Sungguh kenikmatan-kenikmatan dalam al jannah tidak akan dicapai oleh indera manusia. Belum pernah dilihat oleh penglihatan siapa pun, belum pernah didengar oleh pendengaran siapa pun, dan belum pula terbetik dalam hati siapa pun. Demikianlah yang dikhabarkan Baginda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
“Allah berfirman (artinya): ”Aku telah sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih (kenikmatan Al jannah) yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, serta terlintas di hati manusia. (HR. Muslim no. 2824)
Kenikmatan-kenikmatan itu menggambarkan, rahmat Allah subhanahu wata’ala itu betapa luas tanpa batas, bagaikan hamparan tiada bertepi. Yang Allah subhanahu wata’ala sedialam bagi hamban-hamba-Nya yang shalih. Tapi itu bukan semata-mata hasil amal shalih yang dilakukan oleh seorang hamba, sekalipun ia seorang nabi. Bahkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai Imamul Anbiya’ (pemimpin para nabi), ia adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu al jannah, hal itu bukan semata disebabkan amal shalih yang ia usahakan, namun berkat rahmat Allah subhanahu wata’ala.
فَإِنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ الْجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ: وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ
“Sungguh bukanlah seseorang itu masuk al jannah karena amalannya. Para shahabat bertanya: “Demikian juga engkau wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Beliau berkata: “Demikian juga saya, melainkan Allah subhanahu wata’ala melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. (HR. Al Bukhari no. 6463 dan Muslim no. 2816)
Ciri Fisik Penghuni Al Jannah
Penghuni al jannah memiliki ciri-ciri khusus. Diantaranya;
Berperawakan seperti Adam. Dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا فَلَمْ يَزَلْ الْخَلْقُ يَنْقُصُ بَعْدَهُ حَتَّى اْلآنَ
“Maka setiap orang yang masuk al jannah wajahnya seperti Adam dan tingginya 60 hasta, setelah Adam manusia terus mengecil hingga sampai sekarang.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Berusia masih muda. Dari shahabat Syahr bin Husyab radhiallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:
يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ جُرْدًا مُرْدًا مُكَحَّلِينَ أَبْنَاءَ ثَلاَثِينَ أَوْ ثَلاَثٍ وَثَلاَثِينَ سَنَةً
“Penghuni al jannah akan masuk ke dalam al jannah dengan keadaan rambut pendek, jenggot belum tumbuh, mata bercelak, dan berusia tiga puluh tahun atau tiga pulu tiga tahun.” (HR. At Tirmidzi no. 2468, dihasankan Asy Syaikh Al Albani. Keraguan ini berasal dari perawi, namun dalam riwayat Ahmad, Ibnu Abi Dunya, Ath Thabarani dan Al Baihaqi dengan riwayat tegas tanpa ada keraguan yaitu berusia 33 tahun. Lihat Tuhfatul Ahwadzi 7/215)
Orang Yang Pertama Mengetuk Pintu Al Jannah
Orang pertama kali yang mengetuk pintu al jannah, lalu membukanya dan kemudian memasukinya adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dari shahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَنَا أَكْثَرُ اْلأَنْبِيَاءِ تَبَعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ يَقْرَعُ بَابَ الْجَنَّةِ
“Saya adalah orang yang paling banyak pengikutnya pada Hari Kiamat dan saya adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu Al Jannah.” (HR. Muslim no. 196)
Masih dari shahabat Anas bin Malik namun dalam riwayat At Tirmidzi, dengan lafadz:
“Saya adalah orang yang pertama kali keluar jika mereka dibangkitkan. Saya adalah orang pertama kali bicara, jika mereka diam. Saya adalah pemimpin mereka, jika mereka dikirim. Saya adalah pemberi syafaat kepada mereka, jika mereka tertahan. Saya adalah pemberi berita gembira, jika mereka putus asa. Panji pujian ada digenggaman tanganku. Kunci-kunci al jannah ada ditanganku. Saya adalah keturunan Adam yang paling mulia di sisi Rabb-ku dan tidak ada kebanggaan melebihi hal ini. Saya dikelilingi seribu pelayan setia laksana mutiara yang tersimpan.”
Umat Yang Pertama Kali Masuk Al Jannah Dan Ciri-Cirinya
Sekalipun umat Islam ini adalah umat terakhir, namun Allah subhanahu wata’ala (dengan rahmat-Nya yang luas) memilihnya sebagai umat yang pertama kali masuk al jannah. Dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
نَحْنُ اْلآخِرُونَ اْلأَوَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَنَحْنُ أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ بَيْدَ أَنَّهُمْ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا وَأُوتِينَاهُ مِنْ بَعْدِهِمْ
“Kita adalah umat terakhir namun paling awal pada hari kiamat. Kita adalah umat yang pertama kali masuk al jannah, meskipun mereka diberi kitab sebelum kita, dan kita diberi kitab sesudah mereka.” (HR. Muslim no. 855)
Selain itu, Allah subhanahu wata’ala pun menampilkan umat Islam dengan penampilan yang amat indah. Masih dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ زُمْرَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ عَلَى أَشَدِّ كَوْكَبٍ دُرِّيٍّ فِي السَّمَاءِ إِضَاءَةً
“Rombongan pertama yang masuk Al Jannah laksana bulan purnama, sedangkan rombongan berikutnya bagaikan bintang yang paling berkilau di langit.”
(HR. Al Bukhari no. 3327, Muslim no. 2824)
Orang Fakir Miskin Lebih Dahulu Masuk Al Jannah
Lalu siapakah diantara umat Islam yang pertama kali masuk al jannah? Hal yang sama pernah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tanyakan kepada para shahabatnya. Seraya mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Barulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan: “Mereka adalah kaum faqir Muhajirin yang terlindungi dari hal-hal yang dibenci. Salah seorang dari mereka meninggal dunia sementara kebutuhannya masih ada di dadanya namun ia tidak mampu menunaikannya. Para Malaikat berkata: ” Ya Rabb-kami, kami adalah para malaikat-Mu, penjaga-Mu, dan penghuni langit-Mu, janganlah Engkau dahulukan mereka daripada kami memasuki jannah-Mu! Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Mereka adalah hamba-hamba-Ku yang tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun. Mereka terlindungi dari hal-hal yang dibenci. Ada salah seorang diantara mereka meninggal dunia sementara kebutuhannya masih ada di dadanya yang tidak mampu ia tunaikan. Mendengar jawaban Allah seperti itu, para malaikat segera masuk ketempat mereka dari semua pintu seraya berkata,” Salam sejahtera untuk kalian atas kesabaran kalian. Ini adalah sebaik-baik tempat tinggal.” (HR. Ahmad dan At Thabarabi, dari shahabat Abdullah bin Umar)
Sementara dalam riwayat Al Imam Muslim dan At Tirmidzi menjelaskan selisih waktu antara rombongan orang-orang fakir dengan orang-orang kaya masuk ke dalam al jannah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ فُقَرَاءَ الْمُهَاجِرِينَ يَسْبِقُونَ اْلأَغْنِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى الْجَنَّةِ بِأَرْبَعِينَ خَرِيفًا
“Orang-orang fakir kaum Muhajirin masuk Al Jannah mendahului orang-orang kaya dari mereka, dengan selisih waktu 40 tahun.” (HR. Muslim no. 2979)
Istri-istri Penghuni Al Jannah, Pesona, Ciri-Ciri Dan Kecantikannya
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”. (Al Baqarah: 25)
Pada ayat di atas Allah subhanahu wata’ala memadukan antara kenikmatan fisik berupa al jannah beserta taman-taman dan sungai-sungai di dalamnya, dengan kebahagian jiwa berupa bidadari-bidadari sebagai istri-istri yang suci lagi penyejuk mata bagi mereka. Dan Allah subhanahu wata’ala memastikan bagi mereka keberlangsungan kehidupan yang abadi tiada pernah terputus sedikitpun.
Mereka dipingit di kemah-kemah dalam keadaan putih bersih nan jelita. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam kemah.” (Ar Rahman: 72)
Mereka memiliki akhlak yang bagus nan indah sebagaimana kecantikan pesona wajah-wajah mereka. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang (berakhlak) baik-baik lagi cantik-cantik.” (Ar Rahman: 70)
Mereka berusia sebaya, selalu tampil dalam keadaan perawan, penuh pesona dan cinta. Allah subhanahu wata’ala berifirman (artinya): “Dan Kami jadikan bidadari-bidadari itu perawan. Penuh cinta kasih lagi sebaya umurnya. Kami ciptakan mereka untuk golongan kanan.” (Al Waqi’ah: 36-38)
Penghuni Yang Masuk Al Jannah Paling Akhir
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya aku tahu penghuni neraka yang paling akhir keluar dari neraka dan penghuni al jannah yang paling akhir masuk al jannah. Dia keluar dari neraka dengan merangkak. Allah berfirman kepadanya, ‘Pergilah ke al jannah (surga) dan masuklah ke dalamnya!’ Orang tersebut bergegas pergi ke jannah dan tergambar dalam pikirannya bahwa al jannah itu telah penuh sesak. Maka ia pun kembali dan berkata kepada Allah, ‘Wahai Rabbku, aku dapati al jannah telah penuh!’ Allah pun berfirman kepadanya, ‘Pergilah ke al jannah dan masuklah ke dalamnya! Sesungguhnya engkau berhak atas nikmat sebesar dunia dan sepuluh kali lipatnya.’ Orang tersebut berkata, ‘Wahai Rabbku, apakah Engkau mengejekku dan menertawakanku, karena Engkau Sang Raja Penguasa?”
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Kulihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.” Beliau bersabda: “Itulah derajat penghuni al jannah yang paling rendah.” (HR. Al Bukhari no. 6571 dan Muslim no. 186)
Penghuni Al Jannah Melihat Rabb Mereka Dengan Mata Kepalanya
Kenikmatan tertinggi di dalam al jannah adalah melihat wajah Rabbul ‘alamin. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaikb berupa surga dan ada tambahannya. Dan wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) dengan kehinaan. Mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya.” (Yunus: 25-26)
Yang dimaksud dengan ada tambahannya pada ayat di atas yaitu berupa kenikmatan melihat Allah subhanahu wata’ala. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya: “Jika telah masuk penduduk al jannah ke dalam al jannah. Allah subhanahu wata’ala berkata: “Apakah kalian ingin tambahan dari-Ku. Mereka seraya menjawab: “Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami bercahaya? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam al jannah (surga) dan menyelamatkan dari an nar (neraka). Kemudian Allah subhanahu wata’ala membuka hijab-Nya. Maka tidaklah mereka diberi nikmat yang lebih mereka sukai dibanding dengan melihat Allah subhanahu wata’ala. (HR. Muslim no. 181)
Akhir kata, demikianlah tamasya kita untuk menengok sebagian keindahan para penghuni al jannah. Dengan sebuah harapan dapat mendorong kita untuk selalu berpacu dalam beramal shalih. Tuk meraih tamasya yang hakiki yang penuh dengan kenikmatan yang abadi. Amien, Ya Rabbal ‘alamin.
Do’a Mohon Dimasukkan Al Jannah dan Dijauhkan dari An Naar
Diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berdo’a:
اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا يُقَرِّبُ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ وَعَمَلٍ, وَأَعُوذُبِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا يُقَرِّبُ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ وَعَمَلٍ
“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu al jannah (surga) beserta segala sesuatu yang bisa mendekatkan kepadanya dari perkataan dan perbuatan, dan aku berlindung kepada-Mu dari an nar (neraka) beserta segala sesuatu yang bisa mendekatkan kepadanya dari perkataan dan perbuatan”. (HR. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no.1542)
Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.
Saat engkau sedang sendiri jangan katakan aku sendiri, tetapi katakan ada yang senantiasa mengawasi diri ini. Dan sedikitpun jangan menyangka bahwa Allah lalai, atau menyangka Dia tak tahu apa yang tersembunyi.
Selasa, 08 Maret 2011
Selasa, 01 Maret 2011
Penyebab Perceraian Dan Kiat Mengantisipasinya
Oleh
Syaikh Dr. Muhammad Nasir Al Humaid
Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan, banyaknya terjadi kasus perceraian di dunia Islam yang disebabkan berbagai macam faktor, yang sebenarnya dapat diantisipasi. Padahal dampaknya sangat mengkhawatirkan di masyarakat; secara individual maupun kelompok masyarakat. Bukankah sangat mungkin untuk mencari solusi permasalahan ini dalam khazanah syari’at Islam yang memiliki kompleksitas dan sempurna?
Tulisan ini merupakan karya seorang ulama yang bernama Dr. Muhammad Nasir Al Humaid. Beliau salah seorang staf pengajar di Jami’ah Islamiyah Al Madinah. Tulisan yang merupakan refleksi terhadap masyarakat dunia Islam yang kini semankin jauh dari pedoman Al Qur’an dan Sunnah. Akibat dari itu, upaya syari’at untuk menciptakan tatanan masyarakat Islam yang baik dan benar dengan jalinan pernikahan mulai goyah dengan banyaknya kasus perceraian.
Dalam tulisan ini, beliau menyebutkan beberapa point penting yang menjadi penyebab perceraian. Kebanyakan dari sebab-sebab itu, dapat diantisipasi dan ada solusinya. Namun, ada pula yang tidak memiliki alternatif lain, kecuali perceraian.
Beliau membagi sebab perceraian ini menjadi tiga bagian. Pertama, sebab perceraian yang datangnya dari suami. Kedua, sebab perceraian yang datangnya dari istri. Ketiga, sebab perceraian yang disebabkan oleh keluarga kedua pasangan suami-istri.
SEBAB PERCERAIAN YANG DATANG DARI SUAMI DAN SOLUSINYA
Pertama : Suami tidak menunaikan kewajiban -yang dibebankan Allah kepadanya- terhadap istri, yang dikarenakan faktor jahil (tidak mengerti), lalai, atau karena sengaja menentang syari’at Allah.
Selayaknya, seorang suami belajar untuk mengetahui tentang hak-hak istrinya. Tidak menggagap hal ini sepele, dan hendaklah dia takut kepada Allah dalam mempergauli istrinya. dengan demikian, diharapkan bahtera rumah tangga yang mereka arungi bersama akan tetap langgeng di bawah naungan syari’at Islam yang mulia. Diantara hak-hak istri terhadap suaminya, yaitu agar suami memperlakukan istri dengan baik, memberinya nafkah, menghormatinya, berlemah-lembut, memaklumi kekurangan istrinya, dan berhias di hadapannya.
