Saat engkau sedang sendiri jangan katakan aku sendiri, tetapi katakan ada yang senantiasa mengawasi diri ini. Dan sedikitpun jangan menyangka bahwa Allah lalai, atau menyangka Dia tak tahu apa yang tersembunyi.

Rabu, 17 Juli 2013

Ayat Terberat Untuk Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Oleh Ustadz Abu Ahmad Said Yai Allâh Azza wa Jalla berfirman: فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ Maka tetaplah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat bersama kamu. Dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan [Hûd/11: 112] RINGKASAN TAFSÎR[1] (Maka tetaplah kamu [pada jalan yang benar]), yaitu beristiqomahlah kamu, (sebagaimana diperintahkan kepadamu) di dalam kitab-Nya, ber‘aqîdahlah yang benar, beramal solehlah dan tinggalkan kebatilan tanpa menyimpang ke kiri ataupun ke kanan dan terus meneruslah dalam keadaan seperti itu sampai kamu wafat. (dan [juga] orang yang telah bertaubat bersama kamu), yaitu para Sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan kaum Mukminin, agar kalian mendapatkan balasan yang baik kelak di hari Perhitungan (yaumul-hisâb) dan hari Pembalasan (yaumul-jazâ’). (Dan janganlah kalian melampaui batas), dengan berlebih-lebihan dari batas-batas yang telah ditentukan oleh Allâh Azza wa Jalla , baik di dalam keyakinan maupun amal. (Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan) Dia (Allâh Azza wa Jalla ) tidak akan pernah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan dan Maha mengetahui segala sesuatu yang disembunyi-sembunyikan, meskipun tidak tampak di hadapan manusia. AYAT TERBERAT MENURUT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM Ayat di ataslah yang menurut Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sangat berat untuk dilaksanakan. Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata: مَا نُزِّلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ- آيَةً هِيَ أَشَدُّ وَلَا أَشَقُّ مِنْ هذِهِ الآيَةِ عَلَيْهِ، وَلِذلِكَ قَالَ لِأَصْحَابِه حِيْنَ قَالُوْا لَه: لَقَدْ أَسْرَعَ إِلَيْكَ الشَّيْبُ! فَقَالَ : شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ وَأَخْوَاتُهَا Tidaklah ada satu ayat pun yang diturunkan kepada Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam yang lebih berat dan lebih susah daripada ayat ini. Oleh karena itu, ketika beliau ditanya, ‘Betapa cepat engkau beruban’, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Sahabatnya, ‘Yang telah membuatku beruban adalah surat Hûd dan surat-surat semisalnya[2] MENGAPA AYAT TERSEBUT DIANGGAP SANGAT BERAT OLEH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM? Karena pada ayat tersebut mengandung perintah untuk beristiqomah. Sebenarnya seperti apakah istiqomah yang dimaksudkan, sehingga Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sampai merasa sangat berat ketika mendapatkan perintah tersebut? Inilah yang menjadi bagian pembahasan artikel ini, serta penulis menambahkannya dengan sebab-sebab agar bisa beristiqomah, cara termudah untuk beristiqomah, hal-hal yang dapat merusak dan menghalangi sikap istiqomah serta keutamaan orang yang beristiqomah. PENGERTIAN ISTIQOMAH Beratnya perintah beristiqomah dapat dimengerti melalui definisi beberapa ulama berikut ini : 1. Abu Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu ketika menafsirkan (tsummas-taqâmû): “Tidak berbuat syirik terhadap Allâh Azza wa Jalla dengan segala apapun.”[3] 2. ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu : “Istiqâmah adalah lurus pada ketaatan (melaksanakan perintah) dan menjauhi larangan, serta tidak belok (ke kiri dan ke kanan) seperti beloknya serigala.” [4] 3. Abul-Qâsim al-Qusyairi rahimahullah : “Istiqâmah adalah suatu derajat yang dengannya segala urusan (agama) menjadi sempurna dan dengannya akan didapatkan kebaikan-kebaikan dan keteraturan.” [5] 4. An-Nawawi rahimahullah : “Lurus di atas ketaatan sampai diwafatkan dengan keadaan seperti itu.”