjang maka keraslah hati-hati mereka lalu mereka tinggalkan amal-amal shalih itu, maka janganlah kalian seperti mereka..

Adapun hadits-hadits yang disebutkan oleh Imam Nawawi (diantaranya : hadits Abdullah bin Amru bin Al-Ash bawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakan lagi”

Kata-kata fulan adalah kata “kinayah” tentang seorang manusia (seorang lelaki). Sedangkan perempuan dikatakan “fulanah”, dan kata fulan dalam hadits ini bisa terjadi adalah perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan namanya kepada Abdullah bin Umar untuk menutupi keadaannya, karena maksud dari perkara itu tanpa pelakunya, dan mungkin juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan nama lelaki itu tetapi disamarkan namanya oleh Abdullah bin Amru.

Dari dua kemungkinan diatas, inti dan pokoknya adalah amal. Dan perkaranya adalah seorang lelaki, dahulunya mengerjakan shalat malam, lalu setelah itu tidak menjaganya (mengekalkannya), padahal mengerjakan shalat malam hukum pokoknya adalah sunnah, kalaulah manusia tidak melakukannya maka tidaklah ia dicela, dan tidak dikatakan kepadanya : “Mengapa kamu tidak mengerjakan shalat malam?”. Karena shalat malam adalah sunnah, akan tetapi keadaannya yang mana ia mengerjakan shalat malam lalu tidak mengerjakannya, inilah keadaan yang menyebabkan ia dicela. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdaa : “Janganlah kamu seperti si fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakannya lagi”.

Hal yang lain, dan ini merupakan yang terpenting, hendaknya seseorang memulai untuk menuntut ilmu syar’i, tatkala Allah membukakan baginya kenikmatan ia tinggalkan amalnya (menuntut ilmu syar’i), maka sesungguhnya hal ini adalah kufur terhadap nikmat yang Allah berikan padanya. Maka jika engkau memulai menuntut ilmu teruslah menuntut ilmu kecuali sesuatu yang sangat darurat menyibukanmu, dan kalau tidak ada penghalang maka teruslah menuntut ilmu karena menuntut ilmu hukumnya fardu kifayah, setiap orang yang menuntut ilmu sesungguhnya Allah akan membalas amalnya itu dengan pahala fardu (wajib).

Dan pahala fardhu adalah lebih besar dari pahala nafilah (sunnah), sebagaimana tersebut dalam hadits shahih bahwasanya Allah berfirman.

“Artinya : Tiadalah hambaku mendekatkan kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku sukai dari apa yang aku wajibkan kepadanya” [Hadits Riwayat Bukhari 6502]

Menuntut ilmu adalah fardhu kifayah jika seseorang menegakkannya maka berarti ia mewakili umat dalam melaksanakannya.

Dan terkadang menuntut ilmu itu hukumnya fardhu ain jika seorang manusia membutuhkan ilmu itu untuk dirinya, sebagaimana ia berkeinginan untuk shalat ia harus belajar hal-hal yang berhubungan dengan hukum shalat. Dan barangsiapa yang mempunyai harta ia harus mempelajari hukum-hukum zakat, penjual dan pembeli harus memperlajari hukum-hukum jual beli, dan barangsiapa yang ingin menunaikan haji maka harus mempelajari hukum-hukum haji, ini hukumnya fardhu ain.

Adapun ilmu-ilmu yang lain, mempelajarinya adalah fardhu kifayah, jika seseorang memulai menuntut ilmu maka jangalah ia kembali (mundur), tetapi hendaknya ia terus menuntut ilmu kecuali jika ada suatu hal penting menghalanginya dari menuntut ilmu, hal ini lain lagi keadaannya. Oleh karena itu orang-orang munafik adalah mereka yang jika memulai suatu amal, mereka tinggalkan amal itu.

Dalam perang Uhud sekitar seribu orang keluar untuk berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sepertiganya adalah orang-orang munafik. Mereka tidak meneruskan perjalanan dan berkata.

“Artinya : Sekiranya kami mengetahui terjadi peperangan tentulah kami mengikuti kamu” [Ali-Imran : 167]

Allah berfirman.
“Artinya : Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari keimanan” [Ali-Imran 167]

Sepatutnya bagi seorang muslim jika Allah memberikan karunia kepadanya dengan sesuatu yang mana ia beribadah kepada Allah dengannya dengan ibadah yang khusus seperti shalat, atau ibadah-ibadah mutaadiyah (yang bermanfaat kepada selainnya) seperti menuntut ilmu hendaknya ia tidak mundur dan tidak terlambat, hendaknya ia terus menerus untuk hal itu, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dari sebagian petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sabdanya.

“Artinya : Janganlah kamu seperti fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak kerjakan lagi”

Dan Allah-lah Maha Pemberi Petunjuk

[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 9 Th. II 2004M/1425H. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya Jl. Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]
www.almanhaj.or.id

Majalah Porno dan Bahayanya

Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta



Segala puji hanya milik Allah semata, dam sholawat dan salam atas nabi kita Muhammad dan atas keluarganya dan para sahabanya, dan selanjutnya :

Sesungguhnya kaum muslimin dewasa ini telah ditimpa oleh cobaan yang besar. Musibah-musibah telah mengepung mereka dari segala penjuru. Kebanyakan kaum muslimin pun telah terjerumus di dalammya. Kemungkaran di mana-mana dan manusia pun telah terang-terangan berbuat maksiat tanpa ada rasa takut dan malu. Sebabnya adalah : Sikap remeh terhadap agama Allah dan tidak adanya pengagungan terhadap hukum dan ajaran-Nya serta lalainya kebanyakan dari orang-orang yang shalih untuk menegakkan syari'at Allah dan amar makruf dan nahi mungkar. Sesungguhnya tiada solusi bagi kaum muslimin dari bencana dan musibah ini kecuali dengan taubat yang benar kepada Allah Ta'ala dan mengagungkan segala perintah dan larangannya. Mencegah tangan-tangan yang jahil dan memberikan sanksi kepada mereka.

Sesungguhnya musibah yang terbesar yang tampak pada dewasa ini adalah apa yang dilakukan oleh para pedagang kerusakan dan agen-agen kekejian serta penyebar kemungkaran di kalangan kaum mukminin. Dengan menerbitkan majalah-majalah keji yang menentang Allah dan Rasul-Nya pada perintah dan larangan-Nya. Majalah-majalah ini mencantumkan di selang halaman-halamannya gambar-gambar telanjang dan wajah-wajah yang menggoda yang membangkitkan nafsu syahwat, dan mengajak kepada kerusakkan. Telah dibuktikan dengan penelitian yang dalam bahwa majalah-majalah ini mencakup metode-metode yang banyak dalam mengiklankan kejahatan dan maksiat serta membangkitkan nafsu syhwat dan pelampiasannya pada apa-apa yang yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.

Seperti yang tercantum dibawah ini :
[1]. Gambar-gambar seksi di cover majalah dan di dalamnya.
[2]. Wanita-wanita dengan seluruh perhiasaannya yang menggoda dan menggairahkan.
[3]. Ucapan-ucapan yang kotor, untaian puisi dan kalimat yang jauh dari etika malu dan kemuliaan yang menghancurkan akhlak dan merusak umat.
[4]. Cerita-cerita roman yang keji, dan berita-berita artis dan aktor, penari laki-laki dan wanita dari kalangan orang-orang yang suka berbuat maksiat.
[5]. Dalam majalah-majalah ini terdapat seruan yang terang-terangan untuk mempertontonkan kecantikan kepada orang lain, bersolek dan bercampurbaurnya antara laki-laki dan wanita serta pengoyakkan hijab.
[6]. Pameran busana-busana seksi yang menutup tapi hakikatnya telanjang kepada kaum wanita mukminin untuk mengajak mereka kepada telanjang dan buka-bukaan serta menyerupai para pelacur dan pelaku maksiat.
[7]. Dalam majalah ini terdapat rangkulan, pelukan dan ciuman antara laki-laki dan wanita.
[8]. Di dalam majalah-majalah ini terdapat perkataan-perkataan yang bergejolak yang membangkitkan nafsu seksual yang mati pada jiwa para pemuda dan pemudi, sehingga mendorong mereka dengan segala kekuatan untuk menempuh jalan kesesatan, melenceng dan jatuh di dalam perzinahan, perbuatan dosa, pacaran dan cinta yang menggebu-gebu.