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata,”Aku sangat senang dan berupaya untuk berhias di hadapan istriku, sebagaimana akupun senang jika dia berdandan untuk diriku, karena Allah berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Bagi mereka (para istri) terdapat hak-hak yang wajib ditunaikan (terhadap suami mereka), sebagaimana mereka memiliki hak-hak yang wajib ditunaikan suami. [Al Baqarah:228].[1]
Kedua : Tidak mematuhi wasiat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, (yaitu) agar menikahi wanita yang taat agama, sebagaimana dalam sabdanya,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذاَتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, maupun agamanya; maka carilah yang taat beragama.[2]
Ketika salah seorang dari pasangan tersebut taat beragama, sementara yang lainnya tidak taat, pasti akan terjadi berbagai macam prahara antara keduanya. Seorang yang taat beragama akan berbuat hal-hal yang diridhai Allah, sedangkan pasangannya yang tidak taat, pasti akan menurutkan hawa nafsunya.
Seyogyanya, seorang pria yang akan meminang wanita agar mengindahkan pesan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, untuk mencari pasangan yang taat beragama -walaupun harus menunggu lama- hingga mendapatkan wanita tersebut. Dengan menikahi wanita yang taat beragama, niscaya suami akan dapat mengarungi bahtera rumah tangga dengan penuh bahagia, dengan izin Allah tentunya.
Seorang suami memiliki tanggung jawab yang besar untuk mendakwahi istrinya dan menasihatinya dengan penuh kesabaran, bijaksana dan lemah-lembut. AllahSubhanahu wa Ta'alal berfirman,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
Dan perintahkan keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah atasnya. [Thaha:132].
Allah juga berfirman.
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ
Dan serulah manusia ke jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik. [An Nahl:125].
Dengan demikian, diharapkan istri akan dapat menjadi lebih baik dengan izin Allah.
Ketiga : Kondisi rumah tangga yang jauh dari suasana religius serta taat kepada Allah, apalagi jika di dalam rumah itu terdapat berbagai macam sarana yang merusak, seperti: siaran televisi, majalah-majalah ataupun CD-CD yang meruntuhkan sendi-sendi moral.
Selayaknya, dalam rumah seorang mukmin selalu dibaca Al Qur’an, khususnya surat Al Baqarah yang memiliki keutamaan. Sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ, إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفُرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ
Janganlah kalian menjadikan rumah kalian seperti kuburan; sesungguhnya syetan-syetan akan berlari menjauh dari rumah-rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah. [3]
Dengan demikian jelaslah, bahwa rumah yang tidak pernah dibacakan Al Qur’an, bahkan justru dipenuhi dengan sarana-saranan maksiat yang mengundang murka Allah, (maka rumah itu) akan digandrungi syetan-syetan. Akhirnya, ketenangan dan ketenteraman pun sirna, yang berakibat hancur luluhnya mahligai rumah tangga yang telah dibina.
Seyogyanya, pasangan suami-istri berupaya menjaga rumah mereka agar tidak dimasuki syetan-syetan, sebagaimana mereka menjaganya agar tidak dimasuki pencuri. Keduanya harus menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya, daripada sibuk bergelimang maksiat yang dapat membinasakannya. Hiasihlah rumah dengan dzikrullah, ataupun siaran tilawah Al Qur’an. Itulah sebaik-baik teman di rumah. Allah berfirman.
أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Ingatlah dengan dzikir kepada Allah, hati menjadi tenteram. [Ar Ra'du:28].
Seorang mukmin yang berakal jangan terkecoh, jika melihat rumah tangga yang penuh bergelimang kemaksiatan dan kemungkaran, namun seolah-olah kedua pasangan suami-istri (tersebut) hidup dengan rukun dan damai tanpa ada perselisihan. Dalam satu hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الله يُعْطِيْ الدُّنْيَا مَنْ أَحَبَّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ وَلَا يُعْطِيْ الدِّيْنَ إِلَّا ِلمَنْ أَحَبَّ
Sesungguhnya Allah ta'ala memberikan nikmat dunia kepada orang-orang yang dicintainya maupun yang dibencinya; tetapi Dia tidak akan memberikan nikmat beragama, kecuali kepada orang-orang yang dicintaiNya semata.[4]
Allah sengaja memberi tangguh kepada para pelaku kemaksiatan, sebagaimana dalam firmanNya,
لاَيَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلاَدِ ؛ مَتَاعُُ قَلِيلُُ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
Janganlah tertipu dengan perbuatan orang-orang kafir di muka bumi. Sesungguhnya itu hanyalah kenikmatan sesaat, kemudian mereka akan dimasukkan ke neraka Jahannam. Itulah seburuk-buruk tempat. [Al Imran:196-197].
Sebagaimana firmanNya,
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِئَايَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لاَيَعْلَمُونَ ؛ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ ؛
Dan orang-orang yang mendustakan ayat Kami, akan Kami beri tangguh mereka, tanpa mereka ketahui. kemudian akan Aku berikan mereka tempo waktu. Sesungguhnya, tipu dayaKu sangat kuat. [Al A'raf:182-183].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الله لَيُمْلِيْ لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذاَ أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ
Sesungguhnya, Allah sengaja menangguhkan (hukuman) terhadap seorang yang zhalim, ketika sampai masanya, maka Allah akan menghukumnya dengan tanpa memberi peluang lagi. [5]
Orang yang mau memperhatikan rumah-rumah yang di dalamnya penuh kemaksiatan, akan mendapati, bahwa tidak selamanya mereka hidup dengan damai. Pasti banyak diantara mereka yang hidup dalam kegoncangan dan kegelisahan. Firman Allah Ta'ala,
مَّنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَانَشَآءُ لِمَن نُّرِيدُ
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka akan kami berikan kepada siapa-siapa yang kami kehendaki. [Al Isra:18].
Jelaslah, bahwa tidak semua orang yang menginginkan kesenangan dunia akan mendapatkannya.
Keempat : Suami yang tidak penyabar. Mungkin, faktor ini terjadi karena kelalaiannya, ataupun ketidaktahuannya watak dasar dan tabiat wanita yang Allah ciptakan. Wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
استوصوا بالنساء خيرا فإنهن خلقن من ضلع وإن أعوج شيء في الضلع أعلاه, فإن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بالنساء خيرا
Berbuat baiklah kalian dalam mempergauli wanita. Sesungguhnya, mereka tercipta dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya, tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang paling di atas. Jika engkau berusaha untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Jika engkau biarkan, maka dia akan tetap bengkok. Maka, berbuat baiklah kalian kepada mereka.[6]
Dalam riwayat lain,
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضَلْعٍ وَلَنْ تَسْتَقِيْمَ عَلىَ طَرِيْقَةٍ فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ, وَ إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا, وَكَسْرُهَا طَلَاقُهَا
Sesungguhnya, wanita tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, dan dia tidak akan mungkin dapat tetap istiqomah dengan satu kondisi. Jika engkau bersenang-senang dengannya, maka engkau akan dapati itu padanya, namun dia tetap akan bengkok. Jika engkau berusaha untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya, mematahkannya berarti engkau menceraikannya.[7]
Hendaklah suami menyadari tabiat dasar dan fitrah wanita, agar dapat menyikapinya dengan bijak dan sabar, karena ini adalah kodrat semua wanita. Dengan demikian, suami dapat memaklumi kekeliruan-kekeliruan yang mereka perbuat dan tidak perlu diambil hati. Hasan Basri rahimahullah berkata, "Seorang lelaki mulia tidak akan terlampau memperhitungkan segala kekeliruan istrinya."[8]
Kelima : Kemarahan yang meluap banyak menjadi penyebab suami terlampau cepat menjatuhkan thalak. Bahkan, sebagaian suami ada yang memiliki tabiat jelek, (yaitu) selalu mengancam akan menceraikan istri, jika melanggar apa yang dibencinya, walaupun hanya sepele.
Seharusnya suami dapat menahan gejolak kemarahan, dan berupaya untuk diam. Jangan sampai suami berbicara semaunya, hingga tanpa sadar mengeluarkan kata-kata "thalak". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Bukanlah orang kuat itu yang dapat menjatuhkan lawan dalam berkelahi, (tetapi) orang yang kuat ialah orang yang dapat meredam kejolak marah, ketika dia akan marah.[9]
Dalam suatu riwayat, pernah seseorang datang menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata,"Berilah aku nasihat," Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Janganlah engkau marah," dia kembali bertanya dan Nabi masih terus mengulangi,"Janganlah engkau marah." [10]
Kiat Rasululullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Dalam Mengantisipasi Marah.
• Berusaha untuk diam ketika akan marah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
وَإِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُتْ, وَإِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُتْ
Jika engkau marah, maka diamlah. Jika engkau marah, maka diamlah. [11]
• Berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk.
Sulaiman Ibnu Sard Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan, pernah dua orang saling mencerca satu sama lainnya di hadapan Rasulullah. Sementara itu, kami sedang duduk di sisinya. Salah seorang dari mereka menghina yang lainnya dengan marah, hingga merah mukanya. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالهَاَ لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَو قَالَ: أَعُوْذُ بِالله مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ...
Aku mengetahui suatu kalimat, jika diucapkan olehnya (laki-laki yang merah mukanya, Red.), maka akan hilang kemarahannya. Hendaklah dia berkata: Audzubillahi minasysyaithannirrajim (artinya, aku berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk).[12]
• Jika sedang marah, berusahalah untuk duduk. Jika ternyata masih marah, maka hendaklah berbaring. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِذاَ غَضَبَ أَحَدُكُمْ وَ هُوَ قَائِمٌ فًلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ و َإِلَّا فَلْيَضْطَجْع
Jika salah seorang kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri, maka hendaklah duduk. Jika masih belum reda marahnya, maka hendaklah berbaring.[13]
• Berwudhu, sebab wudhu dapat memadamkan kemarahan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ نَارٍ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النًارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Sesungguhnya, kemarahan itu berasal dari syetan. Dan syetan tercipta dari api. Dan sesungguhnya, api itu dapat dipadamkan dengan air. Jika salah seorang diantara kalian marah, maka berwudhulah. [14]
• Keluar dari rumah guna menghidari pertengkaran.
Dalam hal ini pernah terjadi pada Ali, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahl Ibn Sa'ad, dia menceritakan, Rasulullah mendatangi rumah Fatimah, namun beliau tidak menemukan Ali. Maka beliau bertanya kepada Fatimah,"Mana anak pamanmu (Ali)?”Fathimah menjawab,"Kami sedang bertengkar yang membuat aku marah, maka dia keluar dan tidak tidur siang di rumahku.” Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada seseorang,"Carilah dimana dia!” Kemudian orang tadi datang dan berkata,"Wahai Rasulullah, dia di masjid sedang tidur,” maka Rasulullah mendatanginya dalam keadaan berbaring, selendangnya terjatuh dari bahunya dan badannya berdebu, maka Rasulullah mengusap debu darinya dan berkata,"Bangunlah wahai Abu Turaab, bangunlah wahai Abu Turaab!" [15]
Kedua suami-istri hendaklah berusaha untuk tidak memancing kemarahan pasangannya, apalagi keduanya telah saling memahami tabiat masing-masing. Dalam hal ini, istri harus berupaya menghindari hal-hal yang membuat suami emosi, dan akhirnya menjatuhkan thalak.
Keenam : Perilaku suami yang jelek acapkali membuat istri menuntut khulu' (minta diceraikan dengan mengembalikan mahar yang diberikan suami). Banyak suami yang memiliki perangai yang jelek, bermulut keji, selalu mengumpat, melaknat ataupun selalu memukul istri.
Hendaklah para suami takut kepada Allah dalam mempergauli istri. Seharusnya dia bersyukur kepada Allah yang telah memberinya istri. Yang sang istri ini dapat meredam gejolak syahwatnya dan menjadikannya iffah (menjaga kesucian diri), apalagi jika istri telah melahirkan anak-anaknya. Bukankah hal ini sepatutnya menjadikannya bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat.
إِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
Berbuat baiklah kalian dalam mempergauli para istri.
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ
Ingatlah, berbuat baiklah kalian dalam mempergauli para istri. Sesungguhnya, mereka adalah 'awanin [1] (tawanan) di sisi kalian.[2]
Rasulullah bersabda,”Janganlah kalian pukul para istri kalian,” maka Umar datang kepada Rasulullah dan berkata,"Zu'irna [3] an nisa (para istri telah berani menentang para suami),” maka Rasulullah memperbolehkan para suami untuk memukul istrinya. Setelah itu, datanglah para wanita ke rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengadu perlakuan suami mereka, maka Rasulullah berkata,”Banyak para wanita datang ke rumah keluarga Muhammad mengadukan perlakuan suami mereka. Sesungguhnya, para suami yang berbuat itu (memukul istri) bukanlah orang-orang yang terbaik diantara kalian.” [4]
Beliau juga bersabda.
لَا يَجْلِدُ أَحَدُكُمْ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ
Janganlah salah seorang kalian memukul istrinya seperti memukul hamba, kemudian dia mencampurinya di penghujung hari. [5]
Dalam riwayat lain disebutkan.
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فَيَجْلِدُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ فَلَعَلَّهُ يُضَاجِعُهَا مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ
Kenapa salah seorang kalian memukul istrinya sebagaimana memukul hamba, kemudian menyetubuhinya di penghujung hari? [6]
Ketujuh : Suami ingin menguasai harta istri, atau memaksa istri agar memberikan harta yang dimilikinya itu kepadanya. Kasus ini banyak menimpa para istri yang memiliki pekerjaan. Biasanya akan merusak hubungan antara keduanya, dan tidak sedikit berakhir dengan perceraian.
Allah berfirman.
وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَآءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلآَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ
Janganlah kalian menahan mereka (para istri) (untuk dapat menikah) agar kalian dapat membawa sebagian dari harta yang mereka berikan kepada kalian, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. [An Nisa:19].
Allah berfirman.
فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
Jika mereka dengan rela memberikan kepada kalian harta mereka, maka makanlah dengan baik-baik. [An Nisa:4].