[6] 5. Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah : “Menapaki jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, tanpa berbelok-belok ke kanan dan ke kiri. Termasuk di dalamnya adalah mengerjakan seluruh perbuatan taat, secara lahir dan batin dan meninggalkan seluruh larangan seperti itu pula.”[7] HAKEKAT ISTIQOMAH Dari definisi-definisi (pengertian-pengertian) di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa hakekat istiqâmah meliputi hal-hal berikut: 1. Mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan tidak berbuat syirik 2. Berjalan di atas kebenaran (agama yang haq). 3. Melaksanakan segala perintah, baik yang wâjib maupun yang sunnah, secara lahir dan batin. 4. Meninggalkan segala larangan, baik yang haram maupun yang makrûh. 5. Teratur dalam mengerjakan ketaatan. 6. Terus-menerus dalam keadaan seperti itu, tidak belok ke kanan maupun ke kiri sampai ajal menjemput. Dan sekali lagi sebagai penekanan, tampak jelas sulit dan beratnya beristiqomah yang terwujud dengan melakukan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla secara kontinyu, padahal manusia mengalami pasang-surut keimanan dan menghadapi berbagai macam fitnah duniawi yang sangat berpotensi melunturkan semangat beristiqomah. KEUTAMAAN ORANG YANG BERISTIQOMAH Keutamaan orang yang bisa ber-istiqâmah sangat banyak sekali. Akan tetapi, secara umum keutamaan tersebut tercantum pada tiga ayat berikut: إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ﴿٣٠﴾نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ﴿٣١﴾نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Rabb kami ialah Allâh" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (ber-istiqâmah), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan Jannah yang telah dijanjikan oleh Allâh kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Fushshilat/41:30-32] Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata [8] , “…Oleh karena itu, agama (Islam) seluruhnya terkandung dalam firman Allâh[9] : { فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ } dan firman-Nya [10] : { إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ } Sungguh besar keutamaan istiqomah! SEBAB SEBAB AGAR DAPAT MEWUJUDKAN ISTIQOMAH Seseorang bisa ber-istiqâmah karena sebab-sebab sebagai berikut: 1. Taufik Dan Hidayah Dari Allâh Azza Wa Jalla Inilah sebab yang paling utama. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya: فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ Barangsiapa yang Allâh menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki oleh Allâh kesesatannya, niscaya Allâh akan menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit [al-An’âm/6:125] Oleh karena itu, sebisa mungkin kita melakukan berbagai hal yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla agar Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik dan hidayahnya kepada kita. 2. Doa Allâh Azza wa Jalla mengabulkan doa para hamba-Nya. Oleh karena itu, jika seseorang menginginkan istiqomah, maka ia harus banyak memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar bisa menjadi seorang yang mustaqîm (orang yang beristiqomah). Allâh Azza wa Jalla berfirman: وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku [al-Baqarah/2: 186] 3. Mengikuti Manhaj Ahlu Sunnah Wal Jamâ’ah Niat ikhlash dan rajin beribadah saja tidaklah cukup untuk bisa beristiqomah. Seseorang yang ingin ber-istiqâmah harus berjalan di jalan yang haq. Jika tidak demikian, percuma saja dia beristiqomah pada kesesatan yang justru nantinya akan menjerumuskannya ke dalam api neraka. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallampernah mengabarkan bahwa hanya ada satu kelompok yang senantiasa mengemban kebenarannya, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ Senantiasa ada sekelompok orang di kalangan umatku yang selalu tampak dengan kebenarannya. Orang yang tidak mengacuhkan mereka tidak dapat memberikan mudhârat kepada mereka sampai datang perkara Allâh dan mereka tetap dengan kebenarannya [11] 4. Sering Melakukan Proses Muhâsabatun Nafs (Mengintrospeksi Diri) Orang yang ingin beristiqomah harus sering menjalankan proses muhasabatun nafs. Jika seseorang tidak menyadari akan hakikat apa yang dilakukannya yang berupa kebaikan dan dosa, maka dia tidak akan mau berubah. Semakin banyak seseorang berintrospeksi, maka semakin banyak pula ia akan menyadari bahwa amalan kebaikan yang dia lakukan belumlah seberapa dan dosa yang dilakukannya sudah sangat banyak dan bertumpuk-tumpuk. ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata: حاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْل أَنْ تُوزَنُوا ، فَإنَّهُ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ فِيْ الْحِسَابِ غَدًا، أَنْ تُحَاسَبُوْا أَنْفُسَكُمْ اْليَوْمَ Introspeksilah diri-diri kalian, sebelum nanti kalian ditunjukkan amalan-amalan kalian (di hari Perhitungan)! Timbang-timbanglah diri kalian, sebelum nanti kalian ditimbang (di hari mizan/penimbangan amal)! Sesungguhnya, mengintrospeksi diri pada saat ini lebih mudah ketimbang nanti ditunjukkan amalan-amalan (di hari Hisab)."[12] 5. Mengerjakan Perbuatan Baik Setelah Mengerjakan Perbuatan Buruk Salah satu sebab datangnya istiqomah mengiringi segala keburukan/kejelekan/dosa dengan perbuatan yang baik. Sebagai contoh, jika seseorang pernah mencuri, maka dia harus bertaubat dan mengembalikan harta curiannya itu, kemudian memperbanyak sedekah. Mudah-mudahan dengan bersedekah, dosa-dosanya dapat diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla berfirman: إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk [Hûd/11:114] 6. Tidak Meninggalkan Amalan-Amalan Kebaikan Yang Sudah Biasa Dikerjakan Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallampernah mencela orang yang pernah beribadah dengan amalan tertentu kemudian orang tersebut meninggalkannya, sebagaimana diterangkan pada hadîts berikut: عن عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ -رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- : يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ. Diriwayatkan dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamberkata kepadaku, “Wahai ‘Abdullâh! Janganlah kamu seperti si Fulan (si Anu), dulu dia mengerjakan shalat malam kemudian dia meninggalkannya.”[13] Perlu menjadi catatan, bahwa yang menjadi tuntutan adalah kebersinambungan dalam mengerjakan suatu amalan, meskipun amalan itu sedikit, bukan kuantitasnya. PENTINGNYA MUJAHADATUN-NAFS DALAM MENGGAPAI ISTIQOMAH Istiqomah bukanlah suatu perkara yang mudah diraih. Untuk menggapainya, menjalankan mujâhadatun-nafs tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian yang selalu istiqomah. Mujâhadatun-nafs adalah proses memaksa, melatih diri dan berjuang sekuat tenaga agar jiwa bisa selalu tunduk dan taat terhadap syariat. Mujâhadatun-nafs dapat dilakukan dengan harus memperhatikan hal-hal berikut: 1. Harus Bertekad Kuat Untuk Merubah Diri (al-‘Azm) Dan Bertawakkal Kepada Allâh Azza Wa Jalla Tanpa tekad yang kuat, ke-istiqâmah-an tidak akan bisa dicapai. Allâh Azza wa Jalla berfirman: فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS. Ali ‘Imrân/2:159) 2. Mencintai Allâh Dan Rasul-Nya Melebihi Segala Sesuatu Salah satu cara menumbuhkan tekad untuk beristiqomah adalah dengan terus-menerus mencari sebab agar bisa mencintai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n di atas segala sesuatu. – Istiqomah sangat erat kaitannya dengan keimananan seseorang. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallambersabda: ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا, وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ, وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ Ada tiga hal yang apabila ketiga hal tersebut berada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman, yaitu: menjadikan kecintaannya kepada Allâh dan Rasul-Nya melebihi kecintaannya kepada segala sesuatu selain keduanya, mencintai seseorang yang dia tidak mencintainya kecuali karena Allâh dan membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana kebenciannya jika dia dilempar ke dalam api[14] Dengan memiliki rasa cinta yang seperti disebutkan di atas, maka seseorang akan terus berupaya memacu dirinya untuk bisa ber-istiqâmah. 3. Mengatur Waktu Dan Aktivitas Keseharian Sebaik, Sepadat Dan Seefektif Mungkin Seorang yang ingin beristiqomah harus benar-benar membuat jadwal kegiatannya untuk tiap hari, tiap pekan, tiap bulan dan tiap tahun. Untuk kegiatan harian, contohnya: ketika hendak melatih diri untuk shalat malam (tahajjud), maka ia mesti berusaha untuk tidur lebih awal (tidak lama setelah shalat Isyâ’) dan memasang jam alarm atau sejenisnya untuk dapat membangunkannya pada sepertiga malam terakhir. Untuk kegiatan tiap pekan, misalnya, menargetkan pada setiap pekan ada satu hari dimana ia harus menyempatkan diri untuk berinfak kepada sekian orang, membantu orang lain dan tetangga. Untuk kegiatan tahunan, seperti membiasakan diri untuk dapat beri’tikâf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhân, sehingga dia pun telah merencanakan hari libur (cuti) dari semua aktivitasnya. 4. Melaksanakan Ibadah-Ibadah Sebaik Mungkin Seolah-Olah Ibadah Tersebut Adalah Ibadah Yang Terakhir Kali Dan Ajal Akan Menjemput Orang yang ingin beristiqomah harus membiasakan diri ketika mengerjakan suatu ibadah tertentu, dia membayangkan bahwa seolah-olah dia tidak akan hidup lama lagi, sehingga ia akan benar-benar bersungguh-sungguh dalam beribadah dan meningkatkan kualitas ibadahnya. 5. Mengintrospeksi Diri Atas Amalan-Amalan Baik Yang Telah Ditinggalkannya Dan Terhadap Amalan-Amalan Buruk Yang Telah Dikerjakannya. Setelah memasang target-target ibadah dan amalan-amalan, introspeksi diri setiap hari sangat dibutuhkan. Ini dilakukan agar seseorang bisa memperbaiki dirinya. 6. Turut Andil Dalam Dakwah Setelah Allâh Azza wa Jalla menyebutkan keutamaan orang yang beristiqomah dalam surat Fushshilat yang telah dicantum di atas, Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang berdakwah. Allâh Azza wa Jalla berfirman: وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: ‘Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri.’? [Fushshilat/42:33] Ini menunjukkan ada kaitan erat antara pencapaian istiqomah dengan berdakwah. 6. Rela Bersabar Untuk Melatih Diri Dan Mengekang Hawa Nafsu Selama Bertahun-Tahun Untuk dapat beristiqomah tidaklah mudah. Kita harus rela mengekang hawa nasu kita dan terus bermujâhadah selama bertahun-tahun. Muhammad bin al-Munkadir rahimahullah berkata: كَابَدْتُ نَفْسِيْ أَرْبَعِيْنَ سَنَةٍ حَتَّى اسْتَقَمْتُ Saya mengekang jiwaku selama empat puluh tahun barulah saya bisa beristiqomah [15] HAL-HAL YANG MERUSAK DAN MENGAHALANGI ISTIQOMAH 1. Setan Allâh Azza wa Jalla berfirman: قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus [al-A’râf/7:16] 2. HawaNafsu 3. Lemahnya Niat Untuk Berubah 4. Masyarakat Dan Keluarga Yang Rusak Dan Islam Yang Dianggap Asing Masyarakat dan keluarga yang rusak/buruk dapat menghalangi seseorang untuk bisa ber-istiqâmah. Seseorang yang ingin bertobat dan ingin beristiqomah sering kali merasa tidak enak jika menyelisihi masyarakat atau keluarganya yang rusak. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamtelah mengabarkan bahwa Islam di akhir zaman akan terlihat asing dalam sabdanya: بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana munculnya. Oleh karena itu, beruntunglah orang-orang yang terasingkan [16] Dan juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut : (( طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ))، فَقِيلَ: مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: (( أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِي أُنَاسِ سُوءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ )). Beruntunglah orang-orang yang asing. Beliau pun ditanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu, ya Rasûlullâh?” Beliau pun menjawab, “(Mereka adalah) orang-orang shâlih di antara orang-orang jelek/rusak yang (jumlahnya) banyak. Orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada orang yang mematuhinya.” Oleh karena itu, jika seseorang ingin menjalankan Islam dan beristiqamah, pasti akan terlihat asing. Contohnya saja cadar, generasi Salaf tidak berselisih pendapat bahwa cadar itu disyariatkan di dalam Islam, wanita bercadar lebih afdhal dari yang tidak bercadar dan para istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam diwajibkan memakai cadar. Pada zaman sekarang, cadar sangat terlihat asing, bahkan sebagian orang awam/tidak berilmu mengidentikkannya dengan terorisme. Parahnya, sebagian orang yang dipandang berilmu di tengah masyarakat mengeluarkan pernyataan serupa. 5. Zaman Yang Penuh Fitnah Yang Berbeda Dengan Zaman Salaf Zaman yang kita jalani sekarang ini sangat berbeda dengan zaman generasi Salaf dahulu. Pada zaman ini, kaum Muslimin akan mendapatkan fitnah yang sangat besar. Jika seseorang ingin menjauhinya, fitnah tersebutlah yang akan datang kepadanya. Ini juga dapat menghalangi seseorang untuk beristiqomah. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallambersabda: يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ Akan datang kepada manusia suatu masa, (ketika itu) orang yang bersabar menjalankan agamanya di antara mereka seperti orang yang memegang bara api [18] [19] 6. Tidak Adanya Orang Yang Sering Menasihati Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamselalu memberi nasihat dan petunjuk kepada para sahabatnya, sehingga Allâh Azza wa Jalla mengatakan di dalam al-Qur’ân: وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus [asy-Syûrâ/42:52] Tidak adanya seorang penasihat di suatu daerah maka itu adalah suatu musibah yang sangat besar dan bisa menghalangi seseorang untuk beristiqomah. Oleh karena itu, perlu diingatkan kepada pembaca yang di wilayahnya tidak (belum) ada kajian Islam yang shahih untuk segera mendatangkan sang penasihat, atau mendatangi kajian-kajian atau dengan cara lain agar bisa selalu mendengarkan nasehat-nasehat yang baik yang dapat menenangkan dan meneguhkan jiwa di atas kebenaran. 7. Banyak Berkecimpung Dengan Urusan Dunia Banyak berkecimpung dengan urusan dunia juga dapat menghalangi ke-istiqâmah-an. Allâh Azza wa Jalla berfirman: وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan [Ali ‘Imrân/3:85] 8. Teman Yang Jelek Tidak diragukan bahwa teman yang jelek sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Oleh karena, pilihlah teman yang baik dan soleh yang bisa mengajak kita untuk bisa beristiqomah. 9. Takut Dikatakan Sebagai Orang Yang Shaleh, Alim, Taat Atau Semisalnya Ini juga dapat menghalangi seseorang untuk beristiqomah, terutama orang-orang yang memiliki rasa malu tinggi. Komentar masyarakat tidak perlu diperhatikan baik dalam rangka memuji atau mencemooh. Itu semua adalah ujian. Oang yang benar-benar mencintai Allâh Azza wa Jalla , tidak akan menghiraukan hal tersebut. 10. Putus Asa Dengan Rahmat Dan Pengampunan Allâh Azza Wa Jalla Sehingga Tidak Mau Bertobat Orang yang bergelimang dengan dosa, biasanya terbesik di hatinya, “Bagaimana mungkin aku menjadi seorang yang bisa ber-istiqâmah, sedangkan aku telah bergelimang dengan dosa dan hampir tidak ada kebaikan yang pernah aku perbuat?” Ketahuilah, Allâh Azza wa Jalla Maha Pengampun dan menerima tobat hamba-hambanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya: قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ﴿٥٣﴾وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (54) Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu Kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi) [az-Zumar/39:53-54] Kesimpulan 1. Ayat yang menurut Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamsangat berat untuk dilaksanakan adalah ayat yang mengandung perintah untuk beristiqomah dalam surat Hûd. 2. Hakekat istiqomah meliputi hal-hal berikut: berada di atas kebenaran, menjalankan semua perintah, meninggalkan semua larangan, teratur dalam ketaatan dan kebersinambungan dengan keadaan seperti itu sampai akhir hayat. 