Entah berapa majalah-majalah yang beracun ini disenangi oleh para pemuda dan pemudi, sehingga mereka binasa karenanya dan keluar dari batas-batas kefitrahan dan agama.

Dan sungguh majalah ini telah merubah hukum-hukum agama dan dasar-dasar kefitrahan yang lurus pada pemikiran kebanyakan manusia disebabkan oleh tulisan-tulisan dan pemikiran-pemikiran yang disebarkannya.

Kebanyakan manusia telah berani melakukan maksiat, dosa-dosa besar (zina), dan melampaui hukum-hukum Allah disebabkan oleh kecenderungan kepada majalah-majalah ini dan penguasaannya terhadap akal dan pemikiran mereka.

Walhasil : Sesungguhnya majalah-majalah ini pokok dasarnya adalah perdagangan terhadap tubuh wanita yang dibantu oleh syeitan dengan segala faktor yang memikat dan segala sarana yang menggoda dengan tujuan menyebarkan ajaran ibahiyah (menghalalkan seluruh yang haram), merobek-robek kehormatan, dan merusak para wanita kaum mukminin, dan merubah masyarakat Islami menjadi perkumpulan binatang (kumpul kebo) yang tidak mengenal ma'ruf (kebaikan) dan tidak mengingkari kemungkaran, dan tidak menegakkan syari'at Allah yang suci sedikitpun, bahkan kepala pun tidak diangkat terhadap ajaran ini. Seperti kondisi kebanyakan masyarakat, bahkan perkaranya sampai kepada bersenang-senang dua jenis insan (laki-laki dan wanita) dengan cara telanjang bulat, yang mereka namakan "kota telanjang", semoga Allah melindungi kita dari fitrah yang terbalik dan keterjerumusan di dalam apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya.

Inilah, dan berdasarkan kepada yang telah disebutkan di atas, tentang realita majalah-majalah ini dan dampak-dampaknya serta tujuannya yang keji dan karena banyaknya berita yang datang ke meja Lembaga ini dari kalangan orang-orang yang mempunyai ghirah (kecemburuan) terhadap agama dari kalangan ulama dan penuntut ilmu serta seluruh kaum muslimin tentang bersebarnya penayangan majalah-majalah ini di toko-toko buku dan supermarkat serta tempat-tempat perdagangan, maka sesungguhnya Lembaga Tetap Kajian Ilmiyah dan Fatwa melihat sebagai berikut.

Pertama.
Diharamkan menerbitkan majalah-majalah hina seperti ini baik majalah-majalah umum atau khusus dengan pakaian-pakaian wanita. Barang siapa yang melakukan itu, maka dia mendapatkan bagian dari perkataan Allah Ta'ala.

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat". [An Nur : 19].

Kedua.
Diharamkan untuk bekerja di instansi majalah-majalah ini dari segi manapun, baik tugasnya di administrasi atau redaksi atau percetakkan atau distributor. Karena perbuatan itu termasuk ke dalam menolong dalam perbuatan dosa dan kebatilan serta kerusakan. Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : Dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya". [Al Maidah : 2]

Ketiga.
Diharamkan mengiklankan majalah-majalah ini dan memasarkannya dengan sarana apapun, karena hal itu merupakan indikasi-indikasi terhadap kejahatan dan dakwah kepadanya. Sungguh telah tetap dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda :

"Artinya : Barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa dikurangi dosanya dari dosa-dosa orang yang mengikutinya itu sedikitpun " [Hadits Riwayat Muslim di kitabnya Shohih Muslim]

Keempat.
Diharamkan menjual majalah-majalah ini dan penghasilan yang didapatkan dari majalah ini adalah penghasilan yang haram. Barang siapa yang pernah melakukan hal ini maka haruslah dia bertaubat kepada Allah Ta'ala dan keluar dari penghasilan yang keji ini.

Kelima.
Diharamkan kepada kaum muslimin untuk membeli majalah-majalah ini dan menyimpannya disebabkan karena di dalamnya terdapat dosa dan kemungkaran. Sebagaimana membeli majalah itu adalah memperkuat pelarisan majalah-majalah ini dan mengangkat pendapatan mereka dan mensuport mereka untuk memproduksi dan memasarkannya. Seorang muslim wajib waspada terhadap keluarganya baik laki-laki atau wanita untuk mendapatkan majalah-majalah ini demi menjaga mereka dari bencana ini dan terpengaruh dengannya. Seorang muslim harus mengetahui sesungguhnya dia adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya pada hari kiamat.

Keenam.
Seorang muslim wajib memejamkan matanya dari melihat majalah-majalah yang merusak itu demi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan demi menjauhi bencana dan tempat-tempatnya. Kepada seseorang janganlah mendakwakan terhadap dirinya terjaga dari dosa sungguh Rasulullah memberitahukan bahwa : "Sesungguhnya syeitan itu mengalir di tubuh anak adam seperti mengalirnya darah". Imam Ahmad -rahimahullah- berkata :" Entah berapakah suatu pandangan yang menimbulkan bencana di hati orang yang melihat itu". Maka barang siapa yang tergantung dengan apa yang terdapat di dalam majalah-majalah itu dari gambar-gambar dan yang lainnya telah merusak hatinya dan kehidupannya serta memalingkannya kepada hal-hal yang tidak bermanfaat baik dunia maupun akhirat. Karena, baiknya hati dan kehidupannya hanya disebabkan oleh ketergantungan dengan Allah dan mengibadahinya, lezatnya bermunajah kepadanya dan ikhlas serta penuhnya kecintaannya kepada Allah.

Ketujuh.
Barang siapa yang dipilih Allah menjadi pemimpin di negeri Islam manapun wajib memberikan nasehat kepada kaum muslimin dan menjauhkan mereka dari kerusakan dan pelakunya dan menjauhkan mereka dari segala yang membahayakan mereka di dalam agama dan dunia mereka. Di antaranya melarang majalah-majalah yang merusak ini untuk disebar dan diperjual belikan. Dan menahan kerusakannya deri mereka. Tindakan ini merupakan menolong Allah dan agama-Nya. Dan merupakan sebab kemenangan dan keberhasilan dan menguasai bumi sebagaimana firman Allah :

"Artinya : Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Seusngguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan". [Al Hajj : 40-41]

Dan segala puji bagi Allah Robb semesta alam dan sholawat dan salam atas nabi kita Muhammad dan keluarganya dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.

Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta

Ketua.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Ali Syaikh

Anggota.
Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Al Ghudaiyan.
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

[Disalin dari Keterangan Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta' [Lembaga Tetap Kajian Ilmiyah dan Fatwa] Diterjemahkan Oeh Ustadz Muhammad Elvi Syam Lc]
www.almanhaj.or.id

Sabtu, 16 Oktober 2010

Kiat Membentengi Keluarga Dari Sihir

SEKILAS TENTANG HAKIKAT SIHIR
Secara etimologis, sihir artinya sesuatu yang tersembunyi dan sangat halus penyebabnya. Sedangkan menurut istilah syariat, Abu Muhammad Al Maqdisi menjelaskan, sihir adalah azimat-azimat, mantra-mantra atau pun buhul-buhul yang bisa memberi pengaruh terhadap hati sekaligus jasad, bisa menyebabkan seseorang menjadi sakit, terbunuh, atau pun memisahkan seorang suami dari istrinya. [1]

Jadi sihir benar-benar ada, memiliki pengaruh dan hakikat yang bisa mencelakakan seseorang dengan taqdir Allah yang bersifat kauni . Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَاهُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ

"Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang bisa mereka gunakan untuk menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka (ahli sihir) itu tidak dapat memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah" [Al Baqarah : 102].

Demikian juga firman Allah yang memerintahkan kita berlindung dari kejahatan sihir :

وَ مِنْ شَر ِّ النَّفَّاثاَتِ فْي العُقَدِ

"Dan (aku berlindung kepada Allah) dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul". [Al Falaq : 4].