Tidak halal bagi suami mengambil harta istri, kecuali dengan kerelaannya atau jika istri berbuat nuzus. Ketika seorang pria menikahi wanita yang berharta, jika menginginkan harta istrinya, maka dituntut darinya untuk berlemah-lembut. Cara ini lebih efektif baginya untuk mendapatkan keinginannya. Cara lain yang diizinkan untuknya, yaitu dengan mengajukan persyaratan, bahwa istri harus membantunya dengan memberikan sebagian dari hasil gajinya. Dan hal ini sah-sah saja; apalagi dengan bekerjanya sang istri, akan mengurangi sedikit banyak perhatian dan kewajibannya terhadap suami. Demikian ini tidak dapat diingkari, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Kaum muslimin wajib menepati janji (kesepakatan) yang mereka perbuat, kecuali kesepakatan yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan yang haram.[7]
Berapa banyak rumah tangga hancur berantakan ketika istri tidak memberikan apa yang diharapkan suami. Para istri hendaklah memahami hal ini, demi menjaga kelangsungan rumah tangga dan demi kemaslahatan anak-anak agar tidak terlantar. Allah berfirman, وَالصُّلْحُ خَيْرٌ(Sesungguhnya berdamai itu lebih baik). Perbuatan wanita memberikan sebagian harta kepada suami adalah merupakan upaya untuk berdamai. Semoga Allah akan memberikan kepadanya ganjaran terbaik. Allah berfirman.
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ
Barangsiapa yang memaafkan dan berbuat islah, maka ganjaran pahalanya di sisi Allah. [Asy Syura:40]
Kedelapan : Sikap acuh suami terhadap istri.
Banyak para suami tidak memberikan perhatian yang cukup dan lebih senang tidur di luar rumah daripada berkumpul dan berkomunikasi dengan istri. Apalagi, terkadang kesibukannya di luar rumah dalam hal-hal yang sepele dan tidak bermanfaat.
Seorang suami dituntut untuk dapat memberikan waktu dan perhatian yang cukup kepada istri. Tidak dibenarkan terus-menerus meninggalkan istri, walaupun dengan dalih sibuk mengerjakan ibadah-ibadah, seperti puasa sunnah maupun shalat malam. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Jasadmu memiliki hak (beristirahat), matamu memiliki hak (untuk tidur), dan istrimu memiliki hak atas dirimu.[8]
Pernah seorang wanita mendatangi Umar Ibn Al Khathab untuk mengadu,”Wahai, Amirul Mukminin. Suamiku seorang yang selalu berpuasa dan shalat malam. Aku sebenarnya enggan melaporkannya kepadamu karena sikapnya yang selalu melaksanakan ibadah-ibadah sunnah1.” Umar menjawab,”Alangkah bagusnya suamimu,” namun wanita itu masih mengulangi perkataannya, dan Umar menjawab jawaban yang sama. Akhirnya, Ka'ab Al Asadi berkata,”Wahai, Amirul Mukminin. Wanita ini sebenarnya mengadukan sikap suaminya yang tidak peduli lagi padanya,” maka Umar berkata,”Sebagaimana yang engkau pahami dari wanita ini, maka engkau kuserahkan untuk mengadili perkara ini.” Akhirnya Ka'ab memanggil suami wanita itu. Ketika (suami wanita itu) datang, Ka'ab berkata kepadanya,”Istrimu mengadukan engkau kepada Amirul Mukminin.” Dia bertanya,”Karena apa? Apakah karena tidak kuberi makan ataupun minum?” Ka'ab menjawab,”Tidak.”
Akhirnya wanita itu berkata:
يَاأَيُّهَا الْقَاضِي الْحَكِيْمُ رُشْدُهُ أَلْهَى خَلِيْلِيْ عَنْ فِرَاشِي مَسْجِدُهُ
زَهَدَهُ فِي مَضْجَعِي تَعَبُّدُهُ فَاقْضِ الْقُضَا كَعْبُ وَلاَ تُرَدِّدُهُ
نَهَارُهُ وَلَيْلُُهُ مَا يَرْقُدُهُ فَلَسْتُ فِي أَمْرِ النِِّسَاءِ أَحْمَدُهُ
Wahai hakim yang bijaksana,
Masjid telah melalaikan suamiku dari tempat tidurku
Beribadah membuatnya tidak membutuhkan ranjangku
Adililah perkara ini, wahai Ka'ab dan jangan kau tolak
Siang dan malam tidak pernah tidur
Dalam hal mempergauli wanita, aku tidak memujinya
Kemudian suaminya menjawab:
زَهَدَنِي فِي فِرَاشِهَا وَفِي الْحَجَلِ أَنِّي امْرُؤٌ أَذْهَلَنِي مَا قَدْ نَزَلَ
فِي سُوْرَةِ النَّحْلِ وَفِي السَّبْعِ الطُّوْلِ وَفِي كِتَابِ اللهِ تَخْوِيْفٌ جَلَحَ
Aku Zuhud tidak mendatangi ranjang dan biliknya
Karena aku telah dibuat sibuk dan binggung dengan apa yang telah turun
Yaitu surat An Nahl dan tujuh surat yang panjang
Dan Kitab Allah membuat hatiku takut dan risau
Setelah mendengar ini, Ka'ab berkata:
إِنَّ لَهَا عَلَيْكَ حَقًّا يَا رَجُلُ نَصِيْبُهُا فِي أَرْبَعَ لِمَنْ عَقَلَ
فَاعْطِهَا ذَاكَ وَدَعْ عَنْكَ الْعِلَلَ
Dia memiliki hak atasmu, wahai lelaki
Jatahnya empat hari bagi orang yang berakal
Berikah hak itu, dan tinggalkan cela yang ada padamu [9]
Kesembilan : Sepele dengan lafazh “thalak”.
Sebagian suami, sering terlihat begitu ringannya mengeluarkan kata-kata “thalak” kepada istrinya. Terkadang sambil bergurau meluncur dari mulutnya ucapan talak. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ
Tiga macam perkara akan tetap terjadi, walaupun diucapkan dengan sungguh-sungguh ataupun dengan bergurau, yaitu: nikah, talak, dan ruju'.[10]
Selayaknya, seorang suami menjaga lidahnya. Tidak menyepelekan lafazh thalak, yang tanpa disadarinya dapat meruntuhkan bangunan rumah tangga, hingga akhirnya dapat mendatangkan penyesalan yang berkepanjangan, setelah nasi menjadi bubur.
Kesepuluh : Ila' (sumpah suami) untuk tidak mencampuri istrinya selamanya, ataupun lebih dari empat bulan.
Demikian Ini merupakan bentuk kezhaliman suami terhadap istri. Pada kondisi seperti ini, istri berhak menuntut perceraian setelah lewat empat bulan. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Bagi suami-suami yang bersumpah tidak mencampuri istrinya, maka istri menunggu selama empat bulan. Jika dia kembali dalam masa itu kepada istrinya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang. Jika dia berniat untuk menceraikannya, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Mengetahui. [Al Baqarah: 226-227].
Maka hendaknya para suami tidak menzhalimi hak-hak istri. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Takutlah kalian berbuat zhalim. Sesungguhnya, kezhaliman itu kegelapan pada hari kiamat. [11]
Jika masa empat bulan akan berakhir, seharusnya dia ruju' kepada istrinya, sebagaimana dianjurkan Allah dalam firmanNya: Jika dia kembali dalam masa itu kepada istrinya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang (Al Baqarah:226). Jika tidak ruju’, maka wajib atasnya menceraikan istrinya, jika si istri menuntutnya. Namun, jika istri sabar (tidak minta cerai, walaupun telah lewat empat bulan), demi kepentingan anak ataupun hal lainnya, maka boleh saja selama dirinya yakin terjaga dari perbuatan haram. Insya Allah dia (istri) akan mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda dari Allah, dengan harapan semoga suaminya kelak mendapat petunjuk dari Allah. Allah berfirman.
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, akan dimudahkan baginya segala urusannya. [Ath Thalaq:4].
Kesebelas : Merasa tidak senang karena istri melahirkan anak perempuan. Karena faktor kejahilan, sebagian suami mengancam akan menceraikan istrinya, jika mendapat bayi perempuan.
Sebenarnya wajib baginya beriman dengan ketetapan Allah dan takdirNya. Bayi wanita ataupun pria itu lahir atas kehendakNya semata. Adapun manusia, tidak bisa memilih. Allah berfirman.
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَايَشَآءُ وَيَخْتَارُ مَاكَانَ لَهُمُ الْخِيرَةُ
Dan Rabb-mu yang mencipta apa-apa yang dikehendakiNya dan memilih, tidak ada hak manusia untuk memilih. [Al Qhasas: 68].
Allah juga berfirman.
وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ الذُّكُورَ أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَن يَشَآءُ عَقِيمًا
Dia memberikan siapa-siapa yang dikehendakiNya bayi perempuan, dan memberikan siapa-siapa yang dikehendakiNya bayi laki-laki, Dia juga yang menjadikan siapa-siapa yang dikehendakiNya mandul. [Asy Syura:49-50].
Keduabelas : Muncul perasaan tidak suka terhadap istri, karena selalu membandingkan istrinya dengan wanita lain yang lebih baik dari istrinya dalam agama, akhlak, kecantikan, ilmu, kecerdasan dan sebagainya. Akhirnya, suami menjauhi istrinya tanpa ada sebab syar'i, seperti: istri meyeleweng ataupun menentang suami.
Seharusnya suami bersabar agar dia beruntung mendapatkan janji Allah.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Dan bergaullah kepada mereka dengan baik. Bias jadi kalian membenci sesuatu, namun Allah menjadikan di dalamnya kebaikan yang banyak. [An Nisa:19].
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibn Abbas berkata,”Suami berlemah-lembut terhadap istrinya, maka Allah memberikan karunia anak-anak yang baik-baik.”
Ibnu Katsir berkata,”Mungkin sikap sabar kalian dengan tidak menceraikan istri yang tidak kalian sukai, akan membuahkan kebahagian bagi kalian di dunia dan akhirat.”
Imam Asy Syaukani berkata,”Semoga sikap benci kalian terhadap istri, akan digantikan Allah dengan sikap cinta yang akan mendatangkan kebaikan yang banyak, hubungan yang mesra ataupun rezeki anak-anak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
(Janganlah seseorang membenci pasangannya. Jika ia benci kepada salah satu sikap istrinya, pasti dalam hal lain ia akan rela).” [12]
Diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata,”Sangat sedikit rumah tangga yang dibangun di atas cinta. Namun, kebanyakan manusia bergaul (menikahi) pasangannya dengan dasar Islam, menyambung nasab ataupun untuk berbuat ihsan.” [13]
Ibnul Arabi menyebutkan dengan sanadnya dan berkata,”Ada seorang syaikh yang dikenal berilmu dan memiliki kedudukan, bernama Abu Muhammad Ibn Abi Zaid [14]. Istrinya berperangai jelek, tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri dan selalu menyakiti suaminya dengan lidahnya. Orang-orang banyak yang heran dan mencela sikap sabarnya terhadap sang istri. Jika ditanya perihal sikap sabarnya terhadap istrinya, Abu Muhammad selalu berkata,”Aku telah diberikan Allah berbagai macam nikmat, berupa: kesehatan, ilmu dan budak-budak yang kumiliki. Mungkin sikap jelek istriku terhdapku disebabkan hukuman Allah kepadaku, karena dosa-dosaku. Aku takut, jika dia kuceraikan akan turun ujian kepadaku lebih berat dari ujian perangai istriku yang jelek.” [15]
Selayaknya, ini menjadi pelajaran berharga bagi para suami. Tidaklah menjadi masalah, jika ia ingin menikahi wanita lain sebagai tambahan. Allah berfirman.
فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
Nikahilah wanita-wanita yang baik-baik, dua, tiga ataupun empat. [An Nisa:3].
Ketigabelas : Kecenderungan suami kepada salah satu istrinya -jika memiliki lebih dari satu- dengan alasan takut berbuat dosa ; sehingga ia terpaksa menceraikan istri yang kurang disukainya.
Dalam kondisi seperti ini, selayaknya istri yang akan diceraikan berdamai dengan suaminya, sebagaimana firman Allah.
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرُُ
Jika seorang istri takut diceraikan oleh suaminya atau dijauhkan, maka tidak mengapa jika keduanya melaksanakan as sulhu (kesepakatan), dan berdamai itu lebih baik. [An Nisa:128] .
Dalam menafsirkan ayat ini, 'Aisyah berkata, ”Seorang suami melihat kekurangan pada istri yang tidak disukainya, seperti: usia yang telah tua dan sebab lainnya. Maka, ia berniat menceraikannya, namun istri memohon agar suami tidak menceraikannya, dan siap menerima apapun perlakuan suami terhadapnya. Demikian inilah solusi menghindari perceraian, jika keduanya sepakat.” [16]
Ibn Abbas meriwayatkan, ”Saudah takut Rasulullah menceraikannya (karena ia telah tua). Kemudian ia berkata,’Wahai Rasulullah, jangan ceraikan aku. Aku siap memberikan giliranku untuk ‘Aisyah,’ maka Rasul menerima usulan itu dan turunlah ayat: Tidak mengapa jika keduanya membuat kesepakatan, dan berdamai itu lebih baik.”[17]
Rafi’ Ibn Khadij menceritakan, bahwa ia memiliki istri yang telah tua. Kemudian ia menikahi wanita lain yang masih muda. Akhirnya Rafi’ lebih cenderung kepada istri yang muda. Melihat perlakuan Rafi', maka istrinya yang telah tua protes. Kemudian Rafi’ menjatuhkan thalak satu. Ketika masa iddahnya akan berakhir, Rafi’ berkata kepadanya,”Jika engkau mau, aku akan ruju' kepadamu; dengan syarat, engkau rela (dengan) perlakuanku padamu. Jika tidak, (maka) aku akan membiarkan hingga iddahmu selesai, dan tidak ruju' padamu,” maka istrinya menjawab,”Ruju'lah, aku akan berusaha sabar dengan sikapmu. Setelah Rafi ruju', ia kembali protes dengan perlakuan Rafi' kepadanya, maka Rafi’ memutuskan untuk menceraikannya. Rafi' berkata,”Itulah makna as sulhu yang telah diturunkan Allah dalam firmanNya: Jika seorang istri takut diceraikan oleh suaminya atau dijauhkan, maka tidak mengapa jika keduanya melaksanakan as sulhu (kesepakatan), dan berdamai itu lebih baik.” [18]
Jelaslah maksud pengertian sulhu dalam ayat, yaitu istri siap menerima apapun yang diberikan suami kepadanya, walaupun harus dengan mengurangi sebagian haknya, berupa kewajiban suami bermalam padanya ataupun nafkah. Hal ini demi menghindari perceraian, dan dia tetap menjadi istri. Karena hal ini akan lebih baik baginya, dibandingkan hidup tanpa suami. Apalagi jika dia memiliki anak-anak dari suaminya, atupun dia telah tua dan takut terhadap resiko perceraian. Ingatlah firman Allah: Dan berdamai itu lebih baik. [An Nisa:128].