3. Seseorang yang ingin beristiqomah harus menempuh cara-cara yang mengantarkan kepadanya. 4. Mujâhadatun nafs , berperan penting dalam pencapaian istiqomah 5. Banyak faktor yang mengganggu seorang Muslim untuk beristiqomah. Oleh karena itu, sebisa mungkin seorang Mukmin menjauhinya. 6. Orang yang mencapai derajat istiqomah akan mendapat ganjaran yang sangat besar sebagaimana telah disebutkan. Wallâhu a'lam Semoga Allâh Azza wa Jalla memudahkan kita meraih nikmat istiqomah sampai akhir hayat nanti. Âmîn. www.almanhaj.or.id

Keindahan Asmaul Husna

Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A Berbicara tentang keindahan Asmâ-ul Husnâ (nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah) berarti membicarakan suatu kemahaindahan yang sempurna dan di atas semua keindahan yang mampu digambarkan dan terbetik oleh akal pikiran manusia. Betapa tidak, Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah dzat maha indah dan sempurna dalam semua nama dan sifat-Nya, yang karena kemahaindahan dan kemahasempurnaan inilah maka tidak ada seorang makhluk pun yang mampu membatasi pujian dan sanjungan yang pantas bagi kemuliaan-Nya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal ini dalam sebuah doa beliau yang terkenal: لا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَما أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ Aku tidak mampu menghitung/membatasi pujian/sanjungan terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana (pujian dan sanjungan) yang Engkau peruntukkan bagi diri-Mu[1] Maka, sebagaimana kesempurnaan sifat-sifat-Nya yang tidak terbatas, demikian pula pujian dan sanjungan bagi-Nya pun tidak terbatas, karena pujian dan sanjungan itu sesuai dengan dzat yang dipuji. Oleh karena itu, semua pujian dan sanjungan yang ditujukan kepada-Nya bagaimanapun banyaknya, panjang lafazhnya dan disampaikan dengan penuh kesungguhan, maka kemuliaan Allâh Jalla Jalaluhu lebih agung (dari pujian dan sanjungan tersebut), kekuasaan-Nya lebih mulia, sifat-sifat kesempurnaan-Nya lebih besar dan banyak, serta karunia dan kebaikan-Nya (kepada makhluk-Nya) lebih luas dan sempurna[2] . Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan dalam al-Qur`ân bahwa tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang mampu membatasi dan menuliskan dengan tuntas semua bentuk keagungan dan keindahan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, bagaimanapun besar dan luasnya makhluk tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman: قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا Katakanlah: Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula) [al-Kahfi/18:109] Dalam ayat lain, Allâh Jalla Jalaluhu juga berfirman: وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [Luqmân/31:27] Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “(Dalam ayat ini), Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberitakan tentang keagungan, kebesaran dan kemuliaan-Nya, serta nama-nama-Nya yang maha indah, sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan kalimat-kalimat-Nya yang maha sempurna, yang tidak mampu diliputi oleh siapapun (dari makhluk-Nya), serta tidak ada seorang pun yang mengetahui hakekat dan mampu membatasi (menghitung)nya, sebagaimana disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam…Kemudian Ibnu Katsîr rahimahullah menyebutkan hadits di atas…Arti ayat ini adalah seandainya semua pohon (yang ada di) bumi dijadikan pena dan