Seandainya sihir tidak memiliki pengaruh buruk, tentu Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan memerintahkan kita agar berlindung darinya.[2]

Sihir juga pernah menimpa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu ketika seorang Yahudi bernama Labid bin Al A’sham menyihir Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aisyah rahimahullah menceritakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُحِرَ حَتَّى كَانَ يَرَى أَنَّهُ يَأْتِي النِّسَاءَ وَلَا يَأْتِيهِنَّ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah disihir, sehingga Beliau merasa seolah-olah mendatangi istri-istrinya, padahal tidak melakukannya".[3]

Berkaitan dengan hadits ini, Al Qadhi ‘Iyadh menjelaskan: “Sihir adalah salah satu jenis penyakit diantara penyakit-penyakit lainnya yang wajar menimpa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti halnya penyakit lain yang tidak diingkari. Dan sihir ini tidak menodai nubuwah Beliau. Adapun keadaan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu, seolah-olah membayangkan melakukan sesuatu, padahal Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukannya. Hal itu tidak mengurangi kejujuran Beliau. Karena dalil dan ijma’ telah menegaskan tentang kema’shuman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari sikap tidak jujur. Terpengaruh sihir perkara yang hanya mungkin terjadi pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah duniawi yang bukan merupakan tujuan risalah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diistimewakan lantaran masalah duniawi pula. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia biasa yang bisa tertimpa penyakit seperti halnya manusia. Maka bisa saja terjadi, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dikhayalkan oleh perkara-perkara dunia yang tidak ada hakikatnya. Kemudian perkara itu (pada akhirnya) menjadi jelas sebagaimana yang terjadi pada diri Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam”.[4]

Sihir memiliki bentuk beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Di antara contohnya adalah tiwalah (sihir yang dilakukan oleh seorang istri untuk mendapatkan cinta suaminya/pelet), namimah (adu domba), al ‘athfu (pengasihan), ash sharfu (menjauhkan hati) dan sebagainya. Sebagian besar sihir ini masuk ke dalam perbuatan kufur dan syirik, kecuali sihir dengan membubuhi racun atau obat-obatan serta namimah, maka ini tidak termasuk syirik.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan: “Sihir termasuk perbuatan syirik ditinjau dari dua sisi.

Pertama : Karena dalam sihir itu terdapat unsur meminta pelayanan dan ketergantungan dari setan serta pendekatan diri kepada mereka melalui sesuatu yang mereka sukai, agar setan-setan itu memberi pelayanan yang diinginkan.
Kedua : Karena di dalam sihir terdapat unsur pengakuan (bahwa si pelaku) mengetahui ilmu ghaib dan penyetaraan diri dengan Allah dalam ilmuNya, dan adanya upaya untuk menempuh segala cara yang bisa menyampaikannya kepada hal tersebut. Ini adalah salah satu cabang dari kesyirikan dan kekufuran”.[5]

Hukum mempelajari dan melakukan sihir adalah haram dan kufur. Hukuman bagi para tukang sihir adalah dibunuh, sebagaimana yang diriwayatkan dari beberapa orang sahabat [6]. Dan sihir merupakan perbuatan setan. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ

"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (dan tidak mengerjakan sihir), tetapi setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia". [Al Baqarah : 102]

PETUNJUK NABI UNTUK MENANGKAL DAN MENGOBATI SIHIR
Seperti telah dijelaskan oleh para ulama, sihir termasuk jenis penyakit yang bisa menimpa manusia dengan izin Allah Azza wa Jalla . Tidaklah Allah Azza wa Jalla menurunkan satu penyakit melainkan Dia juga menurunkan obat penawarnya. Dan seorang muslim dilarang berobat dengan sesuatu yang diharamkan Allah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda :

مَا أنْزَلَ اللهُ دَاءً إلا أنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

"Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah akan menurunkan pula obat penawarnya".[7]

Seorang muslim dilarang pergi ke dukun untuk mengobati sihir dengan sihir yang sejenis. Karena hukum mendatangi dukun dan mempercayai mereka adalah kufur. Apatah lagi sampai meminta mereka untuk melakukan sihir demi mengusir sihir yang menimpanya, ataupun untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan jodoh anak dan sanak saudaranya, atau hubungan suami istri dan keluarga, tentang barang yang hilang, percintaan, perselisihan dan sebagainya. Hal itu merupakan perkara ghaib dan hanya Allah Azza wa Jalla saja yang mengetahui. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أتَى كَاهِنًا أوْ سَاحِرًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَدٍ

"Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang sihir, kemudian ia membenarkan (mempercayai) perkataan mereka, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad".[8]

Para dukun, paranormal, tukang sihir dan peramal itu hanya mengaku-ngaku mengetahui ilmu ghaib berdasarkan kabar yang dibawa setan yang mencuri dengar dari langit. Para dukun itu, tidak akan sampai pada maksud yang diinginkan kecuali dengan cara berkhidmah, tunduk dan taat serta menyembah tentara iblis tersebut. Ini merupakan perbuatan kufur dan syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ {212} تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ { 222} يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ

"Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta". [Asy Syu’ara`: 221-223].

Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh tunduk dan percaya kepada dugaan dan asumsi bahwa cara yang dilakukan para dukun itu sebagai pengobatan, misalnya tulisan-tulisan azimat, rajah-rajah, menuangkan cairan yang telah dibaca mantra-mantra syirik dan sebagainya. Semua itu adalah praktek perdukunan dan penipuan terhadap manusia. Barangsiapa yang rela menerima praktek-praktek tersebut tanpa menunjukkan sikap penolakannya, sungguh ia telah ikut tolong-menolong dalam perbuatan bathil dan kufur.[9]

CARA PENECGAHAN DARI SIHIR YANG DIAJARKAN RASULULLAH[10]
1- Dalam setiap keadaan senantiasa mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan bertawakkal kepadaNya, serta menjauhi perbuatan syirik dengan segala bentuknya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {99} إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ

"Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya sebagai pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah". [An Nahl : 99-100].

Ketika Menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata : “Sesungguhnya setan tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi (mengalahkan) orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya semata, yang tidak ada sekutu bagiNya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membela orang-orang mu’min yang bertawakkal kepadaNya dari setiap kejelekan setan, sehingga tidak ada celah sedikitpun bagi setan untuk mencelakakan mereka”[11]. Dan ayat-ayat semisal ini banyak terdapat di dalam Al Qur`an.

2- Melaksanakan setiap kewajiban-kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan, dan menjauhi setiap yang dilarang, serta bertaubat dari setiap perbuatan dosa dan kejelekan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu :

يَا غُلاَمُ ! إنِي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ ، احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ...

"Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu…"[12]

Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan menyatakan, makna sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (احْفَظِ اللهَ ) adalah jagalah perintah-perintahNya, larangan-laranganNya, hukum-hukumNya serta hak-hakNya. Caranya, dengan memenuhi apa-apa yang Allah dan RasulNya perintahkan berupa kewajiban-kewajiban, serta menjauhi segala perkara yang dilarang. Sedangkan makna (يَحْفَظْكَ ) ialah, barangsiapa yang menjaga perintah-perintahNya, mengerjakan setiap kewajiban dan menjauhi setiap laranganNya, niscaya Allah k akan menjaganya. Karena balasan suatu amalan, sejenis dengan amal itu sendiri. Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hamba meliputi penjagaan terhadap dirinya, anak, keluarga dan hartanya. Juga penjagaan terhadap agama dan imannya dari setiap perkara syubhat yang menyesatkan”.[13]

3. Tidak membiarkan anak-anak berkeliaran saat akan terbenamnya matahari. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Jika malam telah masuk -jika kalian berada di sore hari-, maka tahanlah anak-anak kalian. Sesungguhnya setan berkeliaran pada waktu itu. tatkala malam telah datang sejenak, maka lepaskanlah mereka". [HR Bukhari Muslim].

4- Membersihkan rumah dari salib, patung-patung dan gambar-gambar yang bernyawa serta anjing. Diriwayatkan dalam sebuah hadits, bahwa Malaikat (rahmat) tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat hal-hal di atas. Demikian juga dibersihkan dari piranti-piranti yang melalaikan, seruling dan musik.

5. Memperbanyak membaca Al Qur`an dan manjadikannya sebagai dzikir harian. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

"Janganlah menjadikan rumah-rumah kalian layaknya kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat Al Baqarah".[14]

6- Membentengi diri dengan doa-doa dan ta’awudz serta dzikir-dzikir yang disyariatkan, seperti dzikir pagi dan sore, dzikir-dzikir setelah shalat fardhu, dzikir sebelum dan sesudah bangun tidur, do’a ketika masuk dan keluar rumah, do’a ketika naik kendaraan, do’a ketika masuk dan keluar masjid, do’a ketika masuk dan keluar kamar mandi, do’a ketika melihat orang yang mandapat musibah, serta dzikir-dzikir lainnya.