Keempatbelas : Penyakit berkepanjangan yang menimpa suami. Terkadang hal ini menjadi penyebab istri menuntut cerai.
Andai saja istri mau bersabar dan tetap merawatnya dengan mengharap balasan dari Allah, hal itu akan lebih baik baginya, sebagaimana firman Allah.
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan diberi ganjaran yang tak terhingga. [Az Zumar:10]
Akan tetapi, jika dirinya takut akan tergelincir ke dalam perbuatan haram dengan menyeleweng, disebabkan sang suami tidak lagi dapat melayani kebutuhan biologisnya, (maka) dalam kondisi seperti ini, tidak mengapa dia menuntut agar diceraikan demi menjaga agama dan kesucian dirinya; memelihara perkara ini merupakan sesuatu yang wajib.
Kelimabelas : Sikap curiga suami terhadap istri, akibat pengaruh bisikan syetan. Seharusnya dia berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk, dan tidak berperasangka buruk. Allah berfirman.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ
Wahai orang-orang beriman, jauhilah prasangka buruk, sesungguhnya prasangka buruk itu adalah dosa. [Al Hujurat:12].
Suami harus sadar, bahwa perkara yang paling diupayakan syetan ialah memisahkan antara dua suami istri. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda.
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ
Sesungguhnya Iblis meletakkan kerajaannya di atas air, kemudian dia mengurus para tentaranya. Yang paling tinggi kedudukannya adalah syetan yang paling besar fitnahnya terhadap manusia. Salah satu dari mereka berkata kepada Iblis,”Aku telah berbuat begini dan begini,” Iblis menjawab,”Engkau belum berbuat apa-apa,” kemudian datang syetan yang lain dan berkata,”Tidaklah aku meninggalkan seseorang yang aku goda, hingga aku berhasil memisahkan dia dengan istrinya,” maka Iblis mendudukkannya di dekatnya dan berkata,”Engkau sebaik-baik tentaraku.” [19]
Keenambelas : Suami berada di bawah kekuasan istri. Pindahnya tampuk kepemimpinan rumah tangga kepada sang istri, yang semestinya berada di tanggan suami. Padahal Allah berfirman.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Lelaki adalah pemimpin bagi wanita dengan kelebihan yang Allah limpahkan kepada sebagian dari mereka dan dengan sebab nafkah yang mereka berikan (kepada istri-istri). [An Nisa:34]
Ini bisa mutlak terjadi, dikarenakan kelemahan pribadi suami atau anggapannya yang keliru, bahwa sikapnya itu sebagai wujud penghormatan kepada istrinya. Sehingga ketika ia sadar dan ingin mengembalikan kepemimpinan itu kepadanya, ternyata ia tidak sanggup. Sehingga, akhirnya berujung pada perceraian.
Semenjak menikah, seorang suami harus benar-benar sadar, bahwa kepemimpinan rumah tangga wajib berada di tanggannya. Jangan sampai rasa cinta yang berlebihan atau rasa bangga dapat menikahi wanita tersebut, akhirnya membuat dia lemah di hadapan istri dan berujung dengan penyesalan tak berguna.
Ketujuhbelas : Suami datang ke rumah istri pada malam hari setelah lama bepergian tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hal ini terkadang membuatnya melihat hal-hal yang dibencinya, karena istri dalam keadaan tidak siap menyambutnya. Rasulullah bersabda.
إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمْ الْغَيْبَةَ فَلَا يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلًا
Jika kalian bepergian lama, maka janganlah kalian mendatangi rumah istri kalian pada malam hari.[20]
Dalam riwayat lain disebutkan.
كَيْ تَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ وَتَسْتَحِدَّ الْمُغِيبَةُ
Agar para istri yang lama ditinggalkan berhias dengan menyisir rambut dan mencukur bulu kemaluannya.[21]
Selayaknya suami mendatangi rumah istrinya pada siang hari ketika ia pulang dari bepergian dalam masa yang lama, dan dengan memberitahukan terlebih dahulu perihal kepulangannya, istri agar tidak terkejut.
Kedelapanbelas : Rumah tangga yang dibina atas dasar surat-menyurat, ataupun saling berkomunikasi melalui telepon -yang popular dengan istilah pacaran sebelum menikah.
Mahligai rumah tangga yang dibanggun di atas pondasi kropos seperti ini, biasanya akan berujung dengan kehancuran. Aِِllah berfirman.
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرْفٍ هَارٍ فَانْهَارَبِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Apakah sama orang yang membangun pondasinya di atas taqwa dan keridhaan Allah dengan orang yang membangun pondasinya di atas jurang neraka, yang akhirnya membuatnya terperosok ke neraka Jahannam; sesungguhnya Allah tidak akan menunjuki orang yang berbuat kezhaliman. [At Taubah:109]
Ibn Sa'di rahimahullah berkata,”Sesungguhnya suatu perbuatan yang dikerjakan dengan ikhlas dan mengikuti sunnah, itulah makna dibangun di atas pondasi taqwa yang akan membuahkan surga penuh kenikmatan. Adapun perbuatan yang dibangun di atas niat buruk, bid'ah dan kesesatan, itulah pondasi yang dibangun di tepi jurang neraka, yang membuatnya terperosok ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak akan membimbing orang-orang yang zhalim.” [22]
Semestinya lelaki yang hendak melamar wanita datang kepada walinya, dan mendatangi rumah dari pintunya, sebagaimana firman Allah.
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
Namun kebajikan itu adalah orang yang bertaqwa, dan masukilah rumah-rumah melaui pintunya. [Al Baqarah: 189]
Ibn Sa'di berkata, ”Dari ayat ini dapat dipetik manfaat, bahwa selayaknya manusia masuk dalam berbagai macam urusan dari jalan yang paling mudah, dekat yang akan mengantarkannya sampai kepada tujuan.” [23]
Para wanita jangan sampai terjerumus kepada hubungan haram (pacaran) yang menipu; agar tidak mengundang murka Rabb-nya yang akan mendatangkan kegagalan dalam hidupnya.
Kesembilanbelas : Ketika proses lamaran, suami tidak melihat calon istri. Terkadang dalam benaknya, suami berkhayal mengenai sosok istri yang ideal. Namun, selesai akad -ketika masuk ke kamar- dia terkejut melihat istri yang tidak seideal dalam alam khayalnya. Biasanya, ini akan membuatnya menjauh dari sang istri.
Karena itu, seharusnya calon suami melihat terlebih dahulu calon wanita yang akan dilamarnya. Pihak keluarga wanita jangan sampai menghalanginya, karena hal ini merupakan perintah Rasulullah n dan menjadi salah satu faktor yang dapat melanggengkan perkawinan.
Dari Mughirah Ibn Syu'bah, bahwa ia melamar seorang wanita, maka Rasulullah berkata kepadanya.
انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah kepadanya, karena hal itu akan melangengkan hubungan kalian berdua.[24]
Keduapuluh :Telat menikah. Para pakar berpendapat, bahwa terlambat menikah akan membuahkan hubungan yang tidak bahagia dan harmonis sebagaimana yang diimpikannya. Penyebabnya, karena keduanya telah banyak mengecap berbagai macam nilai-nilai ataupun norma-norma lingkungan dengan beragam coraknya. Hal ini membuatnya sulit untuk menyesuaikan tabiatnya dengan tabiat pasangannya. Hingga akhirnya banyak permasalahan yang muncul akibat benturan dua watak yang berbeda yang sulit dikompromikan. Survei maupun fakta yang ditemukan para pakar di lapangan membuktikan, bahwa hubungan perkawinan pasangan telat nikah akan segera cerai-berai dan bangunan rumah tangga yang mereka bina akan segera runtuh.
Oleh karena itu, selayaknya para pemuda bersegera menikah dan merealisasikannya. Kami ingatkan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ
Tiga macam manusia wajib bagi Allah membantunya; seorang mujahid di jalan Allah, budak yang ingin menebus diri untuk dapat merdeka dan seorang yang akan menikah untuk ‘iffah. [25]
Hadits ini memberikan motivasi kepada para pemuda, bahwa Allah berjanji akan menolongnya dan memudahkan urusannya, jika dia berazzam untuk menikah. Sehingga tidak ada lagi alasan baginya, kecuali mulai berusaha untuk merealisasikannya dan bertawakkal kepada Allah.
Hendaklah diketahui, bahwa menikah di usia dini akan memudahkan pasagan suami istri untuk dapat saling berinteraksi dan memahami tabiat masing-masing. Terlebih lagi nikah dini sangat efektif untuk menjaga kesucian umat, berdampak positif untuk kesehatan dan kedewasan berfikir, sebagaimana realita telah terbukti. Karena itulah Islam menganjurkannya.
Sebaliknya kaum wanita juga jangan telat menikah. Nikah dini lebih mendukung kebahagian rumah tangga, sebagaimana disebutkan di atas. Jika datang kepadanya pria yang sekufu' (setara), maka wajib baginya untuk menerima dan tidak menolak, walaupun dengan alasan studi dan sebagainya. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang datang. Bias jadi, tidak akan pernah lagi datang kepadanya lelaki yang sekufu’ atau malah tidak akan datang seorangpun yang melamarnya.
Jika ternyata masih ingin sekolah, hendaklah dia membuat perjanjian terlebih dahulu kepada suaminya, kecuali jika ternyata persyaratan ini akan menjadi sandungan dalam kehidupan rumah tangga. Jika ini terjadi, maka wajib baginya mendahulukan perkara yang dapat mendatangkan ketentraman dan mensucikan dirinya dengan memilih menikah. Hendaklah dia mengambil pelajaran dari para wanita yang telat menikah. Dikarenakan sebab-sebab di atas, akhirnya mereka banyak kehilangan kesempatan dan pahala.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
Syaikh Dr. Muhammad Nasir Al Humaid
Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan, banyaknya terjadi kasus perceraian di dunia Islam yang disebabkan berbagai macam faktor, yang sebenarnya dapat diantisipasi. Padahal dampaknya sangat mengkhawatirkan di masyarakat; secara individual maupun kelompok masyarakat. Bukankah sangat mungkin untuk mencari solusi permasalahan ini dalam khazanah syari’at Islam yang memiliki kompleksitas dan sempurna?
Tulisan ini merupakan karya seorang ulama yang bernama Dr. Muhammad Nasir Al Humaid. Beliau salah seorang staf pengajar di Jami’ah Islamiyah Al Madinah. Tulisan yang merupakan refleksi terhadap masyarakat dunia Islam yang kini semankin jauh dari pedoman Al Qur’an dan Sunnah. Akibat dari itu, upaya syari’at untuk menciptakan tatanan masyarakat Islam yang baik dan benar dengan jalinan pernikahan mulai goyah dengan banyaknya kasus perceraian.
Dalam tulisan ini, beliau menyebutkan beberapa point penting yang menjadi penyebab perceraian. Kebanyakan dari sebab-sebab itu, dapat diantisipasi dan ada solusinya. Namun, ada pula yang tidak memiliki alternatif lain, kecuali perceraian.
Beliau membagi sebab perceraian ini menjadi tiga bagian. Pertama, sebab perceraian yang datangnya dari suami. Kedua, sebab perceraian yang datangnya dari istri. Ketiga, sebab perceraian yang disebabkan oleh keluarga kedua pasangan suami-istri.
SEBAB PERCERAIAN YANG DATANG DARI SUAMI DAN SOLUSINYA
Pertama : Suami tidak menunaikan kewajiban -yang dibebankan Allah kepadanya- terhadap istri, yang dikarenakan faktor jahil (tidak mengerti), lalai, atau karena sengaja menentang syari’at Allah.
Selayaknya, seorang suami belajar untuk mengetahui tentang hak-hak istrinya. Tidak menggagap hal ini sepele, dan hendaklah dia takut kepada Allah dalam mempergauli istrinya. dengan demikian, diharapkan bahtera rumah tangga yang mereka arungi bersama akan tetap langgeng di bawah naungan syari’at Islam yang mulia. Diantara hak-hak istri terhadap suaminya, yaitu agar suami memperlakukan istri dengan baik, memberinya nafkah, menghormatinya, berlemah-lembut, memaklumi kekurangan istrinya, dan berhias di hadapannya.
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata,”Aku sangat senang dan berupaya untuk berhias di hadapan istriku, sebagaimana akupun senang jika dia berdandan untuk diriku, karena Allah berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Bagi mereka (para istri) terdapat hak-hak yang wajib ditunaikan (terhadap suami mereka), sebagaimana mereka memiliki hak-hak yang wajib ditunaikan suami. [Al Baqarah:228].[1]
Kedua : Tidak mematuhi wasiat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, (yaitu) agar menikahi wanita yang taat agama, sebagaimana dalam sabdanya,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذاَتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, maupun agamanya; maka carilah yang taat beragama.[2]
Ketika salah seorang dari pasangan tersebut taat beragama, sementara yang lainnya tidak taat, pasti akan terjadi berbagai macam prahara antara keduanya. Seorang yang taat beragama akan berbuat hal-hal yang diridhai Allah, sedangkan pasangannya yang tidak taat, pasti akan menurutkan hawa nafsunya.
Seyogyanya, seorang pria yang akan meminang wanita agar mengindahkan pesan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, untuk mencari pasangan yang taat beragama -walaupun harus menunggu lama- hingga mendapatkan wanita tersebut. Dengan menikahi wanita yang taat beragama, niscaya suami akan dapat mengarungi bahtera rumah tangga dengan penuh bahagia, dengan izin Allah tentunya.
Seorang suami memiliki tanggung jawab yang besar untuk mendakwahi istrinya dan menasihatinya dengan penuh kesabaran, bijaksana dan lemah-lembut. AllahSubhanahu wa Ta'alal berfirman,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
Dan perintahkan keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah atasnya. [Thaha:132].
Allah juga berfirman.
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ
Dan serulah manusia ke jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik. [An Nahl:125].
Dengan demikian, diharapkan istri akan dapat menjadi lebih baik dengan izin Allah.
