Dosa itu terbagi menjadi dua macam yaitu dosa besar dan dosa kecil. Ibnul Qayyim mengatakan, “Dalil al-Qur’an, sunnah dan kesepakatan sahabat, tabi’in dan para imam menunjukkan bahwa dosa itu terbagi menjadi dua, ada dosa besar dan ada dosa kecil.”
Allah berfirman yang artinya, “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil), (Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil.” (QS. an Najm: 32)
Dalam hadits yang shahih, Nabi bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Shalat lima waktu, Shalat Jumat ke Shalat Jumat berikutnya, puasa Ramadhan ke puasa Ramadhan berikutnya merupakan penghapus dosa-dosa yang terjadi di antara keduanya selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Amal-amal yang menghapus dosa ini terbagi menjadi tiga tingkatan. Yang pertama tidak mampu menghapus dosa-dosa kecil karena lemahnya amal tersebut dan lemahnya keikhlasan pelakunya serta tidak maksimal menjalankan hak-hak amal tersebut. Amal semacam ini semisal obat yang lemah sehingga tidak mampu melawan penyakit dari segi kualitas maupun kuantitas penyakit.
Yang kedua, amal-amal yang mampu melawan dosa kecil namun belum bisa menghapus satupun dosa besar. Sedangkan yang ketiga adalah amal-amal yang punya kekuatan untuk menghapus dosa-dosa kecil dan masih punya sisa kekuatan untuk menghapus sebagian dosa besar. Renungkan baik-baik tiga tingkatan amal ini karena merenungkannya bisa menghapus berbagai ketidakjelasan.” (Al Jawab asy Syafi’i, karya Ibnul Qayyim 1/87)
Namun dosa besar jika dilakukan dengan diiringi rasa malu, takut, dan anggapan bahwa itu sangat mengerikan justru bisa memasukkan dosa besar tersebut dalam kelompok dosa kecil. Sedangkan melakukan dosa kecil diiringi sedikit rasa malu, tidak peduli dengan larangan, tidak merasa takut bahkan meremehkan justru memasukkan dosa kecil tersebut ke dalam kelompok dosa besar bahkan dosa yang paling besar.
Di samping hal-hal di atas, dosa kecil juga bisa bernilai dosa besar jika dilakukan oleh seorang ulama (baca: kyai atau ustadz) yang menjadi panutan banyak orang. Jika seorang ulama melakukan maksiat di tempat yang dilihat banyak orang maka dosa tersebut meskipun sebenarnya kecil berubah menjadi dosa besar. Semisal seorang ulama yang memakai sutra, mengenakan perhiasan emas, mengambil harta yang tidak jelas kehalalannya, lidah yang tidak terkontrol melanggar kehormatan orang lain meskipun ketika sedang berdiskusi dan bermaksud merendahkan orang lain, serta sibuk dengan ilmu yang tidak ada manfaatnya semisal ilmu debat.
Itu semua adalah dosa-dosa yang mengiringi seorang ulama, meski dia telah meninggal namun bahaya akan terus tersebar di berbagai tempat.
Sungguh beruntung orang yang meninggal dunia dan semua dosa-dosanya terkubur bersamanya. Nabi bersabda, “Barang siapa menjadi teladan dalam kejelekan maka dia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengikuti jejak langkahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim)
Allah juga berfirman yang artinya, “Dan akan kami tulis apa yang telah mereka lakukan dan bekas-bekas mereka.” (QS. Yasin: 12). Yang dimaksud dengan bekas-bekas mereka adalah dosa-dosa dari berbagai amal setelah amal tersebut tidak lagi dikerjakan dan pelakunya pun telah meninggal dunia.
Ibnu Abbas mengatakan, “Celakalah seorang ulama gara-gara dosa-dosa yang terus mengikutinya. Yaitu ada seorang ulama yang tergelincir sehingga melakukan suatu kesalahan lantas dia bertaubat. Namun sudah terlanjur banyak orang yang meneladani dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia.”
Ada juga seorang salaf yang berkata, “Ketergelinciran seorang ulama itu bagaikan lobang pada sebuah perahu. Akhirnya perahu tersebut tenggelam dan tenggelamlah semua orang yang ada di dalamnya.”
Dalam cerita israiliyat dikisahkan ada seorang ulama yang menyesatkan banyak orang disebabkan bid’ah yang dia ada-adakan. Setelah itu dia bertaubat lalu berusaha memperbaiki diri dalam rentang waktu yang cukup lama. Allah memberikan wahyu kepada seorang nabi yang ada di tengah-tengah mereka, “Katakan kepada ulama tersebut bahwa andai dosamu hanya antara dirimu dan diri-Ku tentu sudah aku ampuni. Namun bagaimanakah dengan hamba-hambaKu yang kau sesatkan dan kau masukkan ke dalam neraka?!!”
Berdasar keterangan yang lewat, jelaslah bahwa ada dua kewajiban yang terletak di pundak seorang ulama yang jadi panutan banyak orang yaitu berusaha semaksimal mungkin untuk meninggalkan dosa dan menyembunyikan dosa dilakukan.
Sebagaimana dosa seorang ulama itu berlipat-lipat maka balasan seorang ulama juga berlipat ganda ketika kebaikan atau kejahatannya diteladani banyak orang.
Ketika seorang ulama meninggalkan kemewahan hidup dan cinta dunia karena merasa qona’ah dengan rezeki sedikit yang Allah berikan baik berupa makanan ataupun pakaian lalu sikap beliau ini ditiru banyak orang maka beliau mendapatkan pahala orang yang menirunya sebagaimana pahala yang melakukannya.
Namun jika malah cenderung kepada kemewahan hidup yang kemudian diikuti banyak orang padahal ulama tersebut tidak mungkin hidup mewah kecuali dengan mengiyakan semua kemauan para penguasa dan mengumpulkan harta dari sumber-sumber yang haram lantas itu semua diteladani oleh para muridnya maka dia menjadi sebab semua dosa muridnya.
Jadi gerak-gerik ulama itu berputar antara bertambah ataukah berkurang, pengaruh perbuatan ulama itu boleh jadi mendatangkan keuntungan atau menimbulkan kerugian (Lihat Ihya Ulumiddin, 3/137)
***
Penulis: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id