Ibnul Qayyim berkata,”Sesungguhnya sihir para penyihir itu akan bekerja secara sempurna bila mengenai hati yang lemah, jiwa-jiwa yang penuh dengan syahwat yang senanantiasa bergantung kepada hal-hal rendahan. Oleh sebab itu, umumnya sihir banyak mengenai para wanita, anak-anak, orang-orang bodoh, orang-orang pedalaman, dan orang-orang yang lemah dalam berpegang teguh kepada agama, sikap tawakkal dan tauhid, serta orang-orang yang tidak memiliki bagian sama sekali dari dzikir-dzikir Ilahi, doa-doa, dan ta’awwudzaat nabawiyah.” [15]

7. Memakan tujuh butir kurma ‘ajwah setiap pagi hari. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ

"Barangsiapa yang makan tujuh butir kurma ‘ajwah pada setiap pagi, maka racun dan sihir tidak akan mampu membahayakannya pada hari itu". [16]

Dan yang lebih utama, jika kurma yang kita makan itu berasal dari kota Madinah (yakni di antara dua kampung di kota Madinah), sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim. Syaikh Abdul ’Aziz bin Baz berpendapat, seluruh jenis kurma Madinah memiliki sifat yang disebutkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini. Namun beliau juga berpendapat, bahwa perlindungan ini juga diharapkan bagi orang yang memakan tujuh butir kurma, selain kurma Madinah secara mutlak.[17]

TERAPI PENGOBATAN SETELAH TERKENA SIHIR [18]
1. Metode pertama : Mengeluarkan dan menggagalkan sihir tersebut jika diketahui tempatnya dengan cara yang dibolehkan syariat. Ini merupakan metode paling ampuh untuk mengobati orang yang terkena sihir.[19]

2. Metode kedua : Dengan membaca ruqyah-ruqyah yang disyariatkan. Para ulama telah bersepakat bolehnya menggunakan ruqyah sebagai pengobatan apabila memenuhi tiga syarat [20].

Pertama : Hendaknya ruqyah tersebut dengan menggunakan Kalamullah (ayat-ayat Al Qur`an), atau dengan Asmaul Husna atau dengan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, atau dengan doa-doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua : Ruqyah tersebut dengan menggunakan bahasa Arab, atau dengan bahasa selain Arab yang difahami maknanya.
Ketiga : Hendaknya orang yang meruqyah dan yang diruqyah meyakini, bahwa ruqyah tersebut tidak mampu menyembuhkan dengan sendirinya, tetapi dengan kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Karena ruqyah hanyalah salah satu sebab di antara sebab-sebab diperolehnya kesembuhan. Dan Allah-lah yang menyembuhkan.

Selain itu, ada hal sangat penting yang juga harus diperhatikan, bahwa ruqyah akan bekerja secara efektif bila orang yang sakit (terkena sihir) dan orang yang mengobati sama-sama memiliki keyakinan yang kuat kepada Allah Azza wa Jalla, bertawakkal kepadaNya semata, bertakwa dan mentauhidkanNya, serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Al Qur`an adalah penyembuh bagi penyakit dan rahmat bagi orang-orang beriman. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka ruqyah tersebut tidak akan berefek kepada penyakitnya, karena ruqyah itu sendiri merupakan obat mujarab yang diajarkan oleh syari’at. Namun ibarat senjata, setajam apapun ia, jika berada di tangan orang yang tidak lihai menggunakannya, maka senjata itu tidak banyak manfaatnya.[21]

Dikatakan oleh Ibnu At Tiin: “Ruqyah dengan membaca mu’awwidzat atau dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan pengobatan rohani, (akan bekerja efektif) bila di baca oleh hambaNya yang shalih; kesembuhan pun akan diperoleh dengan izin Allah Azza wa Jalla “.

Diantara bentuk pengobatan yang termasuk metode kedua ini ialah sebagai berikut:

- Membaca surat Al Fatihah, ayat kursi, dua ayat terakhir surat Al Baqarah, surat Al Ikhlash, An Naas dan Al Falaq sebanyak tiga kali atau lebih dengan mengangkat tangan, tiupkan ke kedua tangan tersebut seusai membaca ayat-ayat tadi, kemudian usapkan ke bagian tubuh yang sakit dengan tangan kanan.[23]

- Membaca ta’awwudz (doa perlindungan diri) dan ruqyah-ruqyah untuk mengobati sihir, di antaranya sebagai berikut:[24]

a. أسْألُ اللهَ العَظِيْمَ رَبَّ العَرْشِ العَظِيْمِ أنْ يَشْفِيَكَ

"Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung Pemilik ‘Arsy yang agung agar menyembuhkanmu (dibaca sebanyak tujuh kali)".[25]

b. Orang yang terkena sihir meletakkan tangannya pada bagian tubuh yang terasa sakit, kemudian membaca: (بِسْمِ الله) sebanyak tiga kali lalu membaca :

أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أجِدُ وَ أحَاذِرُ

"Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti". [26]

c. Mengusap bagian tubuh yang sakit sambil membaca doa :

اللهَُّمَ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

"Ya Allah, Rabb Pemelihara manusia, hilangkanlah penyakitku dan sembuhkanlah, Engkau-lah Yang Menyembuhkan, tiada kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.[27]

d. Membaca doa:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَ عِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ

"Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kemarahanNya, dari kejahatan hamba-hambaNya, dan dari bisikan-bisikan setan dan dari kedatangan mereka kepadaku.

3. Metode ketiga : Mengeluarkan sihir tersebut dengan melakukan pembekaman pada bagian tubuh yang terlihat bekas sihir, jika hal itu memang memungkinkan. Bila tidak memungkinkan, maka ruqyah-ruqyah di atas telah mencukupi untuk mengobati sihir.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan rahasia pembekaman di bagian yang terkena sihir ini. Bahwa sihir itu tersusun dari pengaruh ruh-ruh jahat dan adanya respon kekuatan alami yang lahir dari ruh jahat tersebut. Inilah jenis sihir yang paling kuat, terutama pada bagian tubuh yang menjadi pusat persemayaman sihir tadi. Maka pembekaman pada bagian tersebut merupakan metode pengobatan yang sangat efektif bila dilakukan sesuai dengan cara yang tepat.[29]

4. Metode keempat : Dengan menggunakan obat-obatan alami sebagaimana disebutkan Al Qur’an dan As Sunnah, dengan disertai keyakinan penuh terhadap kebenaran firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menerangkannya. Di antaranya dengan menggunakan madu, habbahtus sauda` (jinten hitam), air zam-zam, minyak zaitun dan obat-obatan lainnya yang dibenarkan syara’ sebagai obat. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ شَرْبَةِ عَسَلٍ وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ وَكَيَّةِ نَارٍ وَأَنْهَى أُمَّتِي عَنْ الْكَيِّ

"Pengobatan itu ada dalam tiga hal. (Yaitu): berbekam, minum madu dan pengobatan dengan kay (besi panas). Sedangkan aku melarang umatku menggunakan pengobatan dengan kay".[30

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ هَذِهِ الْحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا مِنْ السَّامِ قُلْتُ وَمَا السَّامُ قَالَ الْمَوْتُ

“Sesungguhnya habbah sauda’ ini merupakan obat bagi segala jenis penyakit, kecuali as saam”. Aku (‘Aisyah) bertanya,”Apakah as saam itu?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Kematian." [31]

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

ماَءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ
"Air zam-zam itu tergantung niat orang yang meminumnya". [32]

Dari Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

كُلُوا الزَّيْتَ وَادَّهِنُوا بِهِ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ

"Makanlah minyak zaitun dan minyakilah rambut kalian dengannya, karena sesungguhnya ia berasal dari pohon yang diberkahi".[33]

Demikianlah sekilas pembahasan tentang sihir berikut cara mencegah dan mengobatinya. Selayaknya bagi setiap pribadi muslim, terutama para pemimpin keluarga, untuk mengetahui hal ini dan mengajarkan kepada keluarganya. Agar anggota keluarga mampu membentengi diri dari kejahatan sihir. Selayaknya pula bagi pemimpin keluarga, untuk mengkondisikan keluarganya agar senantiasa taat kepada Allah Sang Pemelihara manusia. Membersihkan rumahnya serta menyingkirkan sejauh-jauhnya dari segala sarana yang mengundang kemaksiatan, seperti musik, majalah-majalah porno, gambar makhluk hidup dan sebagainya. Agar keluarganya mendapat curahan rahmat dan perlindungan dari Allah, terjauhkan dari gangguan iblis dan bala tentaranya. Wallahu waliyyut taufiiq. (Hanin Ummu Abdillah)

Maraji :
1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Zaadul Ma’ad, tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth, Mu’assasah Ar Risaalah, Cet. III, Th. 1421H/200M.
2. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani, Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah Wa Yalihi Al ‘Ilaj Bi Ar Ruqaa Min Al Kitab Wa As Sunnah.
3. Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid, tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi, ta’liq Abdullah bin Baz, dan takhrij Ali bin Sinan, Darul Fikr, Th. 1412H/1992M.
4. Shahih Al Bukhari bersama Fathul Bari.
5. Shahih Muslim.
6. Sunan Abu Dawud.
7. Jami’ At Tirmidzi.
8. Sunan Ibnu Majah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
www.almanhaj.or.id

Hukum Nasyid Atau Lagu-Lagu Yang Bernafaskan Islam

Oleh
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta.