Ketiga : Kondisi rumah tangga yang jauh dari suasana religius serta taat kepada Allah, apalagi jika di dalam rumah itu terdapat berbagai macam sarana yang merusak, seperti: siaran televisi, majalah-majalah ataupun CD-CD yang meruntuhkan sendi-sendi moral.
Selayaknya, dalam rumah seorang mukmin selalu dibaca Al Qur’an, khususnya surat Al Baqarah yang memiliki keutamaan. Sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ, إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفُرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ
Janganlah kalian menjadikan rumah kalian seperti kuburan; sesungguhnya syetan-syetan akan berlari menjauh dari rumah-rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah. [3]
Dengan demikian jelaslah, bahwa rumah yang tidak pernah dibacakan Al Qur’an, bahkan justru dipenuhi dengan sarana-saranan maksiat yang mengundang murka Allah, (maka rumah itu) akan digandrungi syetan-syetan. Akhirnya, ketenangan dan ketenteraman pun sirna, yang berakibat hancur luluhnya mahligai rumah tangga yang telah dibina.
Seyogyanya, pasangan suami-istri berupaya menjaga rumah mereka agar tidak dimasuki syetan-syetan, sebagaimana mereka menjaganya agar tidak dimasuki pencuri. Keduanya harus menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya, daripada sibuk bergelimang maksiat yang dapat membinasakannya. Hiasihlah rumah dengan dzikrullah, ataupun siaran tilawah Al Qur’an. Itulah sebaik-baik teman di rumah. Allah berfirman.
أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Ingatlah dengan dzikir kepada Allah, hati menjadi tenteram. [Ar Ra'du:28].
Seorang mukmin yang berakal jangan terkecoh, jika melihat rumah tangga yang penuh bergelimang kemaksiatan dan kemungkaran, namun seolah-olah kedua pasangan suami-istri (tersebut) hidup dengan rukun dan damai tanpa ada perselisihan. Dalam satu hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الله يُعْطِيْ الدُّنْيَا مَنْ أَحَبَّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ وَلَا يُعْطِيْ الدِّيْنَ إِلَّا ِلمَنْ أَحَبَّ
Sesungguhnya Allah ta'ala memberikan nikmat dunia kepada orang-orang yang dicintainya maupun yang dibencinya; tetapi Dia tidak akan memberikan nikmat beragama, kecuali kepada orang-orang yang dicintaiNya semata.[4]
Allah sengaja memberi tangguh kepada para pelaku kemaksiatan, sebagaimana dalam firmanNya,
لاَيَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلاَدِ ؛ مَتَاعُُ قَلِيلُُ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
Janganlah tertipu dengan perbuatan orang-orang kafir di muka bumi. Sesungguhnya itu hanyalah kenikmatan sesaat, kemudian mereka akan dimasukkan ke neraka Jahannam. Itulah seburuk-buruk tempat. [Al Imran:196-197].
Sebagaimana firmanNya,
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِئَايَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لاَيَعْلَمُونَ ؛ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ ؛
Dan orang-orang yang mendustakan ayat Kami, akan Kami beri tangguh mereka, tanpa mereka ketahui. kemudian akan Aku berikan mereka tempo waktu. Sesungguhnya, tipu dayaKu sangat kuat. [Al A'raf:182-183].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الله لَيُمْلِيْ لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذاَ أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ
Sesungguhnya, Allah sengaja menangguhkan (hukuman) terhadap seorang yang zhalim, ketika sampai masanya, maka Allah akan menghukumnya dengan tanpa memberi peluang lagi. [5]
Orang yang mau memperhatikan rumah-rumah yang di dalamnya penuh kemaksiatan, akan mendapati, bahwa tidak selamanya mereka hidup dengan damai. Pasti banyak diantara mereka yang hidup dalam kegoncangan dan kegelisahan. Firman Allah Ta'ala,
مَّنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَانَشَآءُ لِمَن نُّرِيدُ
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka akan kami berikan kepada siapa-siapa yang kami kehendaki. [Al Isra:18].
Jelaslah, bahwa tidak semua orang yang menginginkan kesenangan dunia akan mendapatkannya.
Keempat : Suami yang tidak penyabar. Mungkin, faktor ini terjadi karena kelalaiannya, ataupun ketidaktahuannya watak dasar dan tabiat wanita yang Allah ciptakan. Wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
استوصوا بالنساء خيرا فإنهن خلقن من ضلع وإن أعوج شيء في الضلع أعلاه, فإن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بالنساء خيرا
Berbuat baiklah kalian dalam mempergauli wanita. Sesungguhnya, mereka tercipta dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya, tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang paling di atas. Jika engkau berusaha untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Jika engkau biarkan, maka dia akan tetap bengkok. Maka, berbuat baiklah kalian kepada mereka.[6]
Dalam riwayat lain,
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضَلْعٍ وَلَنْ تَسْتَقِيْمَ عَلىَ طَرِيْقَةٍ فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ, وَ إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا, وَكَسْرُهَا طَلَاقُهَا
Sesungguhnya, wanita tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, dan dia tidak akan mungkin dapat tetap istiqomah dengan satu kondisi. Jika engkau bersenang-senang dengannya, maka engkau akan dapati itu padanya, namun dia tetap akan bengkok. Jika engkau berusaha untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya, mematahkannya berarti engkau menceraikannya.[7]
Hendaklah suami menyadari tabiat dasar dan fitrah wanita, agar dapat menyikapinya dengan bijak dan sabar, karena ini adalah kodrat semua wanita. Dengan demikian, suami dapat memaklumi kekeliruan-kekeliruan yang mereka perbuat dan tidak perlu diambil hati. Hasan Basri rahimahullah berkata, "Seorang lelaki mulia tidak akan terlampau memperhitungkan segala kekeliruan istrinya."[8]
Kelima : Kemarahan yang meluap banyak menjadi penyebab suami terlampau cepat menjatuhkan thalak. Bahkan, sebagaian suami ada yang memiliki tabiat jelek, (yaitu) selalu mengancam akan menceraikan istri, jika melanggar apa yang dibencinya, walaupun hanya sepele.
Seharusnya suami dapat menahan gejolak kemarahan, dan berupaya untuk diam. Jangan sampai suami berbicara semaunya, hingga tanpa sadar mengeluarkan kata-kata "thalak". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Bukanlah orang kuat itu yang dapat menjatuhkan lawan dalam berkelahi, (tetapi) orang yang kuat ialah orang yang dapat meredam kejolak marah, ketika dia akan marah.[9]
Dalam suatu riwayat, pernah seseorang datang menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata,"Berilah aku nasihat," Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Janganlah engkau marah," dia kembali bertanya dan Nabi masih terus mengulangi,"Janganlah engkau marah." [10]
Kiat Rasululullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Dalam Mengantisipasi Marah.
• Berusaha untuk diam ketika akan marah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
وَإِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُتْ, وَإِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُتْ
Jika engkau marah, maka diamlah. Jika engkau marah, maka diamlah. [11]
• Berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk.
Sulaiman Ibnu Sard Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan, pernah dua orang saling mencerca satu sama lainnya di hadapan Rasulullah. Sementara itu, kami sedang duduk di sisinya. Salah seorang dari mereka menghina yang lainnya dengan marah, hingga merah mukanya. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالهَاَ لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَو قَالَ: أَعُوْذُ بِالله مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ...
Aku mengetahui suatu kalimat, jika diucapkan olehnya (laki-laki yang merah mukanya, Red.), maka akan hilang kemarahannya. Hendaklah dia berkata: Audzubillahi minasysyaithannirrajim (artinya, aku berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk).[12]
• Jika sedang marah, berusahalah untuk duduk. Jika ternyata masih marah, maka hendaklah berbaring. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِذاَ غَضَبَ أَحَدُكُمْ وَ هُوَ قَائِمٌ فًلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ و َإِلَّا فَلْيَضْطَجْع
Jika salah seorang kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri, maka hendaklah duduk. Jika masih belum reda marahnya, maka hendaklah berbaring.[13]
• Berwudhu, sebab wudhu dapat memadamkan kemarahan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ نَارٍ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النًارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Sesungguhnya, kemarahan itu berasal dari syetan. Dan syetan tercipta dari api. Dan sesungguhnya, api itu dapat dipadamkan dengan air. Jika salah seorang diantara kalian marah, maka berwudhulah. [14]
• Keluar dari rumah guna menghidari pertengkaran.
Dalam hal ini pernah terjadi pada Ali, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahl Ibn Sa'ad, dia menceritakan, Rasulullah mendatangi rumah Fatimah, namun beliau tidak menemukan Ali. Maka beliau bertanya kepada Fatimah,"Mana anak pamanmu (Ali)?”Fathimah menjawab,"Kami sedang bertengkar yang membuat aku marah, maka dia keluar dan tidak tidur siang di rumahku.” Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada seseorang,"Carilah dimana dia!” Kemudian orang tadi datang dan berkata,"Wahai Rasulullah, dia di masjid sedang tidur,” maka Rasulullah mendatanginya dalam keadaan berbaring, selendangnya terjatuh dari bahunya dan badannya berdebu, maka Rasulullah mengusap debu darinya dan berkata,"Bangunlah wahai Abu Turaab, bangunlah wahai Abu Turaab!" [15]
Kedua suami-istri hendaklah berusaha untuk tidak memancing kemarahan pasangannya, apalagi keduanya telah saling memahami tabiat masing-masing. Dalam hal ini, istri harus berupaya menghindari hal-hal yang membuat suami emosi, dan akhirnya menjatuhkan thalak.
Keenam : Perilaku suami yang jelek acapkali membuat istri menuntut khulu' (minta diceraikan dengan mengembalikan mahar yang diberikan suami). Banyak suami yang memiliki perangai yang jelek, bermulut keji, selalu mengumpat, melaknat ataupun selalu memukul istri.
Hendaklah para suami takut kepada Allah dalam mempergauli istri. Seharusnya dia bersyukur kepada Allah yang telah memberinya istri. Yang sang istri ini dapat meredam gejolak syahwatnya dan menjadikannya iffah (menjaga kesucian diri), apalagi jika istri telah melahirkan anak-anaknya. Bukankah hal ini sepatutnya menjadikannya bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat.
إِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
Berbuat baiklah kalian dalam mempergauli para istri.
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ
Ingatlah, berbuat baiklah kalian dalam mempergauli para istri. Sesungguhnya, mereka adalah 'awanin [1] (tawanan) di sisi kalian.[2]
Rasulullah bersabda,”Janganlah kalian pukul para istri kalian,” maka Umar datang kepada Rasulullah dan berkata,"Zu'irna [3] an nisa (para istri telah berani menentang para suami),” maka Rasulullah memperbolehkan para suami untuk memukul istrinya. Setelah itu, datanglah para wanita ke rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengadu perlakuan suami mereka, maka Rasulullah berkata,”Banyak para wanita datang ke rumah keluarga Muhammad mengadukan perlakuan suami mereka. Sesungguhnya, para suami yang berbuat itu (memukul istri) bukanlah orang-orang yang terbaik diantara kalian.” [4]
Beliau juga bersabda.
لَا يَجْلِدُ أَحَدُكُمْ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ
Janganlah salah seorang kalian memukul istrinya seperti memukul hamba, kemudian dia mencampurinya di penghujung hari. [5]
Dalam riwayat lain disebutkan.
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فَيَجْلِدُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ فَلَعَلَّهُ يُضَاجِعُهَا مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ
Kenapa salah seorang kalian memukul istrinya sebagaimana memukul hamba, kemudian menyetubuhinya di penghujung hari? [6]
Ketujuh : Suami ingin menguasai harta istri, atau memaksa istri agar memberikan harta yang dimilikinya itu kepadanya. Kasus ini banyak menimpa para istri yang memiliki pekerjaan. Biasanya akan merusak hubungan antara keduanya, dan tidak sedikit berakhir dengan perceraian.
Allah berfirman.
وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَآءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلآَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ
Janganlah kalian menahan mereka (para istri) (untuk dapat menikah) agar kalian dapat membawa sebagian dari harta yang mereka berikan kepada kalian, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. [An Nisa:19].
Allah berfirman.
فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
Jika mereka dengan rela memberikan kepada kalian harta mereka, maka makanlah dengan baik-baik. [An Nisa:4].
Tidak halal bagi suami mengambil harta istri, kecuali dengan kerelaannya atau jika istri berbuat nuzus. Ketika seorang pria menikahi wanita yang berharta, jika menginginkan harta istrinya, maka dituntut darinya untuk berlemah-lembut. Cara ini lebih efektif baginya untuk mendapatkan keinginannya. Cara lain yang diizinkan untuknya, yaitu dengan mengajukan persyaratan, bahwa istri harus membantunya dengan memberikan sebagian dari hasil gajinya. Dan hal ini sah-sah saja; apalagi dengan bekerjanya sang istri, akan mengurangi sedikit banyak perhatian dan kewajibannya terhadap suami. Demikian ini tidak dapat diingkari, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Kaum muslimin wajib menepati janji (kesepakatan) yang mereka perbuat, kecuali kesepakatan yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan yang haram.[7]
Berapa banyak rumah tangga hancur berantakan ketika istri tidak memberikan apa yang diharapkan suami. Para istri hendaklah memahami hal ini, demi menjaga kelangsungan rumah tangga dan demi kemaslahatan anak-anak agar tidak terlantar. Allah berfirman, وَالصُّلْحُ خَيْرٌ(Sesungguhnya berdamai itu lebih baik). Perbuatan wanita memberikan sebagian harta kepada suami adalah merupakan upaya untuk berdamai. Semoga Allah akan memberikan kepadanya ganjaran terbaik. Allah berfirman.
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ
Barangsiapa yang memaafkan dan berbuat islah, maka ganjaran pahalanya di sisi Allah. [Asy Syura:40]
Kedelapan : Sikap acuh suami terhadap istri.
Banyak para suami tidak memberikan perhatian yang cukup dan lebih senang tidur di luar rumah daripada berkumpul dan berkomunikasi dengan istri. Apalagi, terkadang kesibukannya di luar rumah dalam hal-hal yang sepele dan tidak bermanfaat.