lautan (di bumi) dijadikan tinta dan ditambahkan lagi tujuh lautan (yang seperti itu) bersamanya, untuk menuliskan kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan-Nya, serta (kesempurnaan) sifat-sifat-Nya, maka (niscaya) akan hancur pena-pena tersebut dan habis air lautan (tinta) tersebut (sedangkan kalimat-kalimat keagungan dan kemuliaan-Nya tidak akan habis)”[3] . ARTI KEMAHAINDAHAN DALAM ASMA-UL HUSNA Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ Hanya milik Allâh-lah asmâ-ul husnâ (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan [al-A’râf/7:180] Pengertian al-Husnâ (maha indah) dalam ayat ini adalah yang kemahaindahannya mencapai puncak kesempurnaan, karena nama-nama tersebut mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak ada padanya celaan (kekurangan) sedikit pun dari semua sisi [4] . Misalnya, nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala “al-Hayyu” (Yang Maha Hidup), nama ini mengandung sifat kesempurnaan hidup yang tidak berpermulaan dan tidak akan berakhir. Sifat hidup yang sempurna ini mengandung konsekwensi kesempurnaan sifat-sifat lainnya, seperti al-‘ilmu (maha mengetahui), al-qudrah (maha kuasa/mampu), as-sam’u (maha mendengar) dan al-basharu (maha melihat). Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ Dan bertawakallah kepada Allâh Yang Maha Hidup (Kekal) dan tidak akan mati [al-Furqân/25:58] Demikian pula nama Allâh Jalla Jalaluhu “al-‘Alîmu” (Yang Maha Mengetahui), nama ini mengandung sifat kesempurnaan ilmu (pengetahuan) yang tidak didahului dengan kebodohan dan tidak akan diliputi kelupaan sedikit pun, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman: قَالَ عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي فِي كِتَابٍ ۖ لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى Musa berkata: “Pengetahuan tentang itu ada di sisi Rabbku di dalam sebuah kitab, Rabbku (Allâh) tidak akan salah dan tidak (pula) lupa” [Thâhâ/20:52] Pengetahuan-Nya maha luas dan meliputi segala sesuatu secara garis besar maupun terperinci, sebagaimana firman-Nya: وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ Dan pada sisi Allâh-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) [al-An’âm/6:59] Juga nama-Nya “ar-Rahmân” (Yang Maha Penyayang), nama ini mengandung sifat rahmat (kasih sayang) yang maha luas dan sempurna, sebagaimana yang digambarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Sungguh Allâh lebih penyayang terhadap hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu terhadap anak bayinya”[5][6] . SEGI-SEGI KEMAHAINDAHAN ASAMA-UL HUSNA Dîbawakan keterangan beliau di sini beserta keterangan tambahan dari para ulama lainnya. 1. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena semuanya mengandung pujian bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala, tidak ada satu pun dari nama-nama tersebut yang tidak mengandung pujian dan sanjungan bagi-Nya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sesungguhnya nama-nama Allâh Azza wa Jalla seluruhnya maha indah, tidak ada sama sekali satu nama pun yang tidak (menunjukkan) kemahaindahan. Telah berlalu penjelasan bahwa di antara nama-nama-Nya ada yang dimutlakkan (ditetapkan) bagi-Nya ditinjau dari perbuatan-Nya, seperti ‘al-Khâliq’ (Maha Pencipta), ‘ar-Razzâq’ (Maha Pemberi rezki), ‘al-Muhyî’ (Maha menghidupkan) dan ‘al-Mumît’ (Maha Mematikan), ini menunjukkan bahwa semua perbuatan-Nya adalah kebaikan semata-mata dan tidak ada keburukan sama sekali padanya…”[7] . 2. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena semua nama tersebut bukanlah sekedar nama semata, tapi juga mengandung sifat-sifat kesempurnaan bagi Allâh Jalla Jalaluhu. Maka nama-nama tersebut semuanya menunjukkan dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala, dan masing-masing mengandung sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya[8] . Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sesungguhnya nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang maha indah adalah a’lâm (nama-nama yang menunjukkan dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala) dan (sekaligus) aushâf (sifat-sifat kesempurnaan bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang dikandung nama-nama tersebut). Sifat-Nya tidak bertentangan dengan nama-Nya, berbeda dengan sifat makhluk-Nya yang (kebanyakan) bertentangan dengan nama mereka…”[9] . 3. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ , semua nama tersebut menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan dan semua sifat itu pada dzat Allâh Azza wa Jalla merupakan sifat paling sempurna, paling luas dan paling agung. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ ۖ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allâh mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [an-Nahl/16:60] Artinya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mempunyai sifat kesempurnaan yang mutlak (tidak terbatas) dari semua segi[10] . 4. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya dengan nama-nama tersebut dan itu merupakan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada-Nya, karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai nama-nama-Nya, dan Dia k mencintai orang yang mencintai nama-nama tersebut, serta orang yang menghafalnya, mendalami kandungan maknanya dan beribadah kepada-Nya dengan konsekwensi yang dikandung nama-nama tersebut. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا Hanya milik Allah-lah Asmâul Husnâ (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu [al-A’râf/7:180] Yang dimaksud dengan berdoa dalam ayat ini adalah mencakup dua jenis doa, yaitu doa permintaan dan permohonan, serta doa ibadah dan sanjungan [11] . Pengertian doa permohonan (du’âut thalab) adalah berdoa dengan menyebutkan nama Allâh Jalla Jalaluhu yang sesuai dengan permintaan yang kita sampaikan kepada-Nya. Contohnya, kita berdoa: “Ya Allâh, ampunilah dosa-dosaku dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau adalah al-Ghafûr (Maha Pengampun) dan ar-Rahîm (Maha Penyayang)”; “Ya Allâh, terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau adalah at-Tawwâb (Maha Penerima taubat)”. “Ya Allâh, limpahkanlah rezeki yang halal kepadaku, sesungguhnya Engkau adalah ar-Razzâq (Maha Pemberi rezki)”. Adapun doa ibadah adalah dengan kita beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kandungan nama-nama-Nya yang maha indah. Konkretnya, kita bertaubat kepada-Nya karena kita mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah at-Tawwâb (Maha Penerima taubat), kita berdzikir kepada-Nya dengan lisan kita karena kita mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah as-Samî’ (Maha Mendengar), kita melakukan amal shaleh dengan anggota badan kita karena mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah al-Bashîr (Maha Melihat), dan demikian seterusnya[12] . PENUTUP Demikianlah penjelasan singkat tentang keindahan Asmâul Husnâ, dan tentu saja hakikat keindahannya jauh di atas apa yang mampu digambarkan oleh manusia. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum Muslimin untuk membantu mereka memahami keindahan dan kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala, yang dengan itulah mereka bisa mewujudkan peribadahan kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, karena landasan utama ibadah, yaitu kecintaan kepada-Nya, dan tidak akan bisa dicapai kecuali dengan mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan baik dan benar. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, maka dia pasti akan mencintai-Nya”[13] . Akhirnya, kami tutup tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita petunjuk dan taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan kandungan dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya. www.almanhaj.or.id