Pertanyaan
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Sesungguhnya kami mengetahui tentang haramnya nyanyian atau lagu dalam bentuknya yang ada pada saat ini karena di dalamnya terkandung perkataan-perkataan yang tercela atau perkataan-perkataan lain yang sama sekali tidak mengandung manfaat yang diharapkan, sedangkan kami adalah pemuda muslim yang hatinya diterangi oleh Allah dengan cahaya kebenaran sehingga kami harus mengganti kebiasaan itu. Maka kami memilih untuk mendengarkan lagu-lagu bernafaskan Islam yang di dalamnya terkandung semangat yang menggelora, simpati dan lain sebagainya yang dapat menambah semangat dan rasa simpati kami. Nasyid atau lagu-lagu bernafaskan Islam adalah rangkaian bait-bait syair yang disenandungkan oleh para pendakwah Islam (semoga Allah memberi kekuatan kepada mereka) yang diekspresikan dalam bentuk nada seperti syair 'Saudaraku' karya Sayyid Quthub -rahimahullah-. Apa hukum lagu-lagu bernafaskan Islam yang di dalamnya murni terkandung perkataan yang membangkitkan semangat dan rasa simpati, yang diucapkan oleh para pendakwah pada masa sekarang atau pada pada masa-masa lampau, di mana lagu-lagu tersebut menggambarkan tentang Islam dan mengajak para pendengarnya kepada keislaman.

Apakah boleh mendengarkan nasyid atau lagu-lagu bernafaskan Islam tersebut jika lagu itu diiringi dengan suara rebana (gendang)? Sepanjang pengetahuan saya yang terbatas ini, saya mendengar bahwa Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam-membolehkan kaum muslimin untuk memukul genderang pada malam pesta pernikahan sedangkan genderang merupakan alat musik yang tidak ada bedanya dengan alat musik lain? Mohon penjelasannya dan semoga Allah memberi petunjuk.

Jawaban
Lembaga Fatwa menjelaskan sebagai berikut: Anda benar mengatakan bahwa lagu-lagu yang bentuknya seperti sekarang ini hukumnya adalah haram karena berisi kata-kata yang tercela dan tidak ada kebaikan di dalamnya, bahkan cenderung mengagungkan nafsu dan daya tarik seksual, yang mengundang pendengarnya untuk berbuat tidak baik. Semoga Allah menunjukkan kita kepada jalan yang diridlaiNya. Anda boleh mengganti kebiasaan anda mendengarkan lagu-lagu semacam itu dengan nasyid atau lagu-lagu yang bernafaskan Islam karena di dalamnya terdapat hikmah, peringatan dan teladan (ibrah) yang mengobarkan semangat serta ghirah dalam beragama, membangkitkan rasa simpati, penjauhan diri dari segala macam bentuk keburukan. Seruannya dapat membangkitkan jiwa sang pelantun maupun pendengarnya agar berlaku taat kepada Allah -Subhanahu Wa Ta'ala-, merubah kemaksiatan dan pelanggaran terhadap ketentuanNya menjadi perlindungan dengan syari'at serta berjihad di jalanNya.

Tetapi tidak boleh menjadikan nasyid itu sebagai suatu yang wajib untuk dirinya dan sebagai kebiasaan, cukup dilakukan pada saat-saat tertentu ketika hhal itu dibutuhkan seperti pada saat pesta pernikahan, selamatan sebelum melakukan perjalanan di jalan Allah (berjihad), atau acara-acara seperti itu. Nasyid ini boleh juga dilantunkan guna membangkitkan semangat untuk melakukan perbuatan yang baik ketika jiwa sedang tidak bergairah dan hilang semangat. Juga pada saat jiwa terdorong untuk berbuat buruk, maka nasyid atau lagu-lagu Islami tersebut boleh dilantunkan untuk mencegah dan menghindar dari keburukan.

Namun lebih baik seseorang menghindari hal-hal yang membawanya kepada keburukan dengan membaca Al-Qur'an, mengingat Allah dan mengamalkan hadits-hadits Nabi, karena sesungguhnya hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi jiwa serta lebih menguatkan dan menenangkan hati, sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya." [Az-Zumar: 23]

Dalam ayat lain Allah berfirman.

"Artinya : Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik." [Ar-Ra'd: 28-29]

Sudah menjadi kebiasaan para sahabat untuk menjadikah Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai penolong mereka dengan cara menghafal, mempelajari serta mengamalkannya. Selain itu mereka juga memiliki nasyid-nasyid dan nyanyian yang mereka lantunkan seperti saat mereka menggali parit Khandaq, membangun masjid-masjid dan saat mereka menuju medan pertempuran (jihad) atau pada kesempatan lain di mana lagu itu dibutuhkan tanpa menjadikannya sebagai syiar atau semboyan, tetapi hanya dijadikan sebagai pendorong dan pengobar semangat juang mereka.

Sedangkan genderang dan alat-alat musik lainnya tidak boleh dipergunakan untuk mengiringi nasyid-nasyid tersebut karena Nabi -Shollallaahu'alaihi wa sallam- dan para sahabatnya tidak melakukan hal itu. Semoga Allah menunjukkan kita kepada jalan yang lurus. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.

[Fatawa Islamiyah, al-Lajnah ad-Da'imah, 4/532-534]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Jurasiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]
www.almanhaj.or.id

Ikhtilath Sebuah Maksiat

Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

Secara bahasa Ikhtilath berarti percampuran; perubahan ingatan. Tetapi yang dimaksudkan di dalam pembahasan ini adalah Ikhtilath (percampuran) antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya. Sementara itu dari perkataan para ahli ilmu, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan Ikhtilath adalah percampuran atau berdesak-desakan antara orang-orang laki-laki dengan para wanita. Di antara perkataan mereka adalah:

1. Ketika Imam Abu Bakar Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusi rahimahullah menyebutkan berbagai macam bid’ah, beliau berkata: “Dan (termasuk bid’ah) keluarnya orang-orang laki-laki bersama-sama atau sendiri-sendiri bersama para wanita dengan berikhtilath”. [Kitab Al-Hawadits Wal Bida’, hal:151, Dar Ibnil Jauzi, cet:I, th:1411 H – 1990 M, ta’liq: Syeikh Ali bin Hasan Al-Halabi]

2. Kemudian Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi mengomentari ucapan Imam Ath-Thurthusi rahimahullah di atas dengan perkataan: “Ini (ikhtilath) terlarang, tidak boleh. Oleh karena itulah penulis memasukkannya (ke dalam bid’ah). Dan dalil-dalil diharamkannya ikhtilath sangat banyak, sebagian (ulama) yang cemburu (terhadap agama) –mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kepada mereka- telah mengumpulkan dalil-dalil itu di dalam buku-buku tersendiri. Adapun orang-orang yang tersilaukan oleh pelacuran Barat yang kafir, yang tertipu oleh kesesatan peradaban modern, menurut persangkaan mereka!!!, mereka terombang-ambing di dalam kegelapan-kegelapan mereka, berbuat sembarangan di dalam kebodohan mereka, mencari-cari fatwa-fatwa dari berbagai tempat yang membolehkan ikhtilath semacam ini untuk mereka…padahal ikhtilath itu, demi Allah, merupakan kesesatan yang nyata! Mudah-mudahan mereka berfikir…dan kembali menuju kebenaran”. [Catatan kaki Kitab Al-Hawadits Wal Bida’, hal:151, Dar Ibnil Jauzi, cet:I, th:1411 H – 1990 M, ta’liq: Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi]

3. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syeikh rahimahullah berkata mengomentari hadits riwayat Abu Dawud di dalam Sunan, dan Bukhari di dalam Al-Kuna, dengan sanad keduanya dari Hamzah bin Abi Usaid Al-Anshari, dari bapaknya Radhiyallahu 'anhu :

أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ

"Bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan orang-orang laki-laki ikhthilath (bercampur-baur) dengan para wanita di jalan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita: “Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan.” Maka para wanita merapat di tembok/dinding sampai bajunya terkait di tembok/dinding karena rapatnya".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika melarang para wanita ikhthilath di jalan karena hal itu akan menyeret kepada fitnah (kemaksiatan; kesesatan), maka bagaimana dikatakan boleh ikhthilath pada selain itu. [Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, tartib: Abu Muahmmad Asyraf bin Abdul Maqshud, II/561, hal: 568, Maktabah Adh-waus Salaf, Cet:I, Th: 1419 H].

Hadits ini mengisyaratkan bahwa ikhthilath (bercampur-baur) orang-orang laki-laki dengan para wanita di jalan itu adalah dengan berdeasak-desakan atau berjalan bersama-sama, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada para wanita agar berjalan di pinggir jalan.

4. Syaikh DR. Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Aba Buthain berkata: "Dan sesungguhnya para wanita di (zaman) permulaan Islam bersungguh-sungguh untuk tidak berdesakan dan berikhtilath dengan orang-orang laki-laki, walaupun ditempat thawaf." [Al-Mar’ah Al-Muslimah Al-Mu’ashirah, hal:415, Dar ‘Alamil Kutub, cet:III, th:1413 H/1993 M]

5. Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah (putri Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, seorang ulama dari Yaman) berkata: "Saling berdesakan antara para wanita dengan orang-orang laki-laki, termasuk sebab-sebab (jalan-jalan) fitnah (hal yang membawa kepada kemaksiatan-Red). Oleh karena itulah Nabi n tetap di tempatnya sebentar (setelah shalat), begitu juga para sahabat yang bersama beliau, sebagaimana di dalam riwayat Bukhari (no:866), sedangkan para wanita langsung berdiri setelah salam. Tetapi di zaman kita telah terjadi ikhtilah pada banyak pekerjaan, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan lainnya". [Nashihati Lin Nisa’, hal:120, Darul Haramain, cet:I, th:1421 H – 2000 M].

6. Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid juga mengisyaratkan makna ikhtilath ketika beliau menjelaskan beberapa syarat keluarnya wanita menuju masjid. Beliau berkata: “Hendaklah (wanita) tidak berdesakkan dengan orang-orang laki-laki, baik di jalan atau di (masjid) Jami’. [Hirasatul Fadhilah, hal:100, Darul ‘Ashimah, cet:II, th: 1421 – 2000 M]

MACAM-MACAM IKHTILATH DAN HUKUMNYA
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syeikh rahimahullah pernah ditanya: "Bolehkah ikhtilah (bercampur-baur) antara orang-orang laki-laki dengan para wanita jika aman dari fitnah (hal yang membawa kepada kemaksiatan-pen)?".
Beliau menjawab: "Ikhtilah (bercampur-baur) antara orang-orang laki-laki dengan para wanita ada tiga keadaan:

1. Ikhtilah antara para wanita dengan orang-orang laki-laki mahram mereka. Ini tidak ada kekaburan tentang bolehnya.

2. Ikhtilah antara para wanita dengan orang-orang laki-laki asing (bukan mahram) untuk tujuan kerusakan (maksiat-pen). Ini tidak ada kekaburan tentang haramnya.

3. Ikhtilah antara para wanita dengan orang-orang laki-laki asing (bukan mahram) di majlis-majlis ilmu (sekolah; madrasah; dan lain-lain-Red), toko-toko (warung; kedai), perpustakaan-perpustakaan, rumah-sakit-rumah-sakit, pesta-pesta, dan yang semacamnya. Ini pada hakekatnya, penanya kemungkinan menyangka pada pandangan yang pertama bahwa hal ini tidak akan menjadikan mereka saling terfitnah (tergoda untuk berbuat kemaksiatan-pen) dengan yang lain.

Untuk mengetahui hakekat bagian (ke 3) ini, maka kami akan menjawab secara global dan secara terperinci.

Adapun secara global: Bahwa Allah Ta’ala telah menjadikan kekuatan bagi laki-laki dan naluri tertarik kepada wanita. Demikian juga Allah telah menjadikan naluri wanita tertarik kepada laki-laki bersamaan dengan kelemahan dan kelembutannya. Maka jika terjadi percampuran (antara keduanya) niscaya timbullah dampak-dampak yang menimbulkan tujuan yang buruk, karena sesungguhnya jiwa itu banyak memerintahkan kepada keburukan, dan hawa-nafsu akan membutakan dan menjadikan tuli, serta syaithan akan memerintahkan kekejian dan kemungkaran.

Adapun secara terperinci: Bahwa syari’at itu dibangun di atas al-maqashid (tujuan-tujuan) dan wasa-il (sarana-sarana) nya. Dan sarana yang menghantarkan kepada satu tujuan memiliki hukum yang sama dengan tujuan. Wanita adalah tempat untuk menyalurkan kebutuhan laki-laki, dan Pembuat syari’at telah menutup pintu-pintu yang menghantarkan kepada keterikatan setiap individu dari kedua jenis itu kepada yang lain. Hal itu akan nampak jelas dengan dalil- dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang akan kami paparkan:

DALIL-DALIL DARI ALKITAB
1. Allah Ta’ala berfirman:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَن نَّفْسِهِ وَغَلَّقَتِ اْلأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَاىَ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

"Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata:"Marilah ke sini". Yusuf berkata:"Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik". Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung". [Yusuf:23]

Sisi pengambilan dalil: Yaitu ketika terjadi ikhthilath (percampuran) antara istri Aziz Mesir dengan Nabi Yusuf alaihissallam, muncullah (nafsu) wanita itu, yang dahulunya terpendam, maka dia meminta kepada Nabi Yusuf untuk mencocoki (kemauan) nya. Tetapi beliau mandapatkan rahmat Allah, dan Dia menjaga beliau dari wanita tersebut. Yaitu di dalam firmanNya:

فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [(Yusuf: 34].

Maka demikian pula jika terjadi ikhthilath (percampuran) orang-orang laki-laki dengan para wanita, setiap mereka akan memilih pasangan yang dia sukai, dan setelah itu akan berusaha dengan segala cara untuk mendapatkannya.

2. Allah memerintahkan para laki-laki dan para wanita untuk menahan pandangan, Dia berfirman:

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ {30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka". [An-Nur: 30-31]

Sisi pengambilan dalil dua ayat di atas: bahwa Allah memerintahkan kaum mukminin dan mukminat untuk menahan pandangan, sedangkan perintah Allah menunjukkan wajib, kemudian Allah Ta’ala menjelaskan bahwa itu lebih suci dan lebih bersih. Pembuat syari’at tidak memaafkan (dari pandangan itu) kecuali pandangan yang tiba-tiba (tidak sengaja). Al-Hakim telah meriwayatkan di dalam kitab Al-Mustadrak dari Ali Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

يَا عَلِيُّ لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ

"Wahai Ali, janganlah engkau mengikutkan pandangan (pertama, yang tidak disengaja- pen) dengan pandangan (kedua, yang disengaja-Red), karena sesungguhnya engkau berhak pada pandangan pertama, tetapi tidak berhak pada pandangan yang akhir" [1].

Setelah meriwayatkannya Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Muslim, tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya”. Adz-Dzahabi menyetujuinya di dalam Talkhisnya. Dan ada banyak hadits yang semakna dengan ini.