Seorang suami dituntut untuk dapat memberikan waktu dan perhatian yang cukup kepada istri. Tidak dibenarkan terus-menerus meninggalkan istri, walaupun dengan dalih sibuk mengerjakan ibadah-ibadah, seperti puasa sunnah maupun shalat malam. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Jasadmu memiliki hak (beristirahat), matamu memiliki hak (untuk tidur), dan istrimu memiliki hak atas dirimu.[8]
Pernah seorang wanita mendatangi Umar Ibn Al Khathab untuk mengadu,”Wahai, Amirul Mukminin. Suamiku seorang yang selalu berpuasa dan shalat malam. Aku sebenarnya enggan melaporkannya kepadamu karena sikapnya yang selalu melaksanakan ibadah-ibadah sunnah1.” Umar menjawab,”Alangkah bagusnya suamimu,” namun wanita itu masih mengulangi perkataannya, dan Umar menjawab jawaban yang sama. Akhirnya, Ka'ab Al Asadi berkata,”Wahai, Amirul Mukminin. Wanita ini sebenarnya mengadukan sikap suaminya yang tidak peduli lagi padanya,” maka Umar berkata,”Sebagaimana yang engkau pahami dari wanita ini, maka engkau kuserahkan untuk mengadili perkara ini.” Akhirnya Ka'ab memanggil suami wanita itu. Ketika (suami wanita itu) datang, Ka'ab berkata kepadanya,”Istrimu mengadukan engkau kepada Amirul Mukminin.” Dia bertanya,”Karena apa? Apakah karena tidak kuberi makan ataupun minum?” Ka'ab menjawab,”Tidak.”
Akhirnya wanita itu berkata:
يَاأَيُّهَا الْقَاضِي الْحَكِيْمُ رُشْدُهُ أَلْهَى خَلِيْلِيْ عَنْ فِرَاشِي مَسْجِدُهُ
زَهَدَهُ فِي مَضْجَعِي تَعَبُّدُهُ فَاقْضِ الْقُضَا كَعْبُ وَلاَ تُرَدِّدُهُ
نَهَارُهُ وَلَيْلُُهُ مَا يَرْقُدُهُ فَلَسْتُ فِي أَمْرِ النِِّسَاءِ أَحْمَدُهُ
Wahai hakim yang bijaksana,
Masjid telah melalaikan suamiku dari tempat tidurku
Beribadah membuatnya tidak membutuhkan ranjangku
Adililah perkara ini, wahai Ka'ab dan jangan kau tolak
Siang dan malam tidak pernah tidur
Dalam hal mempergauli wanita, aku tidak memujinya
Kemudian suaminya menjawab:
زَهَدَنِي فِي فِرَاشِهَا وَفِي الْحَجَلِ أَنِّي امْرُؤٌ أَذْهَلَنِي مَا قَدْ نَزَلَ
فِي سُوْرَةِ النَّحْلِ وَفِي السَّبْعِ الطُّوْلِ وَفِي كِتَابِ اللهِ تَخْوِيْفٌ جَلَحَ
Aku Zuhud tidak mendatangi ranjang dan biliknya
Karena aku telah dibuat sibuk dan binggung dengan apa yang telah turun
Yaitu surat An Nahl dan tujuh surat yang panjang
Dan Kitab Allah membuat hatiku takut dan risau
Setelah mendengar ini, Ka'ab berkata:
إِنَّ لَهَا عَلَيْكَ حَقًّا يَا رَجُلُ نَصِيْبُهُا فِي أَرْبَعَ لِمَنْ عَقَلَ
فَاعْطِهَا ذَاكَ وَدَعْ عَنْكَ الْعِلَلَ
Dia memiliki hak atasmu, wahai lelaki
Jatahnya empat hari bagi orang yang berakal
Berikah hak itu, dan tinggalkan cela yang ada padamu [9]
Kesembilan : Sepele dengan lafazh “thalak”.
Sebagian suami, sering terlihat begitu ringannya mengeluarkan kata-kata “thalak” kepada istrinya. Terkadang sambil bergurau meluncur dari mulutnya ucapan talak. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ
Tiga macam perkara akan tetap terjadi, walaupun diucapkan dengan sungguh-sungguh ataupun dengan bergurau, yaitu: nikah, talak, dan ruju'.[10]
Selayaknya, seorang suami menjaga lidahnya. Tidak menyepelekan lafazh thalak, yang tanpa disadarinya dapat meruntuhkan bangunan rumah tangga, hingga akhirnya dapat mendatangkan penyesalan yang berkepanjangan, setelah nasi menjadi bubur.
Kesepuluh : Ila' (sumpah suami) untuk tidak mencampuri istrinya selamanya, ataupun lebih dari empat bulan.
Demikian Ini merupakan bentuk kezhaliman suami terhadap istri. Pada kondisi seperti ini, istri berhak menuntut perceraian setelah lewat empat bulan. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Bagi suami-suami yang bersumpah tidak mencampuri istrinya, maka istri menunggu selama empat bulan. Jika dia kembali dalam masa itu kepada istrinya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang. Jika dia berniat untuk menceraikannya, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Mengetahui. [Al Baqarah: 226-227].
Maka hendaknya para suami tidak menzhalimi hak-hak istri. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Takutlah kalian berbuat zhalim. Sesungguhnya, kezhaliman itu kegelapan pada hari kiamat. [11]
Jika masa empat bulan akan berakhir, seharusnya dia ruju' kepada istrinya, sebagaimana dianjurkan Allah dalam firmanNya: Jika dia kembali dalam masa itu kepada istrinya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang (Al Baqarah:226). Jika tidak ruju’, maka wajib atasnya menceraikan istrinya, jika si istri menuntutnya. Namun, jika istri sabar (tidak minta cerai, walaupun telah lewat empat bulan), demi kepentingan anak ataupun hal lainnya, maka boleh saja selama dirinya yakin terjaga dari perbuatan haram. Insya Allah dia (istri) akan mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda dari Allah, dengan harapan semoga suaminya kelak mendapat petunjuk dari Allah. Allah berfirman.
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, akan dimudahkan baginya segala urusannya. [Ath Thalaq:4].
Kesebelas : Merasa tidak senang karena istri melahirkan anak perempuan. Karena faktor kejahilan, sebagian suami mengancam akan menceraikan istrinya, jika mendapat bayi perempuan.
Sebenarnya wajib baginya beriman dengan ketetapan Allah dan takdirNya. Bayi wanita ataupun pria itu lahir atas kehendakNya semata. Adapun manusia, tidak bisa memilih. Allah berfirman.
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَايَشَآءُ وَيَخْتَارُ مَاكَانَ لَهُمُ الْخِيرَةُ
Dan Rabb-mu yang mencipta apa-apa yang dikehendakiNya dan memilih, tidak ada hak manusia untuk memilih. [Al Qhasas: 68].
Allah juga berfirman.
وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ الذُّكُورَ أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَن يَشَآءُ عَقِيمًا
Dia memberikan siapa-siapa yang dikehendakiNya bayi perempuan, dan memberikan siapa-siapa yang dikehendakiNya bayi laki-laki, Dia juga yang menjadikan siapa-siapa yang dikehendakiNya mandul. [Asy Syura:49-50].
Keduabelas : Muncul perasaan tidak suka terhadap istri, karena selalu membandingkan istrinya dengan wanita lain yang lebih baik dari istrinya dalam agama, akhlak, kecantikan, ilmu, kecerdasan dan sebagainya. Akhirnya, suami menjauhi istrinya tanpa ada sebab syar'i, seperti: istri meyeleweng ataupun menentang suami.
Seharusnya suami bersabar agar dia beruntung mendapatkan janji Allah.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Dan bergaullah kepada mereka dengan baik. Bias jadi kalian membenci sesuatu, namun Allah menjadikan di dalamnya kebaikan yang banyak. [An Nisa:19].
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibn Abbas berkata,”Suami berlemah-lembut terhadap istrinya, maka Allah memberikan karunia anak-anak yang baik-baik.”
Ibnu Katsir berkata,”Mungkin sikap sabar kalian dengan tidak menceraikan istri yang tidak kalian sukai, akan membuahkan kebahagian bagi kalian di dunia dan akhirat.”
Imam Asy Syaukani berkata,”Semoga sikap benci kalian terhadap istri, akan digantikan Allah dengan sikap cinta yang akan mendatangkan kebaikan yang banyak, hubungan yang mesra ataupun rezeki anak-anak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
(Janganlah seseorang membenci pasangannya. Jika ia benci kepada salah satu sikap istrinya, pasti dalam hal lain ia akan rela).” [12]
Diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata,”Sangat sedikit rumah tangga yang dibangun di atas cinta. Namun, kebanyakan manusia bergaul (menikahi) pasangannya dengan dasar Islam, menyambung nasab ataupun untuk berbuat ihsan.” [13]
Ibnul Arabi menyebutkan dengan sanadnya dan berkata,”Ada seorang syaikh yang dikenal berilmu dan memiliki kedudukan, bernama Abu Muhammad Ibn Abi Zaid [14]. Istrinya berperangai jelek, tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri dan selalu menyakiti suaminya dengan lidahnya. Orang-orang banyak yang heran dan mencela sikap sabarnya terhadap sang istri. Jika ditanya perihal sikap sabarnya terhadap istrinya, Abu Muhammad selalu berkata,”Aku telah diberikan Allah berbagai macam nikmat, berupa: kesehatan, ilmu dan budak-budak yang kumiliki. Mungkin sikap jelek istriku terhdapku disebabkan hukuman Allah kepadaku, karena dosa-dosaku. Aku takut, jika dia kuceraikan akan turun ujian kepadaku lebih berat dari ujian perangai istriku yang jelek.” [15]
Selayaknya, ini menjadi pelajaran berharga bagi para suami. Tidaklah menjadi masalah, jika ia ingin menikahi wanita lain sebagai tambahan. Allah berfirman.
فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
Nikahilah wanita-wanita yang baik-baik, dua, tiga ataupun empat. [An Nisa:3].
Ketigabelas : Kecenderungan suami kepada salah satu istrinya -jika memiliki lebih dari satu- dengan alasan takut berbuat dosa ; sehingga ia terpaksa menceraikan istri yang kurang disukainya.
Dalam kondisi seperti ini, selayaknya istri yang akan diceraikan berdamai dengan suaminya, sebagaimana firman Allah.
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرُُ
Jika seorang istri takut diceraikan oleh suaminya atau dijauhkan, maka tidak mengapa jika keduanya melaksanakan as sulhu (kesepakatan), dan berdamai itu lebih baik. [An Nisa:128] .
Dalam menafsirkan ayat ini, 'Aisyah berkata, ”Seorang suami melihat kekurangan pada istri yang tidak disukainya, seperti: usia yang telah tua dan sebab lainnya. Maka, ia berniat menceraikannya, namun istri memohon agar suami tidak menceraikannya, dan siap menerima apapun perlakuan suami terhadapnya. Demikian inilah solusi menghindari perceraian, jika keduanya sepakat.” [16]
Ibn Abbas meriwayatkan, ”Saudah takut Rasulullah menceraikannya (karena ia telah tua). Kemudian ia berkata,’Wahai Rasulullah, jangan ceraikan aku. Aku siap memberikan giliranku untuk ‘Aisyah,’ maka Rasul menerima usulan itu dan turunlah ayat: Tidak mengapa jika keduanya membuat kesepakatan, dan berdamai itu lebih baik.”[17]
Rafi’ Ibn Khadij menceritakan, bahwa ia memiliki istri yang telah tua. Kemudian ia menikahi wanita lain yang masih muda. Akhirnya Rafi’ lebih cenderung kepada istri yang muda. Melihat perlakuan Rafi', maka istrinya yang telah tua protes. Kemudian Rafi’ menjatuhkan thalak satu. Ketika masa iddahnya akan berakhir, Rafi’ berkata kepadanya,”Jika engkau mau, aku akan ruju' kepadamu; dengan syarat, engkau rela (dengan) perlakuanku padamu. Jika tidak, (maka) aku akan membiarkan hingga iddahmu selesai, dan tidak ruju' padamu,” maka istrinya menjawab,”Ruju'lah, aku akan berusaha sabar dengan sikapmu. Setelah Rafi ruju', ia kembali protes dengan perlakuan Rafi' kepadanya, maka Rafi’ memutuskan untuk menceraikannya. Rafi' berkata,”Itulah makna as sulhu yang telah diturunkan Allah dalam firmanNya: Jika seorang istri takut diceraikan oleh suaminya atau dijauhkan, maka tidak mengapa jika keduanya melaksanakan as sulhu (kesepakatan), dan berdamai itu lebih baik.” [18]
Jelaslah maksud pengertian sulhu dalam ayat, yaitu istri siap menerima apapun yang diberikan suami kepadanya, walaupun harus dengan mengurangi sebagian haknya, berupa kewajiban suami bermalam padanya ataupun nafkah. Hal ini demi menghindari perceraian, dan dia tetap menjadi istri. Karena hal ini akan lebih baik baginya, dibandingkan hidup tanpa suami. Apalagi jika dia memiliki anak-anak dari suaminya, atupun dia telah tua dan takut terhadap resiko perceraian. Ingatlah firman Allah: Dan berdamai itu lebih baik. [An Nisa:128].
Keempatbelas : Penyakit berkepanjangan yang menimpa suami. Terkadang hal ini menjadi penyebab istri menuntut cerai.
Andai saja istri mau bersabar dan tetap merawatnya dengan mengharap balasan dari Allah, hal itu akan lebih baik baginya, sebagaimana firman Allah.
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan diberi ganjaran yang tak terhingga. [Az Zumar:10]
Akan tetapi, jika dirinya takut akan tergelincir ke dalam perbuatan haram dengan menyeleweng, disebabkan sang suami tidak lagi dapat melayani kebutuhan biologisnya, (maka) dalam kondisi seperti ini, tidak mengapa dia menuntut agar diceraikan demi menjaga agama dan kesucian dirinya; memelihara perkara ini merupakan sesuatu yang wajib.
Kelimabelas : Sikap curiga suami terhadap istri, akibat pengaruh bisikan syetan. Seharusnya dia berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk, dan tidak berperasangka buruk. Allah berfirman.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ
Wahai orang-orang beriman, jauhilah prasangka buruk, sesungguhnya prasangka buruk itu adalah dosa. [Al Hujurat:12].
Suami harus sadar, bahwa perkara yang paling diupayakan syetan ialah memisahkan antara dua suami istri. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda.
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ
Sesungguhnya Iblis meletakkan kerajaannya di atas air, kemudian dia mengurus para tentaranya. Yang paling tinggi kedudukannya adalah syetan yang paling besar fitnahnya terhadap manusia. Salah satu dari mereka berkata kepada Iblis,”Aku telah berbuat begini dan begini,” Iblis menjawab,”Engkau belum berbuat apa-apa,” kemudian datang syetan yang lain dan berkata,”Tidaklah aku meninggalkan seseorang yang aku goda, hingga aku berhasil memisahkan dia dengan istrinya,” maka Iblis mendudukkannya di dekatnya dan berkata,”Engkau sebaik-baik tentaraku.” [19]
Keenambelas : Suami berada di bawah kekuasan istri. Pindahnya tampuk kepemimpinan rumah tangga kepada sang istri, yang semestinya berada di tanggan suami. Padahal Allah berfirman.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Lelaki adalah pemimpin bagi wanita dengan kelebihan yang Allah limpahkan kepada sebagian dari mereka dan dengan sebab nafkah yang mereka berikan (kepada istri-istri). [An Nisa:34]
Ini bisa mutlak terjadi, dikarenakan kelemahan pribadi suami atau anggapannya yang keliru, bahwa sikapnya itu sebagai wujud penghormatan kepada istrinya. Sehingga ketika ia sadar dan ingin mengembalikan kepemimpinan itu kepadanya, ternyata ia tidak sanggup. Sehingga, akhirnya berujung pada perceraian.
Semenjak menikah, seorang suami harus benar-benar sadar, bahwa kepemimpinan rumah tangga wajib berada di tanggannya. Jangan sampai rasa cinta yang berlebihan atau rasa bangga dapat menikahi wanita tersebut, akhirnya membuat dia lemah di hadapan istri dan berujung dengan penyesalan tak berguna.
Ketujuhbelas : Suami datang ke rumah istri pada malam hari setelah lama bepergian tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hal ini terkadang membuatnya melihat hal-hal yang dibencinya, karena istri dalam keadaan tidak siap menyambutnya. Rasulullah bersabda.
إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمْ الْغَيْبَةَ فَلَا يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلًا
Jika kalian bepergian lama, maka janganlah kalian mendatangi rumah istri kalian pada malam hari.[20]
Dalam riwayat lain disebutkan.
كَيْ تَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ وَتَسْتَحِدَّ الْمُغِيبَةُ
Agar para istri yang lama ditinggalkan berhias dengan menyisir rambut dan mencukur bulu kemaluannya.[21]
Selayaknya suami mendatangi rumah istrinya pada siang hari ketika ia pulang dari bepergian dalam masa yang lama, dan dengan memberitahukan terlebih dahulu perihal kepulangannya, istri agar tidak terkejut.
Kedelapanbelas : Rumah tangga yang dibina atas dasar surat-menyurat, ataupun saling berkomunikasi melalui telepon -yang popular dengan istilah pacaran sebelum menikah.
Mahligai rumah tangga yang dibanggun di atas pondasi kropos seperti ini, biasanya akan berujung dengan kehancuran. Aِِllah berfirman.
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرْفٍ هَارٍ فَانْهَارَبِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Apakah sama orang yang membangun pondasinya di atas taqwa dan keridhaan Allah dengan orang yang membangun pondasinya di atas jurang neraka, yang akhirnya membuatnya terperosok ke neraka Jahannam; sesungguhnya Allah tidak akan menunjuki orang yang berbuat kezhaliman. [At Taubah:109]
Ibn Sa'di rahimahullah berkata,”Sesungguhnya suatu perbuatan yang dikerjakan dengan ikhlas dan mengikuti sunnah, itulah makna dibangun di atas pondasi taqwa yang akan membuahkan surga penuh kenikmatan. Adapun perbuatan yang dibangun di atas niat buruk, bid'ah dan kesesatan, itulah pondasi yang dibangun di tepi jurang neraka, yang membuatnya terperosok ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak akan membimbing orang-orang yang zhalim.” [22]
Semestinya lelaki yang hendak melamar wanita datang kepada walinya, dan mendatangi rumah dari pintunya, sebagaimana firman Allah.
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
Namun kebajikan itu adalah orang yang bertaqwa, dan masukilah rumah-rumah melaui pintunya. [Al Baqarah: 189]
Ibn Sa'di berkata, ”Dari ayat ini dapat dipetik manfaat, bahwa selayaknya manusia masuk dalam berbagai macam urusan dari jalan yang paling mudah, dekat yang akan mengantarkannya sampai kepada tujuan.” [23]
Para wanita jangan sampai terjerumus kepada hubungan haram (pacaran) yang menipu; agar tidak mengundang murka Rabb-nya yang akan mendatangkan kegagalan dalam hidupnya.
Kesembilanbelas : Ketika proses lamaran, suami tidak melihat calon istri. Terkadang dalam benaknya, suami berkhayal mengenai sosok istri yang ideal. Namun, selesai akad -ketika masuk ke kamar- dia terkejut melihat istri yang tidak seideal dalam alam khayalnya. Biasanya, ini akan membuatnya menjauh dari sang istri.
Karena itu, seharusnya calon suami melihat terlebih dahulu calon wanita yang akan dilamarnya. Pihak keluarga wanita jangan sampai menghalanginya, karena hal ini merupakan perintah Rasulullah n dan menjadi salah satu faktor yang dapat melanggengkan perkawinan.
Dari Mughirah Ibn Syu'bah, bahwa ia melamar seorang wanita, maka Rasulullah berkata kepadanya.
انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah kepadanya, karena hal itu akan melangengkan hubungan kalian berdua.[24]
Keduapuluh :Telat menikah. Para pakar berpendapat, bahwa terlambat menikah akan membuahkan hubungan yang tidak bahagia dan harmonis sebagaimana yang diimpikannya. Penyebabnya, karena keduanya telah banyak mengecap berbagai macam nilai-nilai ataupun norma-norma lingkungan dengan beragam coraknya. Hal ini membuatnya sulit untuk menyesuaikan tabiatnya dengan tabiat pasangannya. Hingga akhirnya banyak permasalahan yang muncul akibat benturan dua watak yang berbeda yang sulit dikompromikan. Survei maupun fakta yang ditemukan para pakar di lapangan membuktikan, bahwa hubungan perkawinan pasangan telat nikah akan segera cerai-berai dan bangunan rumah tangga yang mereka bina akan segera runtuh.
Oleh karena itu, selayaknya para pemuda bersegera menikah dan merealisasikannya. Kami ingatkan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ
Tiga macam manusia wajib bagi Allah membantunya; seorang mujahid di jalan Allah, budak yang ingin menebus diri untuk dapat merdeka dan seorang yang akan menikah untuk ‘iffah. [25]
Hadits ini memberikan motivasi kepada para pemuda, bahwa Allah berjanji akan menolongnya dan memudahkan urusannya, jika dia berazzam untuk menikah. Sehingga tidak ada lagi alasan baginya, kecuali mulai berusaha untuk merealisasikannya dan bertawakkal kepada Allah.
Hendaklah diketahui, bahwa menikah di usia dini akan memudahkan pasagan suami istri untuk dapat saling berinteraksi dan memahami tabiat masing-masing. Terlebih lagi nikah dini sangat efektif untuk menjaga kesucian umat, berdampak positif untuk kesehatan dan kedewasan berfikir, sebagaimana realita telah terbukti. Karena itulah Islam menganjurkannya.
Sebaliknya kaum wanita juga jangan telat menikah. Nikah dini lebih mendukung kebahagian rumah tangga, sebagaimana disebutkan di atas. Jika datang kepadanya pria yang sekufu' (setara), maka wajib baginya untuk menerima dan tidak menolak, walaupun dengan alasan studi dan sebagainya. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang datang. Bias jadi, tidak akan pernah lagi datang kepadanya lelaki yang sekufu’ atau malah tidak akan datang seorangpun yang melamarnya.
Jika ternyata masih ingin sekolah, hendaklah dia membuat perjanjian terlebih dahulu kepada suaminya, kecuali jika ternyata persyaratan ini akan menjadi sandungan dalam kehidupan rumah tangga. Jika ini terjadi, maka wajib baginya mendahulukan perkara yang dapat mendatangkan ketentraman dan mensucikan dirinya dengan memilih menikah. Hendaklah dia mengambil pelajaran dari para wanita yang telat menikah. Dikarenakan sebab-sebab di atas, akhirnya mereka banyak kehilangan kesempatan dan pahala.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
3 Makna Zuhud
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan
Kesimpulannya, zuhud terhadap dunia bisa ditafsirkan dengan tiga pengertian yang kesemuanya merupakan amalan hati dan bukan amalan tubuh. Oleh karenanya, Abu Sulaiman mengatakan,
لَا تَشْهَدْ لِأَحَدٍ بِالزُّهْدِ، فَإِنَّ الزُّهْدَ فِي الْقَلْبِ
“Janganlah engkau mempersaksikan bahwa seorang itu telah berlaku zuhud (secara lahiriah), karena zuhud itu letaknya di hati”
Makna pertama
Zuhud adalah hamba lebih meyakini rezeki yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya. Hal ini tumbuh dari bersih dan kuatnya keyakinan, karena sesungguhnya Allah telah menanggung dan memastikan jatah rezeki setiap hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا (٦)
“Dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya [Huud: 6].
Dia juga berfirman,
وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ (٢٢)
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu [Adz Dzaariyaat: 22].
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ (١٧)
“Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia [Ankabuut: 17].
Al Hasan mengatakan,
إِنَّ مِنْ ضَعْفِ يَقِينِكَ أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Salah satu bentuk lemahnya keyakinanmu terhadap Allah adalah anda lebih meyakini apa yang ada ditangan daripada apa yang ada di tangan-Nya”.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan,
إِنَّ أَرْجَى مَا أَكُونُ لِلرِّزْقِ إِذَا قَالُوا لَيْسَ فِي الْبَيْتِ دَقِيقٌ
“Momen yang paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki adalah ketika mereka mengatakan, “Tidak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat makanan di rumah”
Masruq mengatakan,
إِنَّ أَحْسَنَ مَا أَكُونُ ظَنًّا حِينَ يَقُولُ الْخَادِمُ: لَيْسَ فِي الْبَيْتِ قَفِيزٌ مِنْ قَمْحٍ وَلَا دِرْهَمٌ
“Situasi dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di rumah tidak ada lagi gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (34871); Ad Dainuri dalam Al Majalisah (2744); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah (2/97)].
Imam Ahmad mengatakan,
أَسَرُّ أَيَّامِي إِلَيَّ يَوْمٌ أُصْبِحُ وَلَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ
“Hari yang paling bahagia menurutku adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya tidak memiliki apapun.” [Shifatush Shafwah 3/345].
Abu Hazim Az Zahid pernah ditanya,
مَا مَالُكَ؟
“Apa hartamu”,
beliau menjawab,
لِي مَالَانِ لَا أَخْشَى مَعَهُمَا الْفَقْرَ: الثِّقَةُ بِاللَّهِ، وَالْيَأْسُ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ
“Saya memiliki dua harta dan dengan keduanya saya tidak takut miskin. Keduanya adalah ats tsiqqatu billah (yakin kepada Allah) dan tidak mengharapkan harta yang dimiliki oleh orang lain [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (963); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/231-232].
Pernah juga beliau ditanya,
أَنَا أَخَافُ الْفَقْرَ وَمَوْلَايَ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى؟ !
“Tidakkah anda khawatir akan kefakiran?” Beliau menjawab, “Bagaimana bisa saya takut fakir sementara Pemelihara-ku memiliki segala yang ada di langit, bumi, apa yang ada diantara keduanya, dan di bawah tanah.”
Selembar kertas pernah diserahkan kepada ‘Ali ibnu Muwaffaq, dia pun membacanya dan di dalamnya tertulis,
يَا عَلِيَّ بْنُ الْمُوَفَّقِ أَتَخَافُ الْفَقْرَ وَأَنَا رَبُّكَ؟
“Wahai ‘Ali ibnul Muwaffaq, masihkah engkau takut akan kefakiran sementara Aku adalah Rabb-mu?”
Al Fudhai bin ‘Iyadh mengatakan,
أَصْلُ الزُّهْدِ الرِّضَا عَنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Akar zuhud adalah ridha terhadap apa yang ditetapkan Allah ‘azza wa jalla.” [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (960, 3045); Abu 'Abdirrahman As Sulami dalam Thabaqatush Shufiyah (10)].
Beliau juga mengatakan,
الْقَنُوعُ هُوَ الزُّهِدُ وَهُوَ الْغِنَى
“Qana’ah (puas atas apa yang diberikan oleh Allah ta’ala) merupakan sikap zuhud dan itulah kekayaan yang sesungguhnya.”
Dengan demikian, setiap orang yang merealisasikan rasa yakin kepada Allah, mempercayakan segala urusannya kepada Allah, ridha terhadap segala pengaturan-Nya, memutus ketergantungan kepada makhluk baik rasa takut dan harapnya, dan semua hal tadi menghalanginya untuk mencari dunia dengan sebab-sebab yang dibenci, maka setiap orang yang keadaannya demikian sesungguhnya dia telah bersikap zuhud terhadap dunia. Dia termasuk orang yang kaya meski tidak memiliki secuil harta dunia sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ammar,
كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا، وَكَفَى بِالْيَقِينِ غِنًى، وَكَفَى بِالْعِبَادَةِ شُغُلًا
“Cukuplah kematian sebagai nasehat, yakin kepada Allah sebagai kekayaan, dan ibadah sebagai kesibukan.” [Diriwayatkan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (10556) dari 'Ammar bin Yasar secara marfu'].
Ibnu Mas’ud mengatakan,
الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ، وَلَا تَحْمَدَ أَحَدًا عَلَى رِزْقِ اللَّهِ، وَلَا تَلُمْ أَحَدًا عَلَى مَا لَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ، فَإِنَّ الرِّزْقَ لَا يَسُوقُهُ حِرْصُ حَرِيصٍ، وَلَا يَرُدُّهُ كَرَاهَةُ كَارِهٍ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى – بِقِسْطِهِ وَعِلْمِهِ وَحُكْمِهِ – جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ فِي الْيَقِينِ وَالرِّضَا، وَجَعَلَ الْهَمَّ وَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ وَالسُّخْطِ
“Al Yaqin adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau tidak memuji seseorang demi mendapatkan rezeki yang berasal dari Allah, dan tidak mencela seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak akan diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena kebencian seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikan ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya sserta menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keraguan dan kebencian” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (118) dan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (209)].