Dan tidaklah Allah memerintahkan untuk menahan pandangan kecuali karena memandang orang yang terlarang untuk dipandang merupakan zina (mata- pen). Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا

"Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan dengan seksama, lidah zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah menyergap/menangkap, dan kaki zinanya adalah melangkah". [Mutafaq ‘alaih, lafazhnya bagi Muslim]

Memandang adalah zina, karena orang itu bersenang-senang dengan memandang kecantikan wanita, dan hal itu akan membawa wanita itu memasuki hati orang yang memandangnya, sehingga akan terikat di dalam hatinya. Sehingga dia akan berusaha melakukan kekejian (zina) dengannya. Maka jika Pembuat syari’at melarang memandang kepada wanita karena hal itu akan membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakan itu juga akan terjadi di dalam ikhthilath. Oleh karena itulah ikhthilath terlarang, karena merupakan sarana menuju apa yang tidak terpuji akibatnya, yaitu bersenang-senang dengan memandang dan berusaha melakukan apa yang lebih buruk dari itu.

3. Dalil-dalil yang telah disebutkan yaitu bahwa “wanita adalah aurat” [2] dan wajib atasnya untuk menutupi seluruh tubuhnya, karena menampakkan tubuhnya atau sebagiannya menyebabkan untuk dilihat, sedangkan melihatnya akan menyebabkan hati terikat kepada wanita itu, kemudian berbagai cara akan ditempuh untuk mendapatkannya. Demikian juga ikhthilath.

4. Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ

"Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan". [An-Nur:31]

Sisi pengambilan dalil: bahwa Allah Ta’ala mencegah wanita menghentakkan kakinya,-walaupun hal itu pada asalnya boleh- agar jangan menjadi sebab para laki-laki mendengar suara gelang kaki wanita, sehingga akan membangkitkan pendorong-pendorong syahwat laki-laki kepada wanita. Demikian juga ikhthilath dilarang karena bisa membawa kepada kerusakan.

5. Firman Allah Ta’ala:

يَعْلَمُ خَآئِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati". [Al-Ghafir/Al-Mukmin:19]

Ibnu Abbas dan lainnya menafsirkan: "Dia adalah seorang laki-laki yang masuk ke rumah anggota keluarganya, di antara mereka ada seorang wanita yang cantik, -atau ada seorang wanita yang cantik yang melewati mereka-. Jika anggota keluarga itu tidak memperhatikannya, dia memandang wanita tersebut. Jika mereka memperhatikannya, dia menundukkan pandangan matanya dari wanita itu. Jika mereka tidak memperhatikannya, dia memandangnya, jika mereka memperhatikannya, dia menundukkan pandangan matanya. Dan Allah mengetahui hatinya, yaitu bahwa dia ingin melihat kemaluan wanita itu, dan jika mampu menguasai wanita itu, dia akan menzinainya."[3].

Sisi pengambilan dalil: bahwa Allah Ta’ala mensifati mata yang mencuri pandang kepada wanita yang tidak halal untuk dipandang, sebagai (mata yang) khianat. Maka bagaimana dengan ikhthilath?

6. Bahwa Allah memerintahkan para wanita untuk menetap di dalam rumah mereka, Dia berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu". [Al-Ahzab:33]

Sisi pengambilan dalil: bahwa Allah Ta’ala memerintahkan istri-istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, wanita-wanita yang suci dan disucikan, untuk menetap di dalam rumah-rumah mereka. Dan perkataan Allah ini umum meliputi seluruh wanita muslimin yang lain, berdasarkan apa yang telah tetap di dalam ilmu Ushul (fiqih) bahwa perkataan yang disampaikan itu umum kecuali yang ditunjukkan oleh dalil tentang pengkhususannya. Sedangkan di sini tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususannya. Maka jika para wanita itu diperintahkan untuk menetap di dalam rumah, kecuali jika kebutuhan mengharuskan mereka untuk keluar, kemudian bagaimana dibolehkan ikhthilath seperti yang telah disebutkan di atas? Padahal di zaman ini banyak sikap-sikap wanita yang melewati batas, tidak punya rasa malu, mengikuti hawa-nafsu dengan menampakkan perhiasan dan mempertontonkan wajah di hadapan orang-orang laki-laki asing serta bertelanjang di dekat mereka, dan tidak ada orang yang mencegah, baik oleh suami-suami mereka atau lainnya, terhadap orang yang sudah jauh dalam urusan itu.

ADAPUN DALIL DARI SUNNAH
Kami akan mencukupkan dengan menyebutkan 10 dalil:
1. Imam Ahmad meriwayatkan:

عَنْ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ

"Dari Ummu Humaid istri Abu Humaid As-Sa’idi Radhiyallahu 'anhuma, bahwa dia mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku suka shalat bersamamu”. Beliau bersabda: “Aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku, tetapi shalatmu di dalam rumahmu (yang paling dalam) lebih baik daripada shalatmu di dalam kamarmu. Dan shalatmu di dalam kamarmu, lebih baik daripada shalatmu di dalam rumahmu (yang tengah/luar). Dan shalatmu di dalam rumahmu (yang tengah/luar), lebih baik daripada shalatmu di masjid kaum-mu. Dan shalatmu di masjid kaum-mu, lebih baik daripada shalatmu di masjidku".

Perawi berkata: “Maka Ummu Humaid memerintahkan, lalu dibangunlah masjid (yakni tempat untuk shalat-Red) untuknya di ujung rumah di antara rumah-rumahnya, dan yang paling gelap, demi Allah, dia biasa shalat di sana sampai meninggal.

Dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan di dalam Shahihnya, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ أَحَبَّ صَلَاةِ الْمَرْأَةِ إِلَي اللَّهِ فِي أَشَدِ مَكَانٍ مِنْ بَيْتِهَا ظُلْمَةً

"Sesungguhnya shalat wanita yang paling dicintai oleh Allah adalah (yang dilakukan) di tempat paling gelap di dalam rumahnya".

Ada beberapa hadits yang semakna dengan dua hadits ini yang menunjukkan bahwa shalat wanita di dalam rumahnya lebih utama dari shalatnya di dalam masjid.

Sisi pengambilan dalil: yaitu bahwa jika disyari’atkan bagi wanita untuk shalat di dalam rumahnya, dan bahwa hal itu lebih utama, sampaipun dari shalat di dalam masjid Rasulullah n dan bersama beliau, maka jika ikhthilath itu dilarang, itu termasuk perkara yang lebih utama (untuk dilarang).

2. Apa yang diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan lainnya, dengan sanad-sanad mereka dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

"Sebaik-baik shaf (barisan dalam shalat) laki-laki adalah shaf yang pertama, dan shaf yang paling buruk adalah shaf yang terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir, dan shaf yang paling buruk adalah shaf yang pertama". [Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits ini: “Hadits Hasan Shahih”].

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah men syari’atkan bagi para wanita jika datang ke masjid untuk memisahkan sendiri dari jama’ah (laki-laki).[4]. Kemudian beliau menyebutkan keburukan pada shaf pertama wanita , dan menyebutkan kebaikan pada shaf yang terakhir. Hal itu hanyalah karena jauhnya wanita -wanita pada shaf terakhir dari laki-laki, dari ikhthilath dengan laki-laki, dan dari melihat laki-laki, serta jauh dari terikatnya hati mereka terhadap laki-laki ketika melihat gerakan dan mendengar suara laki-laki. Dan beliau mencela shaf yang pertama karena terjadinya sebalik dari perkara-perkara di atas. Dan beliau menyebutkan keburukan pada shaf laki-laki yang terakhir apabila ada wanita-wanita shalat bersama mereka di dalam masjid, karena mereka tidak mendapatkan tempat depan dan dekat imam, juga karena dekatnya terhadap para wanita yang menyibukkan fikiran, yang bisa jadi merusakkan ibadah, mengacaukan niat dan kekusyu’an. Maka jika Pembuat agama mengantisipasi terjadinya hal itu di dalam tempat-tempat ibadah, padahal itu tidak terjadi ikhthilath, maka terjadinya hal itu jika terjadi ikhthilath tentulah lebih mungkin. Maka dilarangnya ikhthilat itu merupakan hal yang lebih utama.

3. Imam Muslim meriwayatkan di dalam Shahihnya, dari Zainab istri Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda kepada kami (para wanita):

إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلَا تَمَسَّ طِيبًا

"Jika salah seorang dari kamu menghadiri masjid, maka janganlah memakai minyak wangi".

Dan Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunannya, Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i di dalam Musnad keduanya, dengan sanad mereka, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ

"Janganlah kamu melarang hamba-hamba perempuan Allah (keluar ke) masjid-masjid Allah, tetapi hendaklah mereka keluar dengan tidak memakai minyak wangi".

Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata: “Di dalam hadits ini terdapat dalil diharamkannya memakai minyak wangi bagi wanita yang ingin keluar menuju masjid, karena hal itu akan menggerakkan kebutuhan dan syahwat laki-laki, dan kemungkinan juga akan menjadi sebab yang menggerakkan syahwat wanita”. Dia juga berkata: “Dihukumi sama dengan minyak wangi ini apa yang semakna dengannya, seperti (memakai) baju dan perhiasan yang indah yang dampaknya nyata, dan bentuknya yang mewah”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Demikian pula ikhthilath dengan orang-orang laki-laki.” Al-Khathabi berkata di dalam Ma’alimus Sunan: “At-Tafal [5] artinya bau tidak sedap. Dikatakan wanita tafilah, jika dia tidak memakai minyak wangi. Dan dikatakan wanita-wanita tafilaat, (jika mereka tidak memakai minyak wangi).”

4. Usamah bin Zaid meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau telah bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

"Tidaklah aku tinggalkan fitnah (ujian; yang menyebabkan kesesatan) setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita". [HR. Bukhari dan Muslim]

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah n telah menyatakan para wanita sebagai fitnah, maka bagaimana dikumpulkan antara (wanita) yang membuat fitnah dengan (laki-laki) yang terkena sasaran fitnah? Ini tidak boleh.

5. Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

"Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kamu penguasa di dunia, kemudian Dia akan melihat bagaimana kamu berbuat, maka berhati-hatilah kamu terhadap dunia, dan berhati-hatilah kamu terhadap wanita, karena sesungguhnya fitnah (kesesatan) pertama kali di kalangan Bani Isra’il dalam perkara wanita". [HR. Muslim]

Sisi pengambilan dalil: bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk berhati-hatilah terhadap wanita, dan perintah beliau itu hukumnya wajib. Maka bagaimana mungkin perintah beliau tersebut dilaksanakan bersamaan dengan (dilakukan) ikhthilath?! Ini tidak boleh.

6. Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunan, dan Bukhari di dalam Al-Kuna, dengan sanad keduanya dari Hamzah bin Abi Usaid Al-Anshari, dari bapaknya Radhiyallahu 'anhu :

أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ

"Bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan orang-orang laki-laki ikhthilath (bercampur-baur) dengan para wanita di jalan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita: “Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan.” Maka para wanita merapat di tembok/dinding sampai bajunya terkait di tembok/dinding karena rapatnya. [Ini lafazh Abu Dawud].

Ibnul Atsir berkata di dalam An-Nihayah Fi Gharibil Hadits: “yuhaqqiqna ath-thariq” maknanya berjalan di haqnya, yaitu di tengahnya.

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika melarang para wanita ikhthilath di jalan karena hal itu akan menyeret kepada fitnah (kemaksiatan; kesesatan), maka bagaimana dikatakan boleh ikhthilath pada selain itu.

7. Abu Dawud Ath-Thayalisi meriwayatkan di dalam Sunannya, dan lainnya, dari Nafi’ , dari Ibnu umar Radhiyallahu 'anhuma :

أَنُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَنَي الْمَسْجِدَ جَعَلَ بَابًا لِلنِّسَاءِ وَ قَالَ: لاَ يَلِجُ مِنْ هَذَا الْبَابِ مِنَ الرِّجَالُ أَحَدٌ

"Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membangun masjid, beliau membuat pintu (khusus) untuk wanita, dan dia berkata: “Tidak boleh seorangpun laki-laki masuk dari pintu ini".

Bukhari telah meriwayatkan di dalam At-Tarikhul Kabir dari Ibnu umar Radhiyallahu 'anhuma, dari nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ تَدْخُلُوْا الْمَسْجِدَ مِنْ بَابٍ النِّسَاءِ

"Janganlah kamu masuk masjid dari pintu wanita".

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mencegah ikhthilath orang-orang laki-laki dan para wanita di pintu-pintu masjid, sewaktu masuk ataupun keluar. Dan beliau mencegah sumber kebersamaan laki-laki dan wanita di pintu-pintu masjid untuk menutup jalan/sarana ikhthilath. Maka jika ikhthilath dilarang dalam keadaan ini, maka terlebih lagi pada keadaan lainnya.

8. Imam Bukhari telah meriwayatkan di dalam Shahihnya dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ (مِنْ صَلاَتِهِ) قَامَ النِّسَاءُ حِينَ يَقْضِي تَسْلِيمَهُ وَمَكَثَ فِي مَكَانِهِ يَسِيرًا

"Kebiasaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika selesai salam dari shalatnya, para wanita bangkit ketika beliau selesai salamnya, sedangkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap di tempatnya sebentar".

Pada riwayat kedua pada Imam Bukhari:

كَانَ يُسَلِّمُ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ فَيَدْخُلْنَ بُيُوتَهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَنْصَرِفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Beliau selesai salam, lalu para wanita berpaling kemudian masuk rumah mereka sebelum Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpaling".

Pada riwayat ketiga:

كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ مَنْ صَلَّي مِنَ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللهُ فَإِذَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ الرِّجَالُ

"Kebiasan para wanita ketika selesai salam dari shalat wajib, mereka bangkit, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang laki-laki yang shalat bersama beliau tetap di tempat mereka –masya Allah- . Kemudian apabila Rasulullah n bangkit, orang-orang laki-laki juga bangkit".

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mencegah ikhthilath dengan perbuatan beliau, maka ini merupakan peringatan dilarangnya ikhthilath pada tempat selain ini.

9 dan 10. Ath-Thabarani meriwayatkan di dalam Mu’jamul Kabir dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

َلأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

"Sungguh jika kepala salah seorang dari kamu ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya".

Al-Haitsami berkata di dalam Majma’uz Zawaid: “Para perawinya adalah para perawi Ash-Shahih”. Al-Mundziri berkata di dalam At-Targhib Wat Tarhib: “Para perawinya terpercaya”.

Ath-Thabarani juga meriwayatkan dari Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau telah bersabda:

لأَنْ يَزْحَمَ رَجُلٌ خِنْزِيْرًا مُتَلَطِخًا بِطِيْنٍ وَ حَمَأَةٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَزْحَمَ مَنْكِبُهُ مَنْكِبَ امْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ

"Sungguh jika seorang laki-laki berdesakkan dengan seekor babi yang berlumuran tanah dan lumpur lebih baik daripada pundaknya berdesakkan dengan pundak wanita yang tidak halal baginya".

Sisi pengambilan dalil dari kedua hadits di atas: bahwa Rasulullah n mencegah persentuhan laki-laki dengan wanita dengan pelapis atau tanpa pelapis jika bukan mahramnya, karena hal itu akan membawa dampak yang buruk. Demikian pula ikhthilath dilarang karena hal itu.

Maka barangsiapa yang memperhatikan dalil-dalil yang telah kami sebutkan niscaya akan jelas baginya bahwa menerima anggapan “ikhthilath itu tidak akan membawa fitnah (kemaksiatan; kesesatan)”, itu hanyalah menurut persepsi sebagian orang saja. Padahal sebenarnya hal itu akan membawa kepada fitnah, oleh karena inilah Pembuat syari’at mencegahnya untuk menutup sumber kerusakan.

Tetapi tidak termasuk ikhthilath yang terlarang, perkara-perkara yang kebutuhan mengharuskannya dan yang sangat diperlukan, dan terjadi di tempat-tempat ibadah, sebagaimana yang terjadi di tanah suci Makkah dan tanah suci Madinah. Kami mohon kepada Allah Ta’ala agar menunjuki kaum muslimin yang tersesat, dan agar menambah petunjuk kepada kaum muslimin yang telah mendapatkan petunjuk, dan agar Dia memberikan taufiq kepada para penguasa kaum muslimin untuk melakukan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, serta membimbing tangan orang-orang yang bodoh. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi maha Dekat, dan shalawat Allah mudah-mudahan diberikan kepada Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya. (Fatwa no: 118, tanggal: 14-5-1388) [Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, tartib: Abu Muahmmad Asyraf bin Abdul Maqshud, II/561, hal: 561-569, Maktabah Adh-waus Salaf, Cet:I, Th: 1419 H].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
www.almanhaj.or.id