Di dalam sebuah hadits mursal disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dengan do’a berikut,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيمَانًا يُبَاشِرُ قَلْبِي، وَيَقِينًا [صَادِقًا] حَتَّى أَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي رِزْقًا قَسَمْتَهُ لِي، وَرَضِّنِي مِنَ الْمَعِيشَةِ بِمَا قَسَمْتَ لِي
“Ya Allah saya memohon kepada-Mu iman yang mampu mengendalikan hatiku, keyakinan yang benar sehingga saya mengetahui bahwasanya hal itu tidak menghalangi rezeki yang telah Engkau bagikan kepadaku, dan jadikanlah saya ridha atas sumber penghidupan yang telah Engkau bagikan kepadaku.” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (112)].
Dulu, ‘Atha Al Khurasani tidak akan beranjak dari majelisnya hingga mengucapkan,
اللَّهُمَّ هَبْ لَنَا يَقِينًا مِنْكَ حَتَّى تُهَوِّنَ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، وَحَتَّى نَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يُصِيبُنَا إِلَّا مَا كَتَبْتَ عَلَيْنَا، وَلَا يُصِيبُنَا مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا قَسَمْتَ لَنَا
“Ya Allah, berilah kami rasa yakin terhadap diri-Mu sehingga mampu menjadikan kami menganggap ringan musibah dunia yang ada, sehingga kami meyakini bahwa tidak ada yang menimpa kami kecuali apa yang telah Engkau tetapkan kepada kami, dan meyakini bahwa rezeki yang kami peroleh adalah apa yang telah Engkau bagi kepada kami.” [Driwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (108)].
Diriwayatkan kepada kami secara marfu’ bahwa Ibnu ‘Abbas mengatakan,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُونَ أَغْنَى النَّاسِ، فَلْيَكُنْ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْهُ بِمَا فِي يَدِهِ
“Barangsiapa yang suka menjadi orang terkaya, maka hendaklah dia lebih yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya.” [Diriwayatkan Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/218-219; Al Qadha'i dalamMusnad Asy Syihab (367 & 368) dari hadits 'Abdullah bin 'Abbas].
Makna Kedua
Zuhud adalah apabila hamba tertimpa musibah dalam kehidupan dunia seperti hilangnya harta, anak, atau selainnya, maka dia lebih senang memperoleh pahala atas hilangnya hal tersebut daripada hal itu tetap berada di sampingnya. Hal ini juga muncul dari sempurnanya rasa yakin kepada Allah.
Diriwayatkan dari ‘Ibnu ‘Umar bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam do’anya,
اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا
“Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini.” [HR. Tirmidzi (3502); An Nasaai dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (402); Al Hakim (1/528); Al Baghawi (1374). At Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan gharib"].
Do’a tersebut merupakan tanda zuhud dan minimnya kecintaan kepada dunia sebagaimana yan dikatakan oleh ‘Ali radhiallahu ‘anhu,
مَنْ زَهِدَ الدُّنْيَا، هَانَتْ عَلَيْهِ الْمُصِيبَاتُ
“Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, maka berbagai musibah akan terasa ringan olehnya.”
Makna Ketiga
Zuhud adalah hamba memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran. Hal ini merupakan tanda bahwa dirinya zuhud terhadap dunia, menganggapnya sebagai sesuatu yang remeh, dan minimnya kecintaan dirinya kepada dunia.
Sesungguhnya setiap orang yang mengagungkan dunia akan cinta kepada pujian dan benci pada celaan. Terkadang hal itu menggiring dirinya untuk tidak mengamalkan kebenaran karena takut celaan dan melakukan berbagai kebatilan karena ingin pujian.
Dengan demikian, setiap orang yang memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran, maka hal ini menunjukkan bahwa jabatan/kedudukan yang dimiliki manusia tidaklah berpengaruh di dalam hatinya dan juga menunjukkan bahwa hatinya dipenuhi rasa cinta akan kebenaran serta ridha kepada Allah. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud,
الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ
“Yakin itu adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan cara menimbulkan kemurkaan Allah. Dan sungguh Allah telah memuji mereka yang berjuang di jalan-Nya dan tidak takut akan celaan.”
Sumber : Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hlm. 644-646.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
Kesimpulannya, zuhud terhadap dunia bisa ditafsirkan dengan tiga pengertian yang kesemuanya merupakan amalan hati dan bukan amalan tubuh. Oleh karenanya, Abu Sulaiman mengatakan,
لَا تَشْهَدْ لِأَحَدٍ بِالزُّهْدِ، فَإِنَّ الزُّهْدَ فِي الْقَلْبِ
“Janganlah engkau mempersaksikan bahwa seorang itu telah berlaku zuhud (secara lahiriah), karena zuhud itu letaknya di hati”
Makna pertama
Zuhud adalah hamba lebih meyakini rezeki yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya. Hal ini tumbuh dari bersih dan kuatnya keyakinan, karena sesungguhnya Allah telah menanggung dan memastikan jatah rezeki setiap hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا (٦)
“Dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya [Huud: 6].
Dia juga berfirman,
وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ (٢٢)
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu [Adz Dzaariyaat: 22].
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ (١٧)
“Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia [Ankabuut: 17].
Al Hasan mengatakan,
إِنَّ مِنْ ضَعْفِ يَقِينِكَ أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Salah satu bentuk lemahnya keyakinanmu terhadap Allah adalah anda lebih meyakini apa yang ada ditangan daripada apa yang ada di tangan-Nya”.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan,
إِنَّ أَرْجَى مَا أَكُونُ لِلرِّزْقِ إِذَا قَالُوا لَيْسَ فِي الْبَيْتِ دَقِيقٌ
“Momen yang paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki adalah ketika mereka mengatakan, “Tidak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat makanan di rumah”
Masruq mengatakan,
إِنَّ أَحْسَنَ مَا أَكُونُ ظَنًّا حِينَ يَقُولُ الْخَادِمُ: لَيْسَ فِي الْبَيْتِ قَفِيزٌ مِنْ قَمْحٍ وَلَا دِرْهَمٌ
“Situasi dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di rumah tidak ada lagi gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (34871); Ad Dainuri dalam Al Majalisah (2744); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah (2/97)].
Imam Ahmad mengatakan,
أَسَرُّ أَيَّامِي إِلَيَّ يَوْمٌ أُصْبِحُ وَلَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ
“Hari yang paling bahagia menurutku adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya tidak memiliki apapun.” [Shifatush Shafwah 3/345].
Abu Hazim Az Zahid pernah ditanya,
مَا مَالُكَ؟
“Apa hartamu”,
beliau menjawab,
لِي مَالَانِ لَا أَخْشَى مَعَهُمَا الْفَقْرَ: الثِّقَةُ بِاللَّهِ، وَالْيَأْسُ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ
“Saya memiliki dua harta dan dengan keduanya saya tidak takut miskin. Keduanya adalah ats tsiqqatu billah (yakin kepada Allah) dan tidak mengharapkan harta yang dimiliki oleh orang lain [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (963); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/231-232].
Pernah juga beliau ditanya,
أَنَا أَخَافُ الْفَقْرَ وَمَوْلَايَ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى؟ !
“Tidakkah anda khawatir akan kefakiran?” Beliau menjawab, “Bagaimana bisa saya takut fakir sementara Pemelihara-ku memiliki segala yang ada di langit, bumi, apa yang ada diantara keduanya, dan di bawah tanah.”
Selembar kertas pernah diserahkan kepada ‘Ali ibnu Muwaffaq, dia pun membacanya dan di dalamnya tertulis,
يَا عَلِيَّ بْنُ الْمُوَفَّقِ أَتَخَافُ الْفَقْرَ وَأَنَا رَبُّكَ؟
“Wahai ‘Ali ibnul Muwaffaq, masihkah engkau takut akan kefakiran sementara Aku adalah Rabb-mu?”
Al Fudhai bin ‘Iyadh mengatakan,
أَصْلُ الزُّهْدِ الرِّضَا عَنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Akar zuhud adalah ridha terhadap apa yang ditetapkan Allah ‘azza wa jalla.” [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (960, 3045); Abu 'Abdirrahman As Sulami dalam Thabaqatush Shufiyah (10)].
Beliau juga mengatakan,
الْقَنُوعُ هُوَ الزُّهِدُ وَهُوَ الْغِنَى
“Qana’ah (puas atas apa yang diberikan oleh Allah ta’ala) merupakan sikap zuhud dan itulah kekayaan yang sesungguhnya.”
Dengan demikian, setiap orang yang merealisasikan rasa yakin kepada Allah, mempercayakan segala urusannya kepada Allah, ridha terhadap segala pengaturan-Nya, memutus ketergantungan kepada makhluk baik rasa takut dan harapnya, dan semua hal tadi menghalanginya untuk mencari dunia dengan sebab-sebab yang dibenci, maka setiap orang yang keadaannya demikian sesungguhnya dia telah bersikap zuhud terhadap dunia. Dia termasuk orang yang kaya meski tidak memiliki secuil harta dunia sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ammar,
كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا، وَكَفَى بِالْيَقِينِ غِنًى، وَكَفَى بِالْعِبَادَةِ شُغُلًا
“Cukuplah kematian sebagai nasehat, yakin kepada Allah sebagai kekayaan, dan ibadah sebagai kesibukan.” [Diriwayatkan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (10556) dari 'Ammar bin Yasar secara marfu'].
Ibnu Mas’ud mengatakan,
الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ، وَلَا تَحْمَدَ أَحَدًا عَلَى رِزْقِ اللَّهِ، وَلَا تَلُمْ أَحَدًا عَلَى مَا لَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ، فَإِنَّ الرِّزْقَ لَا يَسُوقُهُ حِرْصُ حَرِيصٍ، وَلَا يَرُدُّهُ كَرَاهَةُ كَارِهٍ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى – بِقِسْطِهِ وَعِلْمِهِ وَحُكْمِهِ – جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ فِي الْيَقِينِ وَالرِّضَا، وَجَعَلَ الْهَمَّ وَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ وَالسُّخْطِ
“Al Yaqin adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau tidak memuji seseorang demi mendapatkan rezeki yang berasal dari Allah, dan tidak mencela seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak akan diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena kebencian seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikan ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya sserta menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keraguan dan kebencian” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (118) dan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (209)].
Di dalam sebuah hadits mursal disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dengan do’a berikut,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيمَانًا يُبَاشِرُ قَلْبِي، وَيَقِينًا [صَادِقًا] حَتَّى أَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي رِزْقًا قَسَمْتَهُ لِي، وَرَضِّنِي مِنَ الْمَعِيشَةِ بِمَا قَسَمْتَ لِي
“Ya Allah saya memohon kepada-Mu iman yang mampu mengendalikan hatiku, keyakinan yang benar sehingga saya mengetahui bahwasanya hal itu tidak menghalangi rezeki yang telah Engkau bagikan kepadaku, dan jadikanlah saya ridha atas sumber penghidupan yang telah Engkau bagikan kepadaku.” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (112)].
Dulu, ‘Atha Al Khurasani tidak akan beranjak dari majelisnya hingga mengucapkan,
اللَّهُمَّ هَبْ لَنَا يَقِينًا مِنْكَ حَتَّى تُهَوِّنَ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، وَحَتَّى نَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يُصِيبُنَا إِلَّا مَا كَتَبْتَ عَلَيْنَا، وَلَا يُصِيبُنَا مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا قَسَمْتَ لَنَا
“Ya Allah, berilah kami rasa yakin terhadap diri-Mu sehingga mampu menjadikan kami menganggap ringan musibah dunia yang ada, sehingga kami meyakini bahwa tidak ada yang menimpa kami kecuali apa yang telah Engkau tetapkan kepada kami, dan meyakini bahwa rezeki yang kami peroleh adalah apa yang telah Engkau bagi kepada kami.” [Driwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (108)].
Diriwayatkan kepada kami secara marfu’ bahwa Ibnu ‘Abbas mengatakan,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُونَ أَغْنَى النَّاسِ، فَلْيَكُنْ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْهُ بِمَا فِي يَدِهِ
“Barangsiapa yang suka menjadi orang terkaya, maka hendaklah dia lebih yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya.” [Diriwayatkan Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/218-219; Al Qadha'i dalamMusnad Asy Syihab (367 & 368) dari hadits 'Abdullah bin 'Abbas].
Makna Kedua
Zuhud adalah apabila hamba tertimpa musibah dalam kehidupan dunia seperti hilangnya harta, anak, atau selainnya, maka dia lebih senang memperoleh pahala atas hilangnya hal tersebut daripada hal itu tetap berada di sampingnya. Hal ini juga muncul dari sempurnanya rasa yakin kepada Allah.
Diriwayatkan dari ‘Ibnu ‘Umar bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam do’anya,
اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا
“Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini.” [HR. Tirmidzi (3502); An Nasaai dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (402); Al Hakim (1/528); Al Baghawi (1374). At Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan gharib"].
Do’a tersebut merupakan tanda zuhud dan minimnya kecintaan kepada dunia sebagaimana yan dikatakan oleh ‘Ali radhiallahu ‘anhu,
مَنْ زَهِدَ الدُّنْيَا، هَانَتْ عَلَيْهِ الْمُصِيبَاتُ
“Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, maka berbagai musibah akan terasa ringan olehnya.”
Makna Ketiga
Zuhud adalah hamba memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran. Hal ini merupakan tanda bahwa dirinya zuhud terhadap dunia, menganggapnya sebagai sesuatu yang remeh, dan minimnya kecintaan dirinya kepada dunia.
Sesungguhnya setiap orang yang mengagungkan dunia akan cinta kepada pujian dan benci pada celaan. Terkadang hal itu menggiring dirinya untuk tidak mengamalkan kebenaran karena takut celaan dan melakukan berbagai kebatilan karena ingin pujian.
Dengan demikian, setiap orang yang memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran, maka hal ini menunjukkan bahwa jabatan/kedudukan yang dimiliki manusia tidaklah berpengaruh di dalam hatinya dan juga menunjukkan bahwa hatinya dipenuhi rasa cinta akan kebenaran serta ridha kepada Allah. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud,
الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ
“Yakin itu adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan cara menimbulkan kemurkaan Allah. Dan sungguh Allah telah memuji mereka yang berjuang di jalan-Nya dan tidak takut akan celaan.”
Sumber : Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hlm. 644-646.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
Langganan:
Postingan